PLURALISME AGAMA
DALAM MAZHAB PARAMADINA DAN MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
Tekan ctrl + click salah satu iklan dibawah untuk lanjut membaca
push ctrl + click one of the banners below before continue reading
- Latar Belakang Masalah
Wacana pengembangan pemikiran Islam yang terus bergulir, khususnya di
Indonesia, sejatinya telah melahirkan berbgai pandangan "maju" dengan
mengatasnamakan pembaharuan itu sendiri dan tuntutan modernitas. Berbagai
pandangan sebelumnya yang dianggap bertentangan atau bahkan tak sesuai lagi
dengan realitas kontemporer dewasa ini di bongkar dan dirombak kembali untuk
kemudian disesuaikan dengan tuntutan masa kini.
Munculnya para tokoh pemikir
Islam dengan segala tawaran pembaharuannya mengindikasikan bahwa reinterpretasi
atau bahkan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap pemahaman al-Qur'an dan
as-Sunnah sebagai akar spiritualitas Islam dlam menetapkan hukum mutlak harus
dilakuakan.ema Media, 2002), hlm. 117. Demikian
pula halnya, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum (Islam) menjadi sebua
keniscayaan. Berbagai fenomena sosial yang secara eksplisit belum, bahkan tak
tersurat sama sekali, amat menuntut untuk segera dicari solusi dan
penyelesaianya demi mewujudkan cita-cita Islam yang universal, progresif dan
elastis, salihun
li kulli zamanin wa makanin, rahmatan li al-'alamin, serta Islam yang
dinamis dan tanggap atas setiap perubahan yang terjadi, karena memang karakter
awal dari hukum Islam selalu sejalan dengan pergantian ruang dan perjalanan
waktu, ia senantiasa survive memenuhi kebutuhan umat Islam dan menjawab
tantangan sepanjang masa.
Dalam upaya pengkontekstualisasian seperti inilah kontroversi dan
perdebatan tak bisa lagi dihindarkan, truth claim pun menjadi sesuatu
yang "wajib" muncul dalam setiap bentuk pemikiran dan ide yang
dimunculkan demi mendukung gagasan masing-masing, bahkan terkadang berujung
konflik.
Gambaran ini akan menunjukkan wujudnya dengan lebih jelas apabila kita
mengamati dinamika pemikir-pemikir Islam dan muatan intelektual yang mereka
lontarkan, baik yang disampaikan secara individu-personal maupun
kolektif-institusional. Berbagai perbincangan seputar masalah keagamaan pun
kembali menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat, khususnya yang berpijak
pada pada paradigma syari'ah. Salah
satu isu aktual saat ini yang muncul ke permukaan adalah pergeseran paradigma
pemahaman yang berkaitan dengan hubungan lintas agama yang sering disebut
sebagai Paham Pluralisme Agama. Berbagai
asumsi terhadap agama yang ditengarai sebagai akar perubahan pandangan tersebut
turut pula ditampilkan.
Terdapat kelompok Islam yang menerima dan meyakini bahwa paham
pluralisme merupakan suatu keniscayaan bagi terwujudnya kehidupan yang toleran
dan harmonis di antara umat yang berbeda keyakinan, agama, sosial, budaya, ras
dan keturunan, kelompok ini disebut kelompok propluralisme. Dalam pandangan
mereka, paham pluralisme agama merupakan solusi terbaik dalam meredam
ketegangan dan konflik intra dan antarumat beragama yang terjadi, terutama
setelah era reformasi dikumandangkan, dan di masa mendatang. Lebih
jauh, kelompok propluralisme mengembangkan tafsir Islam-Pluralis. Mereka
menunjuk beberapa ayat dalam al-Qur'an yang mengindikasikan adanya kebenaran
dan jalan keselamatan dalam agama-agama yang dijadikan dasar pijakan teologis
praktek toleransi dan kerjasama antarumat beragama.
Namun, disamping kelompok propluralisme terdapat pula kelompok Islam
lain yang menolak dan membantah keyakinan kelompok pertama, yaitu kelompok
kontrapluralisme.
