Metodologi Fiqh Sosial M.A. Sahal Mahfudh


Metodologi Fiqh Sosial M.A. Sahal Mahfudh

Tekan ctrl  + click salah satu iklan dibawah untuk lanjut membaca
push ctrl + click one of the banners below before continue reading
 

A.     Latar Belakang Masalah

Dalam konstruk masyarakat kita masih terdapat suatu tradisi yang tidak mudah dihilangkan yaitu percampuran antara hukum Islam (fiqh) dan budaya lokal atau nuansa sosial yang berkembang di daerah tertentu. Dalam hal ini budaya lokal diartikan lebih spesifik kepada permasalahan sosial yang terjadi, karena dampak yang jelas terjadi dari adanya budaya lokal tersebut adalah pengaruh yang kuat terhadap bentukan karakter sosial masyarakat yang mendiami tempat tertentu.
Hal itulah yang menjadi kegelisahan para ahli fiqh di kalangan Indonesia dalam menemukan suatu alternatif hukum yang lebih fleksibel dan kontekstual. Fiqh yang dibawa dan disampaikan dari Nabi, kemudian diteruskan para sahabat, tabiin, kemudian para ulama terasa masih begitu kaku dan tidak selalu sesuai dengan kondisi sosial dan geografis daerah tertentu. Fiqh dipahami oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sangat formal, sehingga tidak jarang masyarakat merasa terbatasi ruang sosialnya.
Pada perkembangannya, belum ada suatu metodologi (manhaj) yang memahami syari'at secara tuntas dan tepat, untuk mengatasi segala permasalahan sosial yang terus berubah. Fiqh sosial yang dimunculkan oleh Sahal Mahfudh merupakan salah satu proses ijtihad untuk mengatasi kompleksitas sosial tersebut.[1] Berangkat dari pemikiran ulama-ulama terdahulu, baik dari konteks metodologis maupun dari kumpulan hukum yang dihasilkan (qauli).[2] Oleh karena itu, mendorong penyusun untuk menganalisis konsep metodologi yang diterapkan dalam fiqh sosial tersebut dan hal-hal yang berkaitan erat dengan permasalahan fiqh sosial.

B.      Sejarah Perkembangan Fiqh Hingga Kemunculan Fiqh Sosial di Indonesia
Pada tahap awal perkembangan fiqh[3] terdapat perbedaan pendapat mengenai asal-usul keputusan yang berasal dari Nabi atau para sahabat yang meneruskannya apakah itu asli atau palsu. Hal itu tidak bisa langsung dipastikan karena minimnya data yang obyektif untuk menunjukkan asal dari keputusan tersebut. Namun ada beberapa hal yang perlu diketahui seperti dibawah ini:
Pertama, umat Islam menjadi entitas politik independen yang memerlukan aturan dan ketentuan sehari-hari untuk pemerintahan dan administrasi peradilan sejak tahun 622 M. Sumbernya adalah al-Qur'an dan hadis Nabi, baik selama beliau masih hidup maupun setelah beliau wafat.[4] Jelas sekali disini bahwa pendapat dan tindakan Nabi merupakan prioritas kedua setelah wahyu Allah, sekaligus sebagai suri tauladan nyata bagi seluruh umat Islam. Setelah Nabi tiada pun, posisi hadis masih menjadi pertimbangan utama bagi kaum muslim dalam mengambil contoh tindak-tanduknya.
Kedua, walaupun terdapat banyak keputusan dan pendapat Nabi yang diteruskan generasi Muslim pertama dan kedua, namun beberapa dekade setelahnya warisan itu diberikan berupa tradisi lisan informal yang kemudian dikumpulkan dan dan direkam ulang pada abad kedua Islam. Hal itu dilakukan dilakukan untuk kepentingan pengkajian dan pengembangan keilmuan Islam.[5] Kesadaran untuk mengumpulkan dan mendokumentasikan karya Nabi itu merupakan tanda peningkatan kebutuhan terhadap figur Nabi.
Ketiga, pengkajian secara sistematik muncul pada abad kedua Islam sebagai bentuk upaya memilah dan membuat rangking berbagai pendapat dan keputusan generasi Muslim pertama dan kedua dari perspektif al-Qur'an dan hadis. Hadis mempunyai posisi signifikan dan lebih otoritatif dari sumber syari'ah lainnya.[6] Tradisi yang dilestarikan oleh generasi saat itu berpengaruh pada generasi-generasi selanjutnya dan mempunyai dampak yang kuat terhadap pembentukan pola pikir generasi seterusnya.
Tradisi Nabi yang dilanjutkan oleh para sahabat telah menemukan suatu istilah baru yaitu fiqh sabahat. Fiqh sahabat memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam khazanah pemikiran  Islam.  Pertama,  sahabat  -sebagaimana didefinisikan ahli hadis- adalah orang yang berjumpa dengan Nabi dan  meninggal dunia sebagai orang Islam. Umat Islam mengenalnya dengan hadis/sunnah Nabi, oleh karena itu, dari mereka juga kita mewarisi perbedaan (ikhtilaf) di kalangan kaum Muslim. Kedua, zaman sahabat adalah zaman setelah berakhirnya masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila pada zaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Nabi, maka pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Sementara itu, perluasan kekuasaan  Islam  dan  interaksi  antara  Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru. Dan para sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fiqh (pemahaman)  mereka.
Dalam perkembangan ilmu fiqh, mazhab sahabat -sebagai ucapan dan perilaku yang keluar dari para sahabat- akhirnya menjadi salah satu sumber hukum Islam di samping istihsan, qiyas, mashalih mursalah dan sebagainya. Mazhab sahabat pun menjadi hujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat, sebagian menganggapnya sebagai hujjah mutlak; sebagian lagi sebagai hujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya hanya menganggap hujjah menurut pendapat Abu Bakar dan Umar saja, berdasarkan hadis "berpeganglah pada dua orang sesudahku, yakni Abu Bakar dan Umar", dan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatan khulafa' al-Rasyidin. Yang keempatahl al-Sunnah sepakat menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah baik (al-shahabiy kulluhum 'udul).[7]     
Salah satu penyebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Nabi. Sementara itu, setelah Nabi wafat, masa tasyri' tidak bisa dilanjutkan. Menghadapi masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan. Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an setelah Nabi wafat dipegang  oleh ahl  al-Bait. Hanya merekalah, menurut nash dari Nabi, yang harus dirujuk untuk menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa berhentinya wahyu, karena mereka memahami betul tugas mereka adalah mengacu pada Ma'shumun.
Kelompok kedua, memandang tidak ada orang tertentu yang ditunjuk Nabi untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Al-Qur'an[8] dan al-Sunnah[9]  adalah sumber untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Kelompok ini -kelak disebut Ahl al-Sunnah- ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak hal tidak  terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakan metode-metode ijtihad seperti qiyas atau istihsan. Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali Ali bin Abi Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakan ra'yu, dan  kelompok pertama lebih banyak merujuk nash. Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama dalil naqli.
Uraian diatas telah menggambarkan tentang sejarah fiqh dari masa awal Nabi hingga masa generasi selanjutnya. Berkaitan dengan sejarah fiqh yang menyebar sampai ke negara Indonesia melalui para "utusan-utusan" yang telah terpilih. Maka sesuai perkembangan yang sampai ke Indonesia ajaran fiqh hadir di tengah masyarakat kita dengan corak kearaban yang cukup khas. Perbedaan kultur antara negara asal ajaran fiqh dengan negara yang menjadi sasaran penyebaran ajaran Islam membuat fiqh "Arab"[10] itu tidak mudah diterima oleh masyarakat kita dan memerlukan waktu yang cukup lama.
Pada dasawarsa terakhir ini terdapat gejala yang menarik mengenai perkembangan wacana fiqh Indonesia. Fenomena ini diwarnai dengan munculnya wacana fiqh sosial yang diprakarsai oleh M.A. Sahal Mahfudh dan  Ali Yafie. Kedua intelektual berbasis tradisionalis tersebut sangat giat dalam mewacanakan fiqh itu kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat tradisional yang secara politik tersisihkan. Penjelmaan karakter tersebut cukup kentara berseberangan dengan kekuasaan yang ada, hingga sering disebut dengan golongan "tradisionalis radikal" atau kelompok yang sering memiliki pandangan berseberangan dengan negara.[11] Hal itu tidak lain terpengaruh oleh kondisi sosial pendiri fiqh kontekstual tersebut.
Awalnya wacana itu sangat populer di kalangan masyarakat kita, namun tidak lama setelah itu sudah menjadi wacana yang umum dan lumrah. Bagi sebagian kalangan menganggap wacana itu akan tetap menarik selagi belum lahir fiqh kontekstual serupa yang lebih aktual. Oleh karena itu, pada bahasan selanjutnya mengkaji permasalahan fiqh sosial dan seputarnya yang lebih luas dan detail.

C.     Karakteristik Pemikiran Hukum Islam M.A. Sahal Mahfudh

Pemikiran fiqh M.A. Sahal Mahfudh cenderung berbeda dengan yang lainnya. Hal itu banyak dipengaruhi oleh kegelisahan beliau terhadap budaya pemikiran formalis, dalam artian menerapkan teori-teori fiqh hanya berdasarkan pada pemahaman tekstual saja tanpa mempertimbangkan kondisi praksisnya atau kontekstualitasnya. Ternyata, di kalangan masyarakat pun terdapat kegelisahan semacam itu dan merasa tidak leluasa dengan model berpikir ala formalis. Dari situ muncul fiqh kontekstual sebagai salah satu alternatif pilihan atas kegelisahan yang berkembang di masyarakat. Istilah yang digunakan pun cukup akomodatif yaitu fiqh sosial, yang mengartikan bahwa cara berpikir dan bertindak sesuai dengan kondisi sosial yang berkembang di masyarakat tanpa menghilangkan landasan tekstualnya.
Jika kita amati dengan jeli, konsep M.A. Sahal Mahfudh itu merupakan krtik terhadap dua mainstream pemikiran yang berkembang saat itu, yakni: pertama, kelompok yang hanya menekuni wilayah praksis tanpa dibekali dengan kemampuan yang memadai. Kedua, kelompok yang hanya sibuk berdiskusi atau berretorika tetapi lupa terhadap kondisi yang berkembang di masyarakat.[12] Pada kelompok pertama banyak ditemui dalam komunitas masyarakat awam yang nota bene hanya mengikuti cara bertingkah laku berdasarkan penuturan sesepuh atau pemuka agama. Keberadaan mereka hanya sebagai folllowers (pengikut) dan bukan sebagai native reader (pembaca yang langsung merujuk pada landasan-landasan tekstual) atau pada tingkatan menengah yaitu cara berperilaku mereka yang sebenarnya mempunyai landasan tekstual namun tidak sepenuhnya menguasai inti-inti dari pemahaman tekstual seperti penguasaan dalam membaca kitab-kitab klasik dan minimnya pengetahuan terhadap fiqh. Kenyataan semacam itu tidak ayal lagi memunculkan taqlid yang menjurus pada taqlid buta, dan menjadi rongrongan terhadap kemurnian fiqh. Kemudian kelompok kedua biasanya terdapat dalam lingkungan akademisi dan lembaga sosial “abstrak”, yang hanya menggeluti dunia retorika tanpa banyak menerapkannya di lapangan. Jadi, teori-teori yang diwacanakan tak ubahnya sebagai wacana-wacana yang tidak membumi dan selesai pada penyampaian lisan saja. Kenyataan semacam itu lebih menggerogoti dari kenyataan yang dilakukan oleh kelompok pertama sebab permasalahan fiqh menjadi utopia, tanpa mempunyai realitas dan kontribusi yang jelas dalam masyarakat.
Pemikiran beliau mempunyai kesamaan substansial dengan pemikiran Ali Yafie yaitu dalam menyikapi kondisi sosial dan normativitas agama. Tindakan sosial yang mempunyai keterkaitan kuat dengan agama tetap harus berdasarkan norma-norma agama itu, walaupun dalam realisasinya lebih kondisional. Dia mengemukakan:
"Tajdid merupakan upaya menerapkan norma-norma agama atas realitas sosial, untuk memahami kebutuhan perkembangan masyarakat, dengan berpegang pada dasar-dasar (usul) yang sudah diletakkan oleh agama itu, melalui proses pemurnian yang dinamis. Jadi, tajdid yang kita maksudkan bukan berarti menggantikan ajaran-ajaran dan hukum-hukumnya yang bersifat mutlak, fundamental dan universal, yang sudah tertuang dalam ketentuan-ketentuan otentik (qat‘iyyat). Tapi tajdid itu mempunyai ruang gerak yang cukup luas dam hal memperbaharui cara memahami, menginterpretasi, mereformulasi dan melakukan teo-passing atas ajaran agama-agama itu, yang berada di luar wilayah qat‘iyyat yaitu ketentuan-ketentuan yang sifatnya zanniyat yang menjadi wilayah kajian ijtihad."[13]