Tanggapan dan bantahan pun mereka lontarkan untuk meng-counter keyakinan
kelompok pertama. Pada perkembangannya kelompok inipun mengembangkan tafsir
Islam Kontra-Pluralis sebagai
pijakan dasar teologis dalam mendukung praktek keagamaan mereka, bahwa tidak
ada kebenaran dan jalan keselamatan kecuali dalam Islam.
Lebih lanjut, kelompok kedua melihat paham (pluralisme agama) ini
sebagai upaya penyeragaman segala perbedaan dan mengusung keyakinan
inklusif-pluralis yang mensamaratakan semua agama.
Karenanya, ia secara ontologis bertentangan dengan sunatullah, yang
pada gilirannya mengancam eksistensi manusia dan hanya akan merusak kemurnian
paham dan akidah yang telah disepakati oleh para ulama sejak masa permulaan
Islam.
Di Indonesia, dua kutub pemahaman dan pemikiran di atas muncul dalam
bentuk lembaga, yaitu kelompok pertama (propluralisme) diusung oleh lembaga
Paramadina dan kelompok kedua (kontrapluralisme) diusung oleh lembaga Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Dua lembaga inillah yang menjadi fokus kajian dalam
skripsi ini.
- Pokok
Permasalahan
Dari uraian di atas dapat diambil pokok permasalahan untuk dijadikan
kajian lebih lanjut, yaitu:
1. Bagaimana pandangan Paramadina dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang
Pluralisme Agama dalam Islam.
2. Bagaimana konsep Pluralisme Agama
dalam konteks perbandingan antara
Paramadina dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
- Tujuan dan
Kegunaan
a. Tujuan
1. Memperoleh kejelasan dan pemahaman
mengenai pendekatan Paramadina dalam merumuskan pemikiran-pemikiran tentang
konsep Pluralisme Agama dalam Islam.
2. Memperoleh pemahaman mengenai
gagasan dan putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Pluralisme Agama
dalam Islam.
b. Kegunaan
1. Kegunaan yang bersifat ilmiah,
adalah untuk memperkaya khazanah pemikiran Islam dalam menjelaskan pandangan
hukum Islam berkenaan dengan konsep Pluralisme Agama.
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi
ilmu pengetahuan dalam ranah pemikiran Islam pada umumnya dan bagi studi
tentang Pluralisme Agama dalam perspektif hukum Islam khususnya.
- Tinjauan
Pustaka
Terdapat beberapa kajian yang mendukung pluralisme. Nurcholish Madjid
dalam ceramah budayanya di Taman Ismail Marzuki (TIM), dalam mendukung
gagasannya tentang pluralisme agama ia menjelaskan bahwa antara Islam dan
agama-agama samawi lainnya (Ahl al-Kitab), yaitu Yahudi dan Nasrani
terdapat beberapa persamaan yang amat menonjol, antara lain ia sama-sama
berasal dari Tuhan yang sama, kemudian lebih lanjut ia menjelaskan tentang
konsep kontinuitas ajaran para nabi sebagai common flatform-nya. Pada
sisi yang sama ia juga menjelaskan bahwa perbedaan yang ada hanyalah dalam
bentuk-bentuk respons khusus tugas seorang rasul kepada tuntutan zaman dan
tempatnya. Maka perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran pokok dan
syari’at para nabi dan rasul adalah sama. Lebih
jauh, ia mengatakan bahwa titik temu semua agama yang memiliki kitab suci
adalah pada ajaran “kebaikan” bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Kebaikan
atau hikmah inilah yang patut dipelajari dari sekian agama-agama tersebut.
Djohan Effendi memandang bahwa demokrasi, masyarakat madani dan
pluralisme (termasuk pluralisme agama) adalah tiga serangkai yang harus menjadi
agenda umat Islam dalam menyongsong masa depan.
Menurutnya, pada masa sekarang ini agama-agama (khususnya di Indonesia) harus
bekerja lebih keras lagi, karena “agama”
ikut bertanggung jawab atas menggejalanya kekerasan, langsung maupun tidak
langsung menolak pluralisme hanya akan menambah daftar panjang kebencian dan
kekerasan atas nama agama, dan itu sama artinya dengan menolak masyarakat
madani itu sendiri. Tegasnya, masing-masing agama lebih mengedepankan truth
claim dan bersikap eksklusif.