Pemahaman diatas mengerucut pada suatu terminologi yang dikembangkan oleh M.A. Sahal Mahfudh bahwa ibadah memiliki dua dimensi, yakni dimensi yang bermanfaat untuk kepentingan pribadi (individual/ syakhshiyyah) dan dimensi yang bermanfaat untuk orang lain atau masyarakat (sosial/ijtima'iyah).[14] Memang, dalam kenyataannya tidak semudah apa yang diinginkan oleh syari‘at Islam. Tuntunan syari‘at Islam untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari kadang menemukan jalan kebekuan karena nuansa formalistik yang sering membatasi ruang gerak subyek.
Menurut M.A. Sahal Mahfudh, ciri-ciri yang menonjol dari ”paradigma ber-fiqh” baru itu yaitu: pertama, mengupayakan interpretasi ulang terhadap teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru. Kedua, makna bermazhab berubah dari bermazhab tekstual (mazhab qauly)  ke bermazhab secara metodologis (mazhab manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar antara ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi[15] pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.[16] Oleh karena itu kehadiran fiqh disini juga sebagai perangkap hermeneutika yang berpengaruh pada persoalan metodologisnya.
Berdasarkan pengembangan teoritis dalam metode berijtihad,[17] maka muncul penegasan secara teoritis dalam hal metode dan prosedur penggalian hukum, metode manhajiy merupakan suatu perkembangan yang ideal karena konsekuensi penggunaan metode ini adalah harus mengacu pada metode penggalian hukum mazhab empat secara komprehensif dengan memperhatikan ragam dan hirarkinya.[18] Sebenarnya hal itu saja tidak cukup, karena baik kaidah fiqh maupun ushul fiqh dalam batas tertentu akan tidak mampu memecahkan problem hukum kontemporer. Oleh karenanya agar metode itu compatible dengan dunia modern, maka perlu ada pengembangan metodologi yang lebih tepat.
Berijtihad dengan model manhajiy di atas, masih berkutat pada pengambilan dan mengikuti apa yang sudah dihasilkan oleh ulama mazhab, belum sampai pada pengembangan metodologi yang mesti menjadi kebutuhan dalam konteks memecahkan problem hukum kontemporer.[19] Pengembangan metodologi dilatarbelakangi oleh kenyataan ketidakcukupan metode klasik memecahkan problem-problem kontemporer. Sementara metode-metode pengetahuan modern karena meninggalkan peran wahyu juga dirasa tidak cukup memberikan jawaban kebutuhan muslim kontemporer.
Pengembangan yang dimaksud adalah melakukan upaya rekonstruksi bangunan teori bermazhab secara manhajiy yang telah didefinisikan di atas, yang dikawinkan dengan motode-metode sains modern dengan mengambil elemen-elemen baik dari metode-metode Islam klasik maupun metode-metode Barat modern. Sintesa dari keduanya diharapkan menghasilkan sebuah metode yang cukup applicable. Usaha itu dilakukan dalam rangka pengembangan pemikiran metodologis menuju –meminjam istilah Qodri Azizi- “ijtihad saintifik modern” dengan metode “manhajiy eklektis[20] atau “manhajiy plus saintifik”, sebagai implementasi al-Muhafadzoh ‘ala al-Qadim al-Shaleh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (melestarikan khazanah lama yang baik dan mengambil khazanah baru yang lebih baik) .