Masdar Farid Mas’udi memilah pengertian Islam pada tiga tatarannya: Islam sebagai Aqidah, syari’ah
dan akhlaq. Islam
sebagai aqidah yaitu komitmen nurani dan batin untuk selalu
pasrah/berserah kepada Tuhan, dan inilah hakikat, karena inti dan esensi dari seluruh keislaman memang
terletak di situ adanya. Ia adalah agama yang azali, yang ada dalam nurani
sejak manusia sendiri belum lahir di bumi. Pada tataran inilah semua segama
samawi sama. Keislaman pada tataran syari’ah yaitu ajaran, tentang bagaimana kepasrahan itu
dipahami. Pada tataran kedua ini
agama-agama berbeda. Islam pada tataran ini hanyalah piwulang formal yang sudah
mulai menampakkan batas-batas partikularnya. Jika Islam syari’ah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. dikemukakan
dalam bahasa Arab, dihimpun dalam sebuah kitab suci yang bernama al-Qur’an,
maka Islam Syari’ah yang dibawa Nabi Isa dikemukakan dalam bahasa Ibrani
dan terhimpun dalam sebuah kitab dengan nama Injil. Demikian pula Islam syari’ah Nabi Musa, Nabi Ibrahim
dan lain-lainnya. Disebabkan ciri-ciri partikularnya itu, maka “Islam” yang
pada hakikatnya (Islam Aqidah) merupakan satu-satunya agama Tuhan pun
lalu mengenal pengkotak-kotakan. Tegasnya, ketika manusia beragama menyebut
agama, maka pada umumnya yang dimaksud adalah agama pada tataran Islam
Syari’ah, atau tataran normatifnya.
Ketiga, Islam sebagai akhlaq, yaitu sebagai laku-laku manusia
yang pasrah, baik dalam dimensi diri-personalnya, maupun dalam dimensi
sosial-kolektifnya.
Terdapat pula beberapa kajian yang menolak dan mengkritik paham
pluralisme. Adian Husaini mengkritik teologi inklusif/pluralis yang dilontarkan
oleh Nurcholish Madjid, ketua Pembina Yayasan Paramadina yang juga adalah
pioner/penggagas pluralisme agama di Indonesia, sebagai tidak memiliki dasar
dalam al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, atau pendapat para ulama salaf
(terdahulu). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa teologi inklusif/pluralis
tersebut bersifat dekonstruktif terhadap konsep-konsep dasar Islam dan
menghancurkan fondasi keimanan Islam.
Munawwiruzzaman pun mengkritik teologi Islam Nurcholish Madjid tersebut masih
bersifat inklusifisme monistik yang beranggapan bahwa Islam merupakan agama
yang paling superior di antara agama yang lain.
Bagi Malik Anis Thoha, salah satu tokoh yang paling keras menentang
paham ini mengatakan bahwa pluralisme agama sebenarnya merupakan agama baru, di
mana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritual
keagamaan sendiri, sehingga jelas bahwa ia bukanlah bagian dari Islam,
apalagi Islam itu sendiri. Bahkan
Hartono Ahmad Jaiz, penulis buku Menangkal Bahaya JIL dan Fiqih Lintas Agama,
sebagai buku tandingan dan bantahan atas buku yang khusus berisi paham
pluralisme yang diterbitkan oleh Paramadina yang berjudul Fiqih Lintas
Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, ia melihat bahwa paham
inklusif-pluralis meskipun mengaku Islam namun juga mengakui akidah mereka
berbeda, selanjutnya "Akidah yang berbeda" itu memerlukan "Fiqih
yang berbeda", "Akidah eksklusif" maka memerlukan "Fiqih
eksklusif", demikian pula halnya "Akidah Inklusif" dengan
sendirinya memerlukan "Fiqih Inklusif" pula.
Lebih jauh, Irfan S. Awwas, penentang yang lain, bahkan dengan lantang
meneriakkan penentangannya terhadap keyakinan inklusif ini, bahwa pluralisme
agama tak lain dan tak bukan adalah kerangka berfikir "talbisul
Iblis", yaitu memoles dan membungkus kebatilan dengan berbajukan
agama, dan berhujjah dengan dali-dalil al-haqq untuk tujuan kesesatan,
seperti perilaku para pendeta Yahudi dan Nasrani.
Wacana pro-kontra yang ditampilkan selama ini masih bersifat sangat
polemis sehingga dukungan dan kritikan yang diarahkan kepadanya belum bahkan
tidak langsung tertuju kepada titik utama permasalahan yang menjadi polemik.
Tulisan-tulisan dan karya ilmiah dalam merespon pro-kontra tersebut masih
dirasa sangat subyektif, dengan kata lain tanggapan yang diberikan terkesan
cenderung meligitimasi (setuju) atau rejektif menolak, dan ada juga yang
bersikap apatis tak mau peduli dalam masalah ini. Oleh karena itu, belum ada upaya
untuk mempertemukan mereka dalam satu bingkai wacana dengan berhadapan secara
langsung dan memaparkan pandangan masing-masing secara dialogis untuk kemudian
bersama-sama mempertimbangkan kembali atau berusaha membandingkan pendapat
masing-masing. Dengan demikian, dalam upaya memperbandingkan pandangan yang
satu sama lain saling membelakangi inilah penelitian ini menemukan
signifikansinya.
- Kerangka
Teoretik
Pluralisme agama (religious pluralism) adalah sebuah faham (isme)
tentang pluralitas. Faham bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama. Menurut
Jhon Hick, Pluralisme secara eksplisit menerima posisi yang lebih radikal yang
diaplikasikan oleh inklusivisme yaitu suatu pandangan bahwa agama-agama besar
mewujudkan persepsi, konsepsi, dan respon yang berbeda-beda tentag "The
Real" atau "The Ultimate". Juga bahwa tiap-tiap agama
menjadi jalan untuk menemukan keselamatan dan pembebasan. Intinya, Jhon Hick
mengajukan gagasan pluralisme sebagai pengembangan dari inklusivisme, bahwa
agama adalah jalan yang berbeda menuju pada tujuan (The Ultimate) yang
sama.
Secara filosofis teoritis pandangan pluralisme dapat dijumpai dalam
kajian ilmu perbandingan agama. Dalam hal ini pada kenyataannya tidak ada
bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa kebenaran unik dan khusus hanya
dimiliki oleh agama tertentu saja. Dengan
demikian, dalam tataran teologis,b pernyataan bahwa keselamatan merupakan monopoli dari salah
satu agama saja sebenarnya sama saja dengan mengatakan bahwa Tuhan hanya
ditemukan dalam ruangan ini dan tidak ada di ruangan sebelah atau hanya ada
dalam busana ini saja, dan tidak ada dalam busana lain.
Kenyataan dalam al-Qur’an menunjukkan adanya ayat-ayat yang mendukung
pluralisme agama, seperti surat al-Baqarah/2 ayat 62 dan 148, dan surat
al-Maidah ayat 48. Namun, di sisi lain terdapat pula ayat yang menolak
pluralisme agama, seperti surat Ali ‘Imran ayat 19 dan 85, dan surat al-Kafirun
ayat 6. Dari ayat-ayat yang menunjukkan dukungannya atas pluralisme tersebut,
terutama ayat 62 surat al-Baqarah di atas, disinyalir bahwa Allah tidak
memandang pada agama tertentu, tetapi yang terpenting adalah substansi dan
esensi yang terkandung dalam agama itu, selama tiga syarat dalam ayat tersebut
telah terpenuhi, yaitu: (1) man amana billahi, (2) wa al-yaumil
akhir, dan (3) wa ‘amila salihan, maka sudah mencukupi untuk
mendapatkan janji keselamatan dari Allah.
Sementara itu, dalam tataran praksis-empiris, terdapat problem yang
sangat mendasar: kesenjangan antara fiqih dengan realitas kemanusiaan. Fiqih
klasik dianggap tak mampu menjawab tantangan dan perubahan zaman, khususnya
dalam fiqih hubungan antar agama, sangat terlihat adanya kegagapan dalam
melihat agama lain. Bukan hanya itu, seruling jihad dan perang pun di tiupkan
kepada kelompok non-muslim. Hampir dalam seluruh kitab fiqih ada bab tersendiri
yang membahas masalah jihad.
Oleh karena itu, fiqih klasik harus dilihat kembali secara kritis.