D.     Kerangka Paradigmatik Fiqh Sosial


Dalam melihat permasalahan fiqh sosial sebaiknya kita memahami terlebih dahulu aspek-aspek yang dikaji oleh fiqh. Fiqh membahas empat aspek kehidupan umat manusia. Satu diantaranya adalah membahas persoalan ’ubudiyah, yaitu mengatur hubungan transendental antara manusia dengan Tuhannya, sedangkan yang lainnya mengkaji tentang aspek kehidupan yang berhubungan langsung dengan kehidupan materiil dan sosial yang bersifat duniawi, yaitu mu`amalat (hubungan profesional dan perdata), munahakah (pernikahan), dan jinayah (pidana).
Dalam hal ini, syari’at Islam mengatur pola hubungan antara manusia dengan Allah dalam muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) dan muthlaqah (tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu, khususnya berkaitan dengan tehnik operasionalnya).[21] Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya diatur dalam mu’asyarah (pergaulan), mu`amalah (hubungan transaksi) dan munahakah (pernikahan).[22] Komponen-komponen tersebut sekaligus merupakan tehnik operasional dari lima tujuan syari’at (maqasyid al-syari’ah),[23] yaitu memelihara agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta benda,[24] dalam artian yang lebih luas.
Kelima tujuan syari’at tersebut mempunyai sasaran inti, yaitu mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin bagi semua umat manusia, artinya bahwa posisi manusia sangat menentukan prinsip syar’i itu.[25] Hal itu merupakan kerangka paradigmatik fiqh sosial yang seharusnya dikembangkan. Fiqh sosial dalam konteks ini diharapkan mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan umum (al-maslahah al-`ammah). Kemaslahatan umum yang dimaksudkan adalah pemenuhan kebutuhan suatu masyarakat dalam kawasan tertentu[26]. Baik kebutuhan itu bersifat dharuriyah (kebutuhan dasar), maupun kebutuhan hajjiyah (sekunder) dan kebutuhan taklimiyah (pelengkap).[27]
Beberapa permasalahan sosial yang dikaji oleh M.A. Sahal Mahfudh yaitu; Pertama, tentang hubungan agama dan negara. Hubungan antara keduanya mengacu pada “simbiosis mutualisme”. Keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan kemaslahatan bersama. Pada gagasan selanjutnya, Kyai Sahal memandang pentingnya “kulturasi politik” untuk mewujudkan masyarakat sipil (civil society) dalam wacana demokrasi modern[28]. Civil society dipahami sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswasembadaan (self generating), ketaatan pada hukum, keswadayaan (self supporting), dan kemandirian (self reliance) berhadapan dengan negara.[29] Pewacanaan civil society itu tidak lain bertujuan untuk meng-counter sistem pemerintahan yang cenderung hegemonik dan tidak melihat kepentingan rakyat, hingga diperlukan dari masyarakat itu sendiri untuk selalu waspada dan kritis terhadap seluruh kebijakan dan keputusan pemertintah. Hal itu bukan berarti sengaja mendirikan oposisi negara yang datang dari masyarakat, namun sekedar untuk memunculkan kesadaran dan kekritisan masyarakat.
Kedua, tentang krisis ekologi. Kyai Sahal memandang penggunaan alam harus didasarkan pada aspek manfaat dan mafsadat, untuk menunjang kebutuhan dan kehidupan yang terdiri dari tiga kategori, yakni kebutuhan mendesak (dharuri), kebutuhan dasar (hajji) dan kebutuhan sekunder (tahsinni). Pemenuhan kebutuhan itu harus sesuai dengan skala prioritas dan ditujukan untuk kepentingan bersama.[30] Kemaslahatan disini tetap pada pertimbangan pemungsian alam untuk kepentingan masyarakat secara umum, tidak diperkenankan penggunaan alam hanya untuk kepentingan pribadi, apalagi yang berakibat pada kerusakan ekosistem alam dan meninggalkan dampak lingkungan yang berbahaya bagi masyarakat sekitarnya.
Ketiga, tentang prostitusi dan industri sex. Melihat kenyataan yang terjadi, pelarangan terhadap prostitusi dan bisnis bukan merupakan suatu solusi karena tidak dapat mencegah berkembangnya perdagangan seksual, maka Kyai Sahal berpendapat bahwa perlu adanya sentralisasi lokasi pelacuran untuk meminimalisir sisi madharat-nya. Pendapat itu didasarkan pada kaidah akhafudz al-dlararain, yang berarti mengambil resiko paling kecil dari dua jenis bahaya yang mengancam.[31] Terlihat sekali penggunaan kaidah didasarkan pada suatu kesadaran realitas yang menunjukkan kemustahilan untuk mencegah pelacuran dengan berbagai cara apapun. Dan memang benar, yang hanya bisa dilakukan adalah mengurangi aktivitas dan penyebaran bisnis pelacuran tersebut, salah satunya dengan membuat lokalisasi pelacuran.
Keempat, tentang pendidikan kontekstual. Kyai Sahal memandang sebuah pendidikan adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Sedangkan sosial, secara ensiklopedis berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat atau secara abstraktis berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut pelbagai fenomena hidup dan kehidupan orang banyak. Baik dari sisi makro individual maupun makro kolektif.[32]
Kritik yang dilakukan Kyai Sahal adalah tentang dunia pendidikan modern yang gagal membawa misi kemanusiaan, termasuk kritik didalamnya adalah ditujukan kepada lembaga pendidikan Islam. Kritiknya adalah sebagai berikut:
“Lembaga pendidikan Islam di luar pesantren yang pada awalnya diharapkan menjadi media alternatif, pada perekembangannya justru dianggap tidak mampu menjaga harapan itu. Kebijaksanaan pendidikan yang bersifat kognitif (dengan asumsi, bahwa pemahaman keilmuan yang mendalam akan melahirkan perilaku agamis yang bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah), pada akhirnya justru melahirkan produk yang menguasai Islam secara Ilmiah, tetapi sering dipertanyakan dari segi penghayatan (amaliyah).”[33]

Pendidikan yang diharapkan Kyai Sahal adalah suatu pendidikan lebih realistis, dalam artian antara teori-teori yang banyak dikembangkan di lembaga pendidikan seharusnya bisa diterapkan sebagaimana mestinya. Ranah yang seharusnya dijangkau oleh para penuntut ilmu juga seharusnya melibatkan keaktifan aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik, hingga wacana pendidikan itu bisa rasakan sepenuhnya sesuai dengan pikiran dan tindakan mereka. Disamping itu, pendidikan juga seharusnya melihat sisi-sisi kemanusiaan, dalam artian untuk menumbuhkan suatu pendidikan yang peduli terhadap nasib rakyat kecil dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan seutuhnya.
Kelima, tentang ekonomi sosialis. Umat manusia sebagai subyek ekonomi dibebankan untuk berikhitiar sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Taklif (pembebanan) ini berimplikasi pada banyak hal. Meskipun ekonomi sendiri bukan komponen fiqh, ikhtiar dalam arti luas adalah terkait erat dengan persoalan usaha ekonomis. Dalam ekonomi Islam, diterapkan pokok-pokok ekonomi secara umum yaitu pertanian, perindustrian, (termasuk juga kerajinan), dan perdagangan.[34] Dalam pelaksanaannya, diharuskan mempertimbangkan kepentingan antara penjual dan pembeli, tidak diperkenankan mengambil keuntungan yang melebihi batas kewajaran dan hal lainnya yang dapat merugikan salah satu pihak. Jelasnya, sistem ekonomi Islam –yang lebih sosialis- dihadirkan untuk menghadang sistem ekonomi global yang kapitalis, dalam artian sistem ekonomi yang lebih melihat pada kepentingan pemilik modal untuk mengeruk keuntungan sebesar mungkin, dan merugikan rakyat kecil.

E.      Kontruksi Fiqh Sosial M.A. Sahal Mahfudh


Keberadaan M.A. Sahal Mahfudh dengan fiqh sosialnya berpengaruh besar terhadap kehidupan umat Islam yang berada di Indonesia. Tawaran fiqh kontekstual itu sangat dipertimbangkan dalam lembaga, forum diskusi, instansi keagamaan dan lain sebagainya. Oleh karena itu tidak sedikit kaum Muslim yang mengikuti pemahaman fiqh itu, walaupun sebagian dari mereka belum paham betul tentang konsepsi utama dari fiqh tersebut.
Kelahiran fiqh sosial itu tidak lepas dari latar belakang Kyai Sahal yang sejak muda bergelut dalam lembaga swadaya masyarakat, apalagi melihat kondisi sosio-kultural dan ekonomi masyarakat kajen yang memprihatinkan. Pergulatan Kyai Sahal di tengah masyarakat kecil telah mempengaruhi konstruksi sosial yang dibangunnya, yakni fiqh sosial yang tidak hanya idealis-paradigmatik, tetapi juga fiqh sosial yang sifatnya “praktis” untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.[35] Upaya realisasi konsep-konsep itu tentunya tidak langsung diterima oleh sebagian masyarakat, sebab diperlukan  pemahaman dan prasangka positif terlebih dahulu. Dengan adanya pemahaman terhadap konsep itu setidaknya dapat menghindari kesalahan pemaknaan dan merealisasikannya. Dan prasangka positif diperlukan juga untuk bisa mencerna konsep baru itu dengan pikiran terbuka tanpa menghilangkan nalar kritisnya.
Pandangan fiqh sosial Kyai Sahal bermula dari tesisnya, bahwa sasaran syari’at Islam adalah manusia. Preposisi tersebut didasarkan kepada sejumlah ajaran dalam syari’at Islam itu sendiri yang mengatur soal penataan hal ikhwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. Syari’at Islam mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, yang dalam terminologi fiqh disebut dengan ibadah.[36] Ibadah itu berhubungan dengan individu dan sosial, terkait dengan segala aspek kehidupan umat manusia.
Selain itu juga, tujuan syari’at (maqasid al-syari’ah) terdiri dari lima bagian yaitu untuk melindungi agama, jiwa, keturunan, akal pikiran, dan harta benda.[37] Rumusan maqasid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek penyembahan Allah dalam arti terbatas pada serangkaian perintah dan larangan, atau halal haram yang tidak dapat secara langsung dipahami manfaatnya. Keseimbangan kepedulian dapat dirasakan bila kita memandang pemeliharaan terhadap agama sebagai unsur maqasid yang bersifat kewajiban bagi umat manusia, sementara yang lainnya dipahami sebagai wujud perlindungan hak yang selayaknya diterima oleh manusia.[38]

F.      Fiqh Sosial dan Legitimasi Kultural

Legitimasi kultural bisa didefinisikan sebagai kualitas untuk menyesuaikan diri dengan perinsip-prinsip atau standar-standar umum budaya yang masih dipersoalkan, dengan cara mendapatkan otoritas dan relevansi dari prinsip dan standar budayanya sendiri. Penelitian menunjukkan, terdapat kemampuan hidup sistem budaya daerah kita di tengah-tengah arus modernisasi yang datang tanpa dapat dicegah. Oleh karena itu, sikap yang tepat adalah bagaimana kita memanfaatkan sistem budaya daerah di suatu tempat dalam kurun waktu tertentu.[39] Norma atau nilai-nilai yang absah secara kultural adalah norma yang dihormati dan dilaksanakan oleh anggota sebuah komunitas budaya karena norma itu dapat memenuhi beberapa kebutuhan atau tujuan komunitas dan individu yang ada di dalamnya. Karena itu, kesuksesan proses legitimasi kultural ini juga ditentukan oleh pengakuan kita bahwa legitimasi kultural berlaku untuk institusi atau norma yang baru diperkenalkan atau dimodifikasi. Proses legitimasi kultural sebenarnya tidaklah sesulit yang dibayangkan karena proses yang sama selalu terjadi di dalam setiap kebudayaan melalui kontestasi dan transformasi internal.[40] Karena mungkin saja terjadi konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan di antara berbagai konsepsi yang berlawanan tentang kebutuhan-kebutuhan atau sasaran-sasaran individu dan kolektif, maka norma-norma atau nilai-nilai dalam setiap kebudayaan yang dihormati dan dipatuhi selalu mengalami perubahan dan penyesuaian diri.
Jelas sekali, keberadaan fiqh sosial mempunyai korelasi kuat dengan sistem kebudayaan lokal yang ada dalam masyarakat tertentu. Tidak jarang dari perkembangan budaya yang terjadi, akan memunculkan pergeseran nilai-nilai sosial yang pada ujungnya membentuk suatu pemahaman fiqh sosial yang baru. Disinilah titik keterbukaan fiqh sosial terhadap fenomena kebudayaan masyarakat. Fiqh tetap dapat mengiringi dan mengikuti proses yang terjadi dalam masyarakat tanpa harus kehilangan norma-norma yang inti.
Meskipun pendekatan ini memungkinkan kebudayaan lokal dipakai untuk membenarkan pelanggaran atau penolakan terhadap eksistensi hak-hak asasi manusia, kita tidak dapat melihat alternatif lain selain metode legitimasi kultural yang bisa terus-menerus ditingkatkan melalui praktek yang ajek. Sebagai contoh, kebudayaan mungkin digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap perempuan atau digunakan untuk melegitimasi hukuman fisik terhadap anak-anak untuk ‘kebaikan’ mereka sendiri. Menolak argumen kultural yang diajukan untuk mendukung pandangan seperti itu tampaknya tidak akan berhasil. Para perempuan sendiri malahan sepertinya menerima represi atas diri mereka jika mereka meyakini bahwa represi itu adalah ‘kehendak Tuhan’ atau tradisi abadi komunitas mereka. Sebaliknya, menggunakan pendekatan yang mengakui nilai penting ketertundukan pada kehendak Tuhan atau tradisi lokal, sembari terus mempertanyakan makna nilai tersebut dalam kondisi sekarang ini, nampaknya lebih persuasif. Sebagai seorang Muslim, jika kita dihadapkan pada pilihan antara Islam dan hak-hak asasi manusia, seharusnya kita memilih Islam. Tapi jika dihadapkan pada argumen bahwa ternyata ada konsistensi antara agama yang kita anut dengan hak-hak asasi manusia, kita akan dengan senang hati menerima hak-hak asasi manusia sebagai ekspresi nilai-nilai agama dan bukan sebagai penggantinya. Sebagai Muslim pendukung hak-hak asasi manusia, kita mesti terus mencoba mencari cara untuk menjelaskan dan mendukung klaim bahwa hak-hak asasi manusia sesuai dengan Islam, benar-benar diperlukan dari perspektif Islam,[41]  meskipun tidak sesuai dengan beberapa interpretasi manusia atas syariah.
Otoritas dan relevansi perubahan yang diperoleh dari validitas internal adalah penting karena beberapa alasan yang inheren dalam dinamika-dinamika hubungan-hubungan sosial dan interaksi sosial. Pertama, masyarakat mungkin menganggap perubahan sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat, tapi perubahan-perubahan demikian mungkin pada awalnya ditolak sebagai sesuatu yang negatif dan merusak oleh para penjaga tradisi tatanan sebelumnya. Dengan menerima kenyataan ini, setiap pihak yang berdebat mampu menyoal bagaimana cara memahami dan menghadapi sudut pandang pihak lain. Para pendukung dan penentang perubahan sosial tidak perlu dendam. Tentu saja para pendukung perubahan bisa menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang absah bagi masyarakat yang sedang tumbuh, sementara para penentang bisa menyediakan kebutuhan masyarakat yang sama dengan menolak perubahan, hingga kasus perubahan ini diangkat ke permukaan. Bagaimanapun, menegakkan hak-hak asasi manusia berarti juga menegakkan hak-hak orang-orang yang menentang kita atau orang yang tidak kita sukai. Bahkan kita mungkin perlu lebih memperhatikan hak-hak mereka dibanding hak-hak orang yang setuju dengan kita, karena kita lebih mungkin melanggar hak-hak musuh kita di banding hak-hak teman-teman kita. Konsistensi seperti ini penting untuk kredibilitas prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia itu sendiri.
Kedua, karena seorang individu tergantung pada masyarakatnya yang mampu untuk menanamkan atau memaksakan keselarasan pada anggota-anggotanya, kebijakan dan tindakan publik lebih mungkin berjalan seiring dengan norma-norma dan pola-pola perilaku kultural yang ideal dibanding tindakan-tindakan pribadi. Perubahan perilaku publik mungkin membutuhkan waktu yang lama karena individu cenderung menyesuaikan diri setelah norma baru diterima secara luas.[42] Dengan kata lain, perlawanan yang terbuka dan sistematis terhadap norma-norma tradisional sangat mengancam orang-orang yang berkuasa, yakni kaum elit yang memiliki kepentingan tertanam (vested interest) terhadap status quo. Untuk menekan perilaku orang yang tidak selaras, elit-elit itu akan mengeluarkan perintah untuk menjaga stabilitas dan kepentingan vital masyarakat luas, dibanding mengakui kenyataan bahwa kepentingan-kepentingan mereka sendiri yang coba mereka lindungi. Pertanyaannya kemudian, siapa yang memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang baik untuk publik, dan substansi masalah yang diperdebatkan menjadi pengganti (proxy) perjuangan yang tak ada habisnya untuk mendapatkan kekuasaan itu. Faktor-faktor ini menekankan hasrat untuk mencari dukungan ideal budaya bagi setiap proposisi kebijakan dan tindakan publik, karena hal itu tidak akan dengan mudah ditolak oleh para penjaga kemapanan dan kebaikan masyarakat, yang menunjuk dirinya sendiri.

G.     Penutup

Pada pembahasan-pembahasan diatas, maka terdapat suatu kesimpulan bahwa fiqh sosial M.A. Sahal Mahfudh dibuat untuk mendapatkan suatu solusi atas problem-problem fiqh yang sering menemukan kejumudan dan deadlock (jalan buntu) karena nuansa fiqh klasik yang cenderung formalistik. Dalam konteks kenegaraan, kehadiran fiqh sosial bukan diartikan untuk menandingi hukum positif yang ada, namun merupakan tawaran solusi yang ditujukan kepada umat Islam, dan tidak ada keinginan untuk mem-positifkan fiqh sosial itu. Keberadaan fiqh sosial itu juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang berkembang dalam masyarakat. Bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi pergeseran nilai-nilai sosial yang memuncak pada pembenahan fiqh sosial yang baru karena pengaruh dari kebudayaan masyarakat yang terus berubah.


[1] Pemikiran fiqh sosial Sahal Mahfudh tidak sebatas itu saja, masih banyak contoh-contoh lain yang berdasarkan pada paradigma fiqh kontekstual-historis, seperti transplantasi organ tubuh. Lihat: M.A. Sahal Mahfudh, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat), Cet. I (Surabaya: Ampel Suci Bekerjasama dengan LTN NU Wilayah Jawa Timur, 2003), hlm. 316-317.
[2] Secara qauli,  pengembangan fiqh bisa dilakukan dengan kontekstualisasi kitab kuning atau melalui pengembangan contoh-contoh penerapan kaidah usul fiqh maupun Qawa’id al-fiqhiyah. Sedangkan secara manhaji, pengembangan fiqh bisa dilakukan dengan mengembangkan teori masalik al-’illat, supaya sesuai dengan maslahat al-`ammah. Lihat: M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Cet. IV (Yogyakarta: LkiS), hlm. xxvi; dan Sahal Mahfudh, Wajah Baru Fiqh Pesantren (Jakarta: Citra Pustaka Bekerjasama dengan Keluarga  Mathali’ul Falah (KMF) Jakarta, 2004), hlm. 295-296. 
[3] Sebelum membahas secara keseluruhan, ada baiknya memahami pengertian antara fiqh, syari’at, dan tasyri’. Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili. Syari’at adalah seluruh kitab Allah yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di luar permasalahan akhlak atau nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliyah. Dan Tasyri’ adalah penetapan hukum dan tata aturan Allah yang menyangkut tingkah laku manusia. Lihat, Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm.11-13.
[4] Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari'ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, alih bahasa Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, Cet. III (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 34.
[5]  Ibid, hlm. 34-35.
[6] Ibid, hlm. 35.
[7] Armansyah, "Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh 1," http://armansyah.swaramuslim. netiv.22/, akses 6 Juni 2007.
[8] Al-Qur'an adalah kitab yang terjaga dan tidak ada pergantian dalam kata-katanya, tidak ada yang me-nasakh hukum-hukumnya atau pun merusaknya. Namun, pada saat yang bersamaan harus disadari, bahwa makna kandungan al-Qur'an tidak mampu dijangkau secara keseluruhan oleh akal manusia. Al-Qur'an selalu relevan untuk setiap umat, memberikan jaminan kebahagiaan setiap zaman dan tempat. Langgam bahasanya sangat syahdu, jalinan ayat-ayatnya saling terkait dengan indah, fasilah (akhir ayat) dari masing-masing ayat terasa sangat menakjubkan. Lihat, Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam; Pergumulan Teks dan Realitas (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 4-5. Lihat juga, Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, alih bahasa R. Cecep Lukman Hakim (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 146.
[9] Fungsi al-Sunnah terhadap hukum-hukum yang masih global dan belum terperinci dalam al-Qur'an antara lain: pertama; sebagai ta'kid (penguat atau penegasan terhadap ketentuan-ketentuan atau hukum yang datang dari Qur'an. Kedua; sebagai penjelasan (bayan) terhadap apa yang dimaksudkan al-Qur'an. Ketiga; menjadi dalil atas hukum yang  didiamkan oleh al-Qur'an. Keempat; Me-Nasakh (menghapus) hukum yang disebutkan di dalam al-Qur'an, terutama bagi orang yang berpendapat al-Sunnah boleh me-nasakh al-Qur'an. Lihat, Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam….,  hlm. 37-39.  Lihat juga, Yassin Dutton, Asal Mula Hukum Islam; Al-Qur’an, Muwatta, dan Praktek Madinah, alih bahasa M. Maufur (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 342.
[10] Pada zaman sebelum masuknya Islam, terdapat kredo-kredo keagamaan (diniyah) atau keubudiyahan (ta‘aubudiyah) yang berasal dari suku-suku Arab yaitu: mengagungkan ka’bah dan tanah Haram, haji dan umrah, mensucikan bulan ramadan, mengagungkan bulan-bulan mulia, dan mengagungkan Nabi Ibrahim dan Ismail. Lihat, Khalil Abdul Karim, Historisitas Syari’at Islam, alih bahasa M. Faisol Fatawi (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003), hlm. 19-24.
[11] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 107-108.
[12] Sumanto al-Qurtuby, KH. M.A. Sahal Mahfudh: Era Baru Fiqh Indonesia (Yogyakarta: Cermin, 1999), hlm. 80.
[13] Ali Yafie, “Tajdid; Adakah Suatu Kemestian?” dalam Pesantren, No. 1/Vol.V/1988 (Jakarta: P3M, 1988), hlm. 6.
[14] M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa…., hlm. 19.
[15] Metodologi merupakan wilayah yang juga terkena imbas persoalan studi dan praktek hukum Islam. Hal ini terlihat terutama pada adanya tarik menarik antara model teologis-normatif-deduktif dan empiris-deduktif. Pendekatan Teologis-normatif-deduktif cenderung didominasi oleh Aristotalian logic yang bercirikan dichotomous logic atau dalam bahasa John Dewey in pairs of dichotomies, yang lebih bercirikan eternalistic-spiritualistic-logic. Akhmad Minhaji, “Hukum Islam antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial)”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam pada fakultas Syari’ah di Hadapan Senat Terbatas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 25 September 2004.
[16] Ibid, hlm. vii-viii.
[17] Kesimpulan awal dari metode ijtihad itu adalah hukum Islam mampu merespon perubahan sosial yang terjadi. Responsibilitas hukum Islam di atas tidak identik dengan aliran historis yang melihat hukum semata-mata hasil proses perubahan sosial suatu masyarakat. Kaidah yang sering digunakan para pakar hukum Islam adalah la yunkar taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkan wa al-azlam, yang mengartikan bahwa tidak dipungkiri adanya perubahan hukum akibat perubahan tempat dan waktu. Lihat, Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 47.
[18] Metode dan hirarki penggunaan sumber hukum Islam menurut mazhab Hanafi adalah: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahihah, Aqwal ash-Shahabah, Qiyas, al-Istihsan, Ijma’ Mazhab Maliki: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahih, Ijma’ ash-Shahabah, ‘Amal Ahl Madinah, Fatwa ash-Shahabah, Qiyas, Istihsan, al-Mashalih al-Mursalah, dan az-Zara’i.  Mazhab Syafi’i: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahih, Ijma’, Aqwal ash-Shahabah, dan Qiyas. Mazhab Hanbali: Nash, Ijma’, Qiyas, al-Mashalih al-Mursalah, al-Istihsan, az-Zara’i, Fatwa ash-Shahabah, dan al-Istishab. Lihat  Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 130-131.
[19] A. Qodri Azizi, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik Modern (Jakarta: Penerbit Teraju, 2003),  hlm. 54.
[20] Eklektis diambil dari sebuah pemahaman yang sering disebut Eclecticism yaitu the methode system af an eclectic (metode atau sistem untuk pilihan dari beberapa sumber). Eklektisime disini bermaksud hanya sebagai sebuah pendekatan akademik, bukan sebuah paham, dan bukan pula sebagai proses untuk membangun sebuah aliran. Lihat,  A. Qodi Azizy, Hukum Nasional; Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum (Jakarta: Teraju, 2004), hlm.12.
[21] Mutlaq dan muqayyad, bersamaan dengan kaidah-kaidah qiyas dan kehujjahannya, batasan-batasan umum, perintah (amr) dan indikatornya, kaidah-kaidah larangan (nahy) termasuk al-adillah al-syar’iyyah al-kulliyyah (dalil-dalil syara’ yang umum). Lihat, Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqh (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 22-23. Lihat juga, Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan teori Hukum Islam (Usul al-Fiqh), alih bahasa Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.184-186. Teori-teori tentang hukuman dengan pembalasan dendam pribadi, hukuman hadd, hukuman ta’zir, dan tindakan koersif dan preventif menunjukkan gagasan yang bervariasi. Lihat, Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa Joko Supomo (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 279.
[22] M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa…., hlm. xxxi.
[23] Maqasyid al-syari’ah sebagai sebuah doktrin, maksudnya bertujuan untuk mencapai, menjamin dan melestarikan kemaslahatan bagi umat manusia, khususnya umat Islam. Sedangkan sebagai sebuah metode, merupakan pisau analisa atau kacamata untuk membaca kenyataan yang ada disekeliling kita. Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2006), hlm. 45 & 48.
[24] Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam; Pergumulan Teks dan Realitas, alih bahasa Abdul Mustaqim (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. xiii.
[25] Sebagaimana umat Islam meyakini bahwa hukum Islam adalah hukum Tuhan yang dipersiapkan untuk kepentingan manusia di bumi. Oleh karena itu “bahasa” hukum yang digunakan harus berupa “bahasa” yang dapat dipahami manusia dan logika hukum yang dipakai harus dapat dijangkau oleh logika manusia. Lihat, Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara; Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 172.
[26] Selain itu juga, kemaslahatan harus bersifat dinamis dan fleksibel, artinya kemaslahatan sesuai dengan perkembangan zaman. Lihat, Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Cet. 2 (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 37.
[27] M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa…., hlm. xxxiv.
[28] Di samping itu ada konsep masyarakat madani, yang berarti pola kehidupan sosial yang sopan yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh pada peraturan atau hukum. Lihat, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis; Dinamika Studi Islam di Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2002), hlm. 87.
[29] Sumanto al-Qurtuby, KH. M.A. Sahal ….., hlm. 87-89.
[30] M.A. Sahal Mahfudh, “Pendekatan Kaum Dakwah untuk Kaum Dhuafa”, dalam Mimbar Ulama, hlm. 44.
[31] M.A. Sahal Mahfudz, “Aids dan Prostitusi dai Dimensi Agama Islam”, makalah disampaikan pada seminar Aids dan Prostitusi  oleh YASKI, Yogyakarta, 21 Juni 1987.
[32] M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa…., hlm. 252.
[33] M.A. Sahal Mahfudh, ”Pendidikan Islam dalam Era Industrialisasi”, makalah disampaikan pada Kuliah Umum INISNU, Jepara, 21 Oktober 1995.
[34] M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa…., hlm. 150-153.
[35] Sumanto al-Qurtuby, KH. M.A. Sahal ….., hlm. 154.
[36] Ibid, hlm. 156.
[37] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Cet. V (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 188.
[38] M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa…., hlm. xliv.
[39] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Cet. II (Jakarta: The Wahid Institue, 2006), hlm.  257-258.
[40] Pada Zaman Nabi yang sering menjadi masalah adalah persoalan dimensi, etika, dan kebudayaan yang telah menjadi bagian dari agama, dan perlu adanya pemisahan agama dan budaya. Lihat Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih bahasa Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hlm. 252-253.
[41] Islam adalah agama yang membawa misi pembebasan dan keselamatan. Islam hadir di muka bumidalam rangka memberikan moralitas baru bagi transformasi sosial. Islam sebagai sumber moral dikarenakan karakter Islam yang metafisik dan humanis. Lihat, Nurcholis Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 176.
[42] Dalam wacana yang lebih ideologis akan terjadi suatu relasi antara rasionalitas, interest, dan power sebagai suatu ruang ekspresi diri yang bersifat simbolik dan kolektif (a kind of collective symbolic self-expression) untuk mengangkat dan melegitimasi kepentingan-kepentingan suatu kelompok (to inspire commitment) dalam berhadapan dengan kepentingan kelompok lainnya. Lihat, Ahmad Baso, NU Studies; Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 268.

0 komentar:

coment after read! and comment with ethic!
habis baca jangan lupa comment! comment dengan etika