Memaksakan diri untuk menggunakan kesimpulan-kesimpulan yang digunakan ulama
klasik dalam menjawab masalah kekinian bisa dianggap upaya mengorbankan masa
kini untuk masa lalu, dan apabila yang terjadi demikian, maka agama akan
dituduh dan digugat sebagai ajaran yang tidak kontekstual. Agama akan dicela
sebagai biang dari kemunduran, kebodohan, ketidakadilan dan kezaliman. Fiqih
klasik sejatinya harus dipahami dalam dimensi geografis dan historis yang
berbeda dengan realitas empirik kekinian. Ia hadir dalam rangka merespon
tantangan-tantangan dan realitas sosial yang muncul waktu itu, dan di masa kini
tentunya fiqih sudah semestinya dikonstruk ulang demi menjawab problem
kemanusiaan yang muncul dan kian kompleks.
Munculnya kritik-kritik pedas yang dialamatkan pada agama
mengindikasikan bahwa agama sedang mengalami tantangan hebat. Karl Marx dengan
kritiknya yang menyebut agama sebagai candu, Nietze dalam refleksi filsafatnya
menyebut, Tuhan telah mati, Jaques Derrida menyebut, kebenaran makna yang
selalu tertunda. Houston Smith mempertanyakan apakah agama telah menemukan
ajalnya?. Dalam banyak buku para orientalis menyebut Islam sebagai agama yang
tak mengakomodasi agama lain.
Kritik-kritik tersebut terlontar bukan tanpa alasan, akan tetapi karena
memang mereka melihat pada praksis-empirisnya agama tidak hadir sebagaimana
mestinya. Di satu sisi agama semakin menunjukkan kesakralannya, karena semakin
disakralkan oleh penganutnya. Agama hanya membela dirinya sendiri, yaitu dengan
memunculkan ritualisme dan kepatuhan apologetik yang luar biasa. Namun di sisi
lain agama tak mampu menyinari krisis yang dihadapi manusia. Agama seakan-akan
bungkam seribu bahasa, karena agama diharamkan dari kenyataan kekinian.
Akibat dari semua itu, agama kehilangan vitalitasnya. Doktrin-doktrin
keagamaan dipakai (bukan ditafsirkan) secara rigid dan kaku. Islam dipahami sebagai
agama yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan dari A sampai Z, namun sandaran
yang dipakai justru teks-teks suci yang dipahami secara kaku dan rigid. Agama
seolah-olah berbicara banyak hal, tapi sebenarnya tak mampu memberikan sinar
baru bagi problem kemanusiaan.
Di tengah seremoni keagamaan yang gagap gempita, radikalitas dan
militansi keagamaan juga semakin marak. Ini menandakan bahwa keberagamaan
menghadapi persoalan serius, antara lain: Pertama, munculnya klaim kebenaran
yang bersifat eksklusif dan Islam dipersepsikan sebagai kebenaran tunggal.
Kedua, munculnya monopoli tafsir keagamaan yang bersifat monolitik,
diskriminatif dan sentralistik. Kedua persoalan tersebut merupakan karakter
dari sakralisasi dari doktrin dan dogma keagamaan. Sedangkan persoalan ketiga
yang muncul adalah kekerasan dan radikalitas dengan mengatasnamakan agama, yang
merupakan dampak lanjutan dari konteks sosial yang secara riil memiskinkan
komunitas agama tertentu.
Atas dasar itu, maka persoalan yang muncul yang kemudian menjadi
pertanyaan adalah benarkah Islam sebagai agama yang berasal dari sumber yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang telah membawa pesan-pesan eksklusif, kaku dan
sarat dengan kekerasan dan menebarkan kebencian terhadap agama lain?
Suatu pemahaman dan pemikiran tidak bisa dilepaskan dari
variabel-variabel teoretik sebagai berikut:
Pertama, Pembacaan seseorang, personal-individu maupun kelompok
(lembaga), terhadap literatur akan menentukan interpretasi seseorang terhadap
kenyataan sosial (konteks). Kedua, setting sosial-politik atau latar belakang
peranan sosial juga akan menentukan suatu interpretasi, terutama dalam
menentukan fokus dan agenda masalah. Ketiga, latar belakang pendidikan dan atau
disiplin ilmu yang dikuasai dan dikembangkan akan sangat menetukan dalam
melakukan suatu pembacaan (interpretasi). Keempat, pengalaman dan karakteristik
juga akan sangat menentukan dalam melakukan proses nterpretasi. Kelima,
perubahan-perubahan kondisi sosial, politik, ekonomi dan sosio-kultural akan
sangat mewarnai proses interpretasi. Variabel-variabel tersebut tidak bisa
tidak harus ada dalam melakukan penelaahan terhadap suatu pemikiran.
Berangkat dari teori di atas, dalam skripsi ini akan diungkap bagaimana
pandangan Paramadina dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam melihat pluralisme
agama berdasarkan sudut pandang (hukum) Islam.
F. Metode Penelitian
- Jenis dan Sifat
Penelitian
a. Penelitian ini termasuk jenis
penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan meneliti
karya-karya yang terkait langsung dengan topik “pluralisme agama” dalam skripsi
ini. Dalam skripsi ini penyusun menggunakan buku Fiqih Lintas Agama:
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sebagai data primer. Karya-karya ulama dan para sarjana lain dijadikan data sekunder.
b. Sifat penelitian skripsi adalah
deskriptif-analitik, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian dan
melakukan pengkajian secara mendalam terhadap pemikiran pluralisme dalam buku Fiqih
Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis dari lembaga
Paramadina dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
- Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data tentang pemikiran Paramadina tentang pluralisme
agama dan fatwa MUI, penyusun menggunakan sumber primer berupa buku Fiqih
Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis sebagai buku yang
diterbitkan khusus oleh lembaga Paramadina dalam mensosialisasikan pandangan
pluralismenya dan Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tentang pengharaman paham
pluralisme agama. Selanjutnya karya dan tulisan-tulisan yang ada relevansinya
dengan tema pokok penyusunan skripsi ini dijadikan sumber sekunder, berupa
buku-buku, kitab-kitab, jurnal-jurnal yang terkait.
- Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah pemikiran, yaitu berusaha
memahami suatu kajian secara obyektif-historis, dengan mensyaratkan pemisahan
fakta dan nilai untuk kemudian dilakukan klasifikasi berdasarkan alur pemikiran masing-masing.
Dengan pendekatan ini, penyusun
berusaha mencari penjelasan mengenai pemikiran tentang pluralisme agama dari
kedua lembaga sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan diterima
secara rasional.
- Analisis Data
Data-data yang diperoleh kemudian diklasifikasi dan dikritisi dengan
seksama sesuai dengan referensi yang ada, kemudian dianalisis. Data-data yang
diperoleh dari berbagai sumber akan dianalisis melalui metode:
1.
Metode
Induktif, yaitu suatu metode yang dipakai untuk menganalisis data yang bersifat
khusus dan memiliki unsur kesamaan, sehingga dapat digeneralisasikan menjadi
kesimpulan umum.
2.
Metode
Deduktif, yaitu pola pikir yang berangkat dari pemahaman yang bersifat umum
kemudian ditarik pada kesimpulan yang bersifat khusus. Metode ini digunakan
dalam rangka mengetahui tentang detil-detil pemahaman yang ada dalam berbagai
teks.
3.
Metode
Komparatif, yaitu metode penelitian deskriptif yang berusaha mencari pemecahan
melalui analisa tentang perhubungan-perhubungan sebab-akibat. Dengan metode ini
penyusun berusaha meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan
fenomena yang diselidiki dan membandingkan satu faktor dengan faktor lainnya. Dalam
skripsi ini, perbandingan yang dimaksud adalah pandangan Paramadina dan fatwa
MUI tentang pluralisme agama.
G. Sistematika Pembahasan
Sebagai upaya untuk enjaga keutuhan pembahasan dalam skripsi ini agar
terarah secara metodis, penyusun menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab Pertama adalah Pendahuluan yang mencakup aspek-aspek utama dalam
penelitian, yaitu: Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Kegunaan,
Tinjauan Pustaka, Kerangka Teoretik dan Sistematika Pembahasan.
Bab Kedua berisi sekilas tentang biografi lembaga Paramadina dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI), dan paparan mengenai pluralisme agama menurut dua
lembaga tersebut.
Bab Ketiga memuat analisis perbandingan atas pandangan lembaga Paramadina
dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah dipaparkan dalam bab kedua di
atas.
Bab Keempat merupakan bab penutup berisi kesimpulan dari hasil analisis
di atas dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA