KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP HAK-HAK
PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN
(Studi Banding Atas Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia)
Oleh: Masnun Tahir, M.Ag
Tekan ctrl  + click salah satu iklan untuk lanjut membaca
push ctrl + click on of the banners before continue reading
Abstraksi
Tulisan ini membahas masalah kebijakan negara terutama Syiria dan Tunisia tentang hak-hak perempuan dalam perkawinan. Pengambilan tema ini didasari oleh realitas yang berkembang bahwa wacana tentang hak-hak perempuan masih saja menyisakan persoalan apalagi berhadapan dengan teks-teks klasik, yang harus diakui juga masih sangat maskulin. Begitu juga substansi tema dalam tulisan yaitu tentang hak-hak perempuan (nafkah, perceraian, dan kasus poligami)  ini merujuk pada permasalahan-permasalahan yang sering melahirkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jika tidak dipahami secara substanstif.  Kenapa Syiria dan Tunisia?, dalam pengamatan terbatas penulis kedua negara ini  dalam mengeluarkan legislasi tentang hukum keluarga sudah mengalami keberanjakan dari doktrin-doktrin hukum Islam klasik, sebuah terobosan dan pengalaman yang bisa dijadikan contoh bagi negara-negara muslim  --termasuk Indonesia--dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kaum hawa itu. Tulisan ini di mulai dengan pendahuluan yang mengupas potret sedih perempuan di bawah kekuasaan laki-laki dengan segala resikonya. Hal ini yang melahirkan pemberontakan dan keinginan untuk melakukan reformasi hukum terutama di Syiria dan Tunisia. Sebelum berbicara tentang substansi reformasi hukum keluarga di kedua negara tersebut, pembahasan tentang kondisi sosial geografis dan politis kedua negara tersebut juga di bahas. Kemudian dilanjutkan dengan perkembangan dhukum keluarga di kedua negara tersebut.  Setelah pembahasan substansi-substansi reformasi hukum keluarga baru analisis dengan menggunakan perbandingan dengan kitab klasik dan maslahat ammah. Tulisan ini ditutup dengan berbagai kesimpulan dan rekomendasi. Diharapkan dengan pembahasan ini akan menjadi rujukan dan referensi para penggiat hukum Islam dan pengambil kebijakan hukum di negara kita untuk menghasilkan produk hukum keluarga yang sensitif dan berkeadilan gender. Kalau ini  bisa dilakukan, penulis yakin tidak ada lagi diskriminasi atas nama apapun termasuk atas nama Tuhan, karena Tuhan mengajarkan al-musawah (egaliterianisme) di antara makhluknya. Dan tidak ada salahnya kalau mengambil contoh yang positif walaupun sampai negeri Seberang seperti Syiria dan Tunisia sebagaimana yang menjadi pembahasan tulisan ini.

A.    Pendahuluan
Diskursus tentang hak-hak perempuan telah muncul sebagai masalah yang sangat penting di eluruh dunia dan di segala kelompok masyarakat. Alasannya jelas selama ribuan tahun perempuan terus menerus berada di bawah kekuasaan laki-laki dalam suatu mayarakat patriarchal. Demikianlah, selama berabad-abad “hukum alam” ini menetapkan perempuan sebagai komunitas kelompok kelas dua (the second rate communities) secara sosial, lebih rendah dari laki-laki dan harus tunduk kepada kekuasaan laki-laki dan hegemoni mereka demi kelancaran dan kelestarian kehidupan keluarga.
Harus diingat bahwa kitab-kitab suci agama pun tidak dapat menghindarkan diri dari menganut sikap serupa, walaupun sebagian di antaranya memberikan beberapa norma untuk mengatasinya. Konstruksi dan rekayasa sosial terebut sangat meluas sehingga norma-norma kitab suci yang progresif pun menjadi terpengaruh dan, sebagai akibatnya, diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga merefleksikan sikap mental yang berlaku. Demikianlaj, mayarakat yang didominasi laki-laki serigkali bahkan mngekang norma-norma yang adil dan egaliter yang dipersembahkan untuk kaum perempuan dalam al-Qur’an demi mengekalkan kekuasaan mereka, yang secara komparatif bersikap liberal dalam perlakuannya terhadap perempuan, juga mngelami nasib yang sama.[2]
Namun cerita sejarah tak berakhir di sini, awal abad XX M merupakan babakan baru bagi dunia Islam. Fase ini ditandai dengan lepasnya satu persatu negara Islam dari hegemoni dan imperialisme Barat. Sambil mnghirup udara segar (setelah lama beradadalam simponi penjajahan).[3] Negara-negara Islam yang baru ini membenahi diri dan mencoba memproduksi dan mereformasi berbagai konstitusi dan Undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara, termauk pada hukum keluarga.
Dalam reformasi ini, upaya terfokus pada masalah status personal, yang masih diatur oleh hukum Islam. Mayoritas pemerintah negara muslim menjalankan versi hukum keluarga yang sudah dikodifikasi. Sebagian versi itu menyimpang secara dramatis dan doktrin mazhab hukum yang telah mapan. Untuk mengurangi keberatan kaum konservatif, reformasi sering dilakukan secara tak langsung melalui jalur prosedural. Sebagai contoh, hukum baru yang menuntut persyaratan bahwa pernikahan harus dicatat agar sah secara hukum, dan bahwa pasangan harus sudah mencapai usia minimum tertentu, adalah untuk menghalangi pernikahan dini dan perkawinan paksa. Untuk mencegah poligami dan perceraian oleh suami, pemerintah negara muslim mensyaratkan agar perkawinan dan perceraian tunduk pada formalitas birokratis dan kondisi tertentu. Motor pengerak reformasi hukum keluarga adalah Turki, ketika Negara itu menerbitkan ‘Ottoman Law of Family Rights (Qanun Qarar al-Huquq al-‘Uthmaniah)” kemudian diikuti negara lain seperti Tunisia, Mesir, yiria, Sudan dan sebagainya. Dan dalam sejarah  reformasi ini, Tunisia tercatat sebagai negara yang paling radikal di dalam bangunan hukumnya. Undang-undang hukum keluarga negara ini menghapuskan poligami dan memberikan hak yang sama bagi istri dan suami dalam hal perceraian. Hukum ini, yang dalam teori didasarkan atas prinsip Islam, dapat diberlakukan pada warga Negara Tunisia. [4]
Secara keseluruhan, substansi Undang-undang keluarga di dunia modern ini telah beranjak dan konstruksi wacana fiqih klasik[5] dan telah mencoba memecahkan persoalan ketimpangan hak antara laki-laki dalam hukum keluarga Islam sehingga hak-hak perempuan dalam perkawinan (martial right) diakui.[6] Pada masa ini negara telah memperluas basis dukungannya dengan memberikan hak suara kepada kaum perempuan dalam proses pemisahan mereka dari anggota keluarganya, yang secara tradisional mengontrol mereka dan megalihkan loyalitas pokok mereka kepada negara itu sendiri.
Makalah ini hendak mendeskripsikan kebijakan negara Syiria dan Tunisia pasca reformasi merupakan salah satu indikator penting bagi status perempuan dalam masyarakat. Namun terhadap hak-hak perempuan dalam perkawinan (martial right) karena hak ini mer pembahasan di dalam makalah ini tidak meliputi seluruh aspek ha-hak perempuan tetapi terbatas pada masalah nafkah, poligami, dan perceraian. Pembahasan akan diawali dengan melihat sepintas negara, reformasi substansial hukum keluarga, dimensi hak-hak perkawinan perempuan dalam tiga masalah di atas serta keberanjakannya dari banguanan fiqih klasik.
B.     Potret Negara Syiria dan Tunisia
1. Letak Geografis Syiria
Syiria dan Suriah merupakan negara Republik yang termasuk wilayah Asia Barat, dengan luas wilayah 185. 180 KM2, dengan populasi penduduk kurang lebih 12 Juta Jiwa (Tahun 1989) dengan kepadatan penduduk 66 jiwa per-KM2.[7] Mayoritas penduduknya adalah kelompok etnis Arab, selebihnya adalah minoritas etnis Kurdi, Armenia, Turki, Yahudi, Badui dan lain-lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa yang mereka pergunakan adalah bahasa Arab, dan telah menjadi bahasa resmi negara ini. Sekitar 90 % penduduknya menganut agama Islam dan mayoritas menganut aliran Sunni, sedangkan selebihnya terbagi menjadi sekte ‘Alawite, Druse, Ismailis, dan Twelcer Shi’ia. Umat Kristen sendiri berjumlah sekitar 8,9 % dari populasi.[8]
Sejarah Syiria adalah sejarah kelam, karena telah menjadi saran invasi negara tetangganya. Invasi pertama dilakukan oleh bangsa Amuri, Kanaan, Aram, Yahudi, Hittit, Mesir, Asyiria, Persia, Iskandar Agung, Roma dan Arab sampai PD I.[9] Selama awal PD I Syiria telah menjadi bagian dari imperium Turki Usmani. Setelah PD I berlangsung Syiria menjadi bagian dari Koloni Prancis dan Inggris, Syiria mencapai kemerdekaannya pada tahun 1947.[10]
Pasca kemerdekaan perpolitikan Syiria diwarnai dengan praktek kudeta. Pada tahun 1948 kudeta militer di bawah pimpinan Hulni al-Zaim berhasil menggulingkan pemerintahan dan menggantikan konstitusi lama dengan konstitusi yang baru. Namun konstitusi baru produk Zaim tidak dapat diundangkan, karena dia sendiri digulingkan oleh militer pada bulan Agustus 1949. Setelah penggulingan itu diadakan peralihan dewan konstiuante. Dewan mengeluarkan naskah konstituante yang baru yang telah dipersiapkan oleh 33 anggota yang  dipimpin oleh Nazim al-Kudsi pada tangal 5 September 1950 dan diundangkan pada hari yang sama oleh Presiden.[11]
Serangkaian kudeta militer terus terjadi di Tunisia sampai pada tahun 1963. Tanggal 8 Maret 1963 sebuah kudeta militer meresmikan era pemerintahan Ba’ts. Namun karena komposisinya sangat didominasi oleh minoritas, karena sekularisme dank arena agemda sosialisnya, reaksi politik terhadap rezim inipun mengambil warna sektarian. Implikasinya tantangan paling keras terhadap rezim Ba’ts datang dari Ikhwan al-Muslimun. Pemberontakan Islam pertama terjadi di Hama pada tahun 1964 dan menyusul pergolakan yang dilakukan kelompok sektarian lainnya pada tahun 1967. Demonstrasi berikutnya meledak pada tahun 1973 ktika sebuah  konstitusi baru Negara itu mencoba menghilangkan Islam sebagai agama negara. Pemerintah mencoba berkompromi dengan menambahkan pasal-pasal bahwa kepala negara adalah orang Islam dan Hukum Islam menjadi sumber utama perundang-undangan, tetapi langkah ini tak mampu memadamkan kritik dari kelompok Islam. Puncaknya pada tahun 1970-an rezim Ba’ts menindas dan  mengkooptasi rival-rival politiknya yang diangap membahayakan. Segala bentuk tindakan subversif ditumpas oleh rezim militer secara represif. Rezim tetap pada ide sekulernya yaitu memisahkan dengan tegas antara agama dn politik. Tetapi sayang, di lain pihak posisi agama dalam budaya dan masyarakat syiria terlalu kuat untuk dihegemoni[12]
2.  Letak geografis Tunisia
Tunisia[13], yang nama resminya Republik Tunisia, beribu kota Tunis, terletak di Afrika Utara. Negara ini berbatasan dengan Al-geria (Aljazair) di sebelah barat, dengan mediteranian sebelah utara dan timur, dengan Libya disebelah tenggara. Penduduk negara ini berjumlah 8,4 juta jiwa yang terkonsentrasi di daerah utara. Daerah Sahe dan pusat urban seperti Qairawan dan Gafsa dan hampir 97% beragama Islam. Kurang lebih 98% dari populasi muslim adalah muslim sunni. Kepulauan  Djerba Harbors banyak dihuni muslim Khawarij. Etnik Tunisia terbesar adalah Arab Barbar. Minoritas Yahudi masih ada yang tinggal sejak tahun 1957. Beberapa penduduk Kristen tinggal di bagian timur, khususnya di daerah kota. Bahasa nasional adalah bahasa Arab, sedangkan Perancis merupakan bahasa kedua yang dominan dipakai dalam bidang pendidikan dan bisnis.[14]
Warna keberagmaan yang dominan dipraktekkan masyarakat Tunisia adalah Madzhab Maliki. Madzhab ini ternyata tiodak hanya memberikan kontribusi pada pembentukan hukum keluarga Tunisia, lebih jauh lagi memberikan warna pada substansi perundang-undangan positif negara itu. Namun banyak diantara berbagai dinasti yang memerintah Tunisia, baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda–beda. Sebuah dinasti Syiah, Dinasti Fathimiyyah, menumbangkan pemerintahan Aghlabiah antara 905 dan 909 serta memerintah Tunisia pada sebagian besar abad ke-10 hingga dinasti tersebut berpindah ke Kairo pada tahun 1073. Akan tetapi setelah itu, kaum Syiah bahkan menjadi minoritas kecil, tetapi istimewa, termasuk dinasti Bey terakhir. Mereka hampir semuanya (atau mengaku keturunan) bangsa Turki yang membawa madzab Hanafi ke Tunisia dan yang pertama-tama melalui pemerintahan langsung dan kemudian melalui sebuah sistem kedaerahan– memberi pengaruh penting di daerah ini sejak awal abad ke-16 sampai protektorat Perancis datang.[15] Kolonialisasi Perancis bermula ketika Perancis mengalami kesulitan ekonomi dan mereka menyadari bahwa denxgan menaklukkan Tunisia akan dapat memecahkan persoalan itu. Pada tahun 1881 M melakukan perjanjian Bardo (the Bardo Treaty ) yang menyatakan Tunisia adalah daerah perlindungan Perancis. Akhir tahun 1980-an mulai melakukan kolonialisasinya di Tunisia.
Dalam perjalanan sejarah, kemerdekaan bagi negara bekas wilayah otonom dari imperium Turki Usmani yang memperoleh status protektorasi Perancis ini relatif diperoleh dengan sangat mudah. Negara ini tidak pernah menderita akibat kolonialisasi Perancis. Negara ini memperoleh kemerdekaannya pada tahun1957 dengan presiden pertama Habib Bourguiba yang disebut-sebut sebagai “The father of his country.[16]
Untuk membangun negerinya, Bourguiba melakukan upaya-upaya konsolidasi  kekuasaan dengan dan mengambil langkah-langkah ke depan serta menerapkan policy  yang tegas. Kebijakan-kebijakannya sangatlah radikal, gamblang mengambil sikap pro barat dan sekuler. Di antara kebijakannya yang berhubungan dengan dimensi keagamaan adalah menghapus pengadilan agama, menghapus kewajiban memakai jilbab bagi wanita, upaya meninggalkan puasa ramadhan untuk meningkatkan produktifitas dan mengganti hukum syari’ah dengan hukum sipil yang diadopsi dari Perancis. Bahkan pada tahun 1956 rezim ini mengundangkan  hukum status perorangan yang bukan hanya berbeda secara prinsipil dengan hukum tradisional, tetapi juga dengan hukum Perancis. Jadilah, melalui hukum personal tersebut, Tunisia menjadi negara yang pertama kali melarang poligami.
Sementara kebijakan yang berhubungan dengan ekonomi politik antara lain: sejak tahun 1956-1961, rezim Tunisia secara umum memberlakukan kebijakan ekonomi liberal. Namun beberapa kebijakan yang diambil seperti mengambil pertanahan warga Perancis dan menempatkan kekayaan wakaf di bawah penganwasan pemerintah ternyata tidak membuahkan hasil. Maka di bawah tekanan para mahasiswa dan tokoh-tokoh sosialis Aljazair dan Mesir pada tahun 1962 Tunisia mengambil orientasi sosialis. Tanah milik warga Eropa dinasionalisasikan pada tahun 1964, kerjasama pada sektor pertanian dan manajemen pertanian digalakkan, investasi publik dan pinjaman luar negeri menjadi basis bagi pembangunan ekonomi. Tetapi sekali kebijakan ini mengalami kegagalan pada tahun 1969 yang memaksanya kembalinya pada perampuran antara sektor swasta, koperasi dan sektor publik dengan menggalakkan investasi swasta asing. Kegagalan pemerintah yang paling mendasar adalah berkurangnya kepercayaan masyarakat akibat ketidakjelasan ideologi di jajaran elit pemerintah. Pemerintah terkesan sangat arogan dalam melakukan kebijakan sekularisasai yang mang-adopt gaya Mustafa al-Taturk di Turki Perguruan Masjid Zaituna diambil alih, sekolah-sekolah agama dinegerikan, Peradilan sekuler digiatkan, pelarangan poligami, perkawinan dan perceraian dimasukkan dalam perkara sipil, sampai-sampai pada tahun 1960 puasa ramadhan dikecam sebagai penghambat produktivitas. Semua kebijakan ini berada di bawah rezim Partai Neo-Destour yang berkuasa sejak tahun1934 setelah kelompok radikal mengambil alih Partai Neo-Destour.[17] 
C.    Perkembangan Hukum Keluarga di Syiria dan Tunisia
1. Reformasi Hukum Keluarga Syiria
Sejarah hukum keluarga tidak terlepas dari aturan yang ditetapkan oleh negara yang menguasainya yaitu Ottoman Turki sejak tahun 1917, dengan berlandaskan pada mazhab hukum Hanafi. Selama berada di bawah Turki Usmani, sistem hukum dan perundang-undangan yang mengalami reformasi dari waktu ke waktu yang berlaku juga di wilayah territorial Syiria. Di antara hukum-hukum imperial yang pernah berlaku di Syiria adalah Code Civil tahun 1876 dan Hukum dan Hak-Hak keluarga tahun 1917. Kedatangan koloni Perancis dan Inggris setelah PD I sangat memberi nuansa yang sangat besar terhadap perkembnagan negara itu khususnya di bidang politk, sipil dan pidana. Meskipun demikian, nasib personal law masih tetap dipertahankan.[18]
Setelah merdeka pada tahun 1947, nasionalisasi dan reformasi terhadap berbagai aturan dan sistem hukum dilakukan dari waktu ke waktu.  Selama berlangsungnya program nasionalisasi, sistem hukum telah dicabut dan diganti dengan hukum baru. Beberapa peraturan baru telah ditetapkan sebagai peraturan yang bebas dari pengaruh kolonial dan ditetapkan sebagai konstitusi nasional, antara lain Hukum Civil, Hukum Pidana dan Hukum Dagang pada tahun 1949, dan Hukum Pidana baru pada tahun 1950 dan Hukum Perdata baru pada tahun 1953. Sementara sebagai personal law tetp diberlakukan Hukum Famili Turki dari tahun 1917 sampai 1953 dengan nama Qanun al-Ahwal al-Syakhshiyah atau lebih dikenal dengan  The Syirian Law of Personal Status. Undang-undang ini dianggap berlaku sejak tanggal 17 September 1953. Undang-undang ini merupakan risalah dari hasil kerja Syeikh Ali al-Tahanawi (Qadi di Damaskus) diambil dari berbagai macam mazhab hukum yang disesuaikan dengan situasi kondisi masyarakat Syiria. Bisa dikatakan bahwa hokum ini mengandung eklektisisme inovatif, yangmenyeleksi aturan-aturan bukan hanya dari mazhab Hanafi, melainkan juga dari opini-opini para faqih mazhab-mazhab kuno dan minoritas yang terisolasi, dengan tujuan membuat hukum yang diajarkan Islam sekaligus selaras dengan kebutuhan masyarakat kontemporer.
Usaha kodifikasi hukum keluarga Islam di Syiria dianggap paling komprehensif, karena tidak hanya meliputi aturan-aturan tentang kecakapan hukum, perwalian dan perwakilan tetapi juga mencakup problematika wasiat dan hibah. Penyusunan Code ini didasarkan pada Hukum Turki Usmani Tentang Hak-hak keluarga, Hukum Mesir tentang hukum keluarga dan waris 1920-1946 dan juga diambil dari hasil kerja Qadi Pasha (Meir) dan Ali al-Tantawi (Damaskus). Code of Personal Status 1953 Syiria ini memuat 308 pasal dan terdiri atas 6 buku yang muatan isinya didomonasi oleh mazhab Hanafi. Ada bagian-bagian tertentu yang diadopsi dari Sekte Duruz dan Kristen Syiria.[19]
Selama 22 tahun setelah pemberlakuannya, diadakan amandemen terhadap pasal-pasal dalam 4 bab pertama Undang-undang 1953 itu, dengan UU Syiria No. 34/1975. Perubahan UU yang memodifikasi dan menambah beberapa ketentuannya sebanyak 22 pasal ini didasarkan pada rekomendasi panitia parlemen yang dibentuk untuk mengkaji  dan merevisi UU 1953. Perubahan utama berkaitan dengan masalah poligami, mahar, nafkah, konpensasi cerai, biaya hadhanah, dan masalah perwalian anak. Penetapan Undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak perempuan.[20]
2.       Reformasi Hukum Keluarga Tunisia
Tunisia melakukan reformasi dan kodifikasi hukum keluarga pada saat setelah negara itu memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan, beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia berpikir bahwa dengan melakukan fusi terhadap mazhab Maliki dan mazhab Hanafi, maka sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial di Tunisia. Sekelompok ahli hukum mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi dan Maliki, dan dipublikasikan di bawah judul Laihat Majallat al-Ahkam al-Syar’iyyah (Draf Undang-undang Hukum Islam). Akhirnya, pemerintah membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh Islam, Muhammad al-Jait, guna merancang Undang-undang resmi.
Berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari Laihat dan Undang-undang Hukum Keluarga Mesir, Jordan, Syiria dan Turki, panitia tersebut mengajukan Rancangan Undang-undang Hukum Keluarga kepada pemerintah. Rancangan tersebut akhirnya diundangkan di bawah judul Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyah (Code of Personal Status) 1956, berisi 170 pasal 10 buku dan diundangkan ke seluruh Tuisia pada tanggal 1 Januari 1957. Namun da;lam perjalanannya, Undang-undang ini mengalami kodfikasi dan perubahan (amandemen) beberapa kali, yaitu melalui Undang-undang No. 70/1958, Undang-undang No. 41/1962, Undang-undang No. 1964, Undng-undang No. 77/1969, dan terakhir menurut catatan Tahir Mahmud, mengalami amandemen pada yahun 1981 melalui Undang-undang No. 1/ 1981.[21]
Perlu dicatat, bahwa walaupun secara umum berlandaskan mazhab Maliki, akan tetapi Undang-undang ini memasukkan pula beberapa prinsip yang berasal dari mazhab-mazhab yang lain. Lagipula, jika dibanding dengan negara-negara Arab lain, reformasi di bidang hukum di Tunisia lebih revolusioner.

D.    Substansi-substansi Aturan Nafkah, Poligami dan Perceraian pada Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia.
1. Nafkah
Al-Qur’an meletakkan tanggung jawab kepada suami untuk memberi nafkah kepada istrinya, meskipun istri mempunyai kekayaan dan pendapatan. Istri tidak diwajibkan memberi suaminya apa yang didapatkan atas jerihnya sendiri.
Adapun sebab wajib nafkah atas suami kepada isteri adalah, karena dengan selesainya akad yang sah, wanita menjadi terikat dengan hak suaminya, yaitu untuk menyenangkannya, wajib taat kepadanya, harus tetap tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangganya, mengasuh anak-anaknya dan mendidiknya, maka sebagai imbalan yang demikian Islam mewajibkan kepada suami untuk memberi nafkah kepada isterinya.[22]
Nafkah suami terhadap istri selama perkawinannya itu dibangun atas akad yang sah, terlepas istrinya muslim atau tidak, kaya atau miskin. Kewajiban ini sudah menjadi kesepakatan para ulama.[23] Perintah pemberian nafkah ini berdasarkan al-Qu’an, al-Sunnah, al-Qiyas, al-Ijma’.[24]
Harus dicatat bahwa memberi nafkah meliputi sandang, papan dan pangan. Tentang tempat tinggal, al-Qur’an mengatakan:
`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷Ž| $yès? ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.[25]

Untuk makanan dan pakaian, al-Qur’an meminta suami menyediakannya bagi ibu dan anak-anaknya sebagaimana dijelaskan:
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 yŠ#ur& br& ¨LÉêムsptã$|ʧ9$# 4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 Ÿw §!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÷bÎ*sù #yŠ#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã 3 ÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
 Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. [26]

Mengenai nafkah bagi istri dalam Undang-undang Syiria dijelaskan bahwa nafkah diberikan kepada istri sejak akad terlaksana. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam bangunan fiqih klasik. Adapun ketentuan nafkah Syiria adalah:
Pasal 65: “ Suami wajib memberikan rumah yang sama dengannya”.
Pasal 66:“Suami setelah istrinya sembuh dari penyakitnya hendaknya, dia tinggal bersamanya”.
Pasal 67: “Suami jika ber[oligami wajib memberikan tempat tinggal yang sama terhadap istri-istrinya”.
Pasal 71; “Nafkah meliputi sandang, pangan dan papan dan sejenisnya yang baik yang sesuai dengan ketentuan yang ada dalam masyarakat”.[27]
Pasal 72 ayat (1): “Suami tetap terikat dengan hal pemberian biaya hidup kepada istri selama masih berlangsungnya perkawinan, bahkan bila si istri merupakan pengikut agama lain atau menetap di rumah keluarganya, kecuali bila suami memintanya untuk tinggal bersama di kediamannya sementara sang istri menolak tanpa ada haknya.”
Pasal 72 ayat (2) Bahkan si istri mempunyai hak untuk menolak untuk hidup bersama suaminya jika suaminya tidak mematuhi untuk membayar mahar secara seketika atau menyediakan tempat tinggal berdasarkan aturan hukum.”[28]
Sedangkan nafkah menurut Hukum Keluarga Tunisia menerapkan prinsip-prinsip mazhab Maliki dalam hak-hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini secara rinci dalam pasal-pasal 32-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa istri diizinkan untuk membelanjakan harta pribadinya guna biaya hidup dengan maksud untuk meminta ganti biaya suaminya. Adapun mengenai besarnya jumlah nafkah disesuaikan dengan kemampuan suaminya (pembayar) dan diperhatikan pula status istriserta biaya hidup yang wajar pada saat itu, sebagaimana yang tertera pada pasal 52.

2.       Poligami.
Salah satu persoalan fiqh munakahah yang hingga kini masih menjadi bahan diskusi ramai dan pelik adalah masalah poligami. Pelik terutama bagi perempuan. Islam sendiri “gara-gara” pesan tekstual tentang pembolehan poligami dalam al-Qur'an, kerap dikecam sebagai anti demokrasi dan HAM dalam kehidupan suami-istri karena poligami dilihat sebagai salah satu bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan.[29])
Tuduhan klasik bahwa al-Qur'an memperlakukan perempuan secara tidak adil karena memperbolehkan poligami masih saja diajukan orang. Tuduhan ini juga sering dikaitkan kepada Nabi Muhammad SAW yang juga melakukan poligami bahkan istrinya konon sampai sembilan. Menurut Riffat Hassan masalah tersebut merupakan problem yang tak kunjung selesai. Namun perlu dicatat, dalam al-Qur'an hanya ada satu ayat yaitu an-Nisa:3 yang berbicara poligami.[30] Akan tetapi ayat tersebut sering diartikan secara “keliru” oleh kebanyakan mufasir, untuk tidak mengatakan semuanya. Dalam al-Qur'an maupun dalam keseharian nabi Muhammad SAW, memelihara anak yatim dan anak yang terlantar selalu mendapat perhatian besar dan dianggap sangat penting. Izin poligami dalam al-Qur'an sesungguhnya berkaitan erat dengan maslah tersebut. Jika kita mau membaca tentang ayat poligami tersebut, sebetulnya focus utamanya adalah masalah penyantunan anak yatim. Jadi yang dimaksud “pernikahan” dalam ayat tersebut adalah menikahi ibu anak yatim. Penafsiran ini tidak diragukan lagi, karena ayat ini turun ketika banyak terjadi perang dan banyak laki-laki meninggal sehingga banyak janda dan anak-anak yatim. Oleh sebab itu, sebenarnya pesan moral al-Qur'an tntang masalah ini: 1) agar anak yatim dipelihara dan disantuni; 2) ayat ini berbicara tentang keadilan, sehingga dapat disimpulkan bahwa poligami sebenarnya hanya dibolehkan dalam kondisi sulit seperti itu.[31]
            Ajaran Islam memang membolehkan laki-laki mengawini empat perempuan  sekaligus, tetapi hanya jika ia mampu berlaku adil, kalau tidak maka Islam melarang. Fain khiftum ala alla ta’dilu fawahidatan, dcmikian Allah mewanti-wanti di ujung ayat “kesukaan" kaum lelaki itu. Menariknya, di situ Allah menggunakan kalimat 'adalah, bukan qistum. Tekanannya tentu adalah keadilan kualitatif yang hakiki, semisal perasaan cinta, kasih, dan rasa sayang yang tak bisa diukur secara matematis. Sementara konseptualisasi  'keadilan' dalam wacana poligami oleh para fuqaha umumnya cenderung dimaknai kuantitatif. Terukur, misalnya keadilan dalam menjatah giliran hari dan pemerataan nafkah. Mereka rata-rata mengabaikan aspek-aspek keadilan kualitatif itu.
            Ada yang terasa hilang memang dalam wacana fiqh tentang poligami, terutama ketika perbincangan hanya memfokus pada kebolehannya beserta segala rasionalisasi di baliknya. Model  penafsiran monolitik memang sangat sering ditunjukkan para ulama klasik dalam wacana fiqh. Hingga tingkat tertentu gaya itu pula yang diikuti para ulama belakangan.
Berkaitan dengan poligami Nabi, menurut Riffat sebenarnya juga demikian kondisinya. Beliau pertama menikah dengan Khadijah ketika berusia 25 tahun dan itulah perkawinan terpenting. Nabi Muhammad SAW tidak menikah lagi sampai umur 50 tahun. Jadi selama masa suburnya beliau monogami dan menikah hanya sekali. Kalau demikian, menurut hemat penulis, secara tegas dapat dikatakan bahwa pernikan Nabi SAW yang poligami tersebut bukan hanya memperturutkan nafsu seksnya, akan tetapi lebih pada penyantunan janda-janda dan anak yatim. Di samping itu, dalam poligami Nabi ada hikmah yang bersifat edukatif, psikologis, ekonomis dan bahkan politis. Sebab secara logika, jika Nabi SAW menginginkan tuntutan seksnya, mestinya beliau menikahi gadis-gadis yang masih muda dan perawan. Tetapi mengapa hal itu tidak dilakukan oleh beliau?
Poligami senantiasa menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan. Ia tidak hanya menjadi obyek perbincangan dunia Islam, tetapi juga barat. Barat sering mengangkat isu poligami sebagai alat untuk mendeskreditkan Islam.[32] Mereka menganggap poligamilah menjadi salah satu sebab kemunduran dan keterbelakangan dunia Islam. Sementara di dunia Islam, akibat pengaruh barat pasca kolonal, muncul diskursus apakah konsep poligami dalam al-Qur’an (QS: 4: 3) berlaku secara normatif atau kontekstual. Implikasinya, di dunia Islam terjadi polarisasi di dalam menentukan kebijakan tentang poligami.
Menurut Tahir Mahmood setidaknya ada enam bentuk kontrol terhadap poligami, pertama; menekankan ketentuan berlaku adil sebagaimana ditetapkan di dalam al-Qur’an, kedua; memberi hak kepada istri untuk menyertakan pernyataan anti poligami dalam surat perjanjian perkawinan, ketiga; harus memperoleh izin lembaga peradilan, keempat; hak menjelaskan dan mengontrol dari lembaga perkawinan kepada pihak yang akan berpoligami, kelima; benar-benar melarang poligami, dan keenam; memberikan sanksi pidana bagi pelanggar aturan poligami.[33]
Untuk negara Syiria ketentuan tentang poligami tdak jauh berbeda dengan pandangan para imam mazhab yang membolehkan poligami. Hanya saja Syiria yang dominan menganut mazhab Hanafi ini mengatur masalah poligami ini dalam Undang-undang tahun 1975 pasal 17 yang menyatakan bahwa “hakim mempunyai wewenang penuh untuk tidak mengizinkan seorang suami beristri lebih dari seorang istri jika terbukti tiak mampu berbuat adil dan tidak mampu menafkahinya”. Jadi walaupun diizinkan tetapi tidak segampang yang dibayangkan, harus melalui persyaratan-persyaratan yang ketat dan harus ada izin dari pengadilan.
Sementara dalam poligami sebagaimana telah disebutkan pada pendahuluan, Tunisia merupakan negara Islam satu-satunya yang melarang poligami. Mewarik untuk dieksplorasi dan dicermati lebih dalam tentang fenomena ini. Bagaimana Undang-undang mengatur masalah poligami ini. Masalah poligami ini diatur pada pasal 18 Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia pada ayat (1) yang berbunyi: “Bahwa beristri lebih dari seorang adalah dilarang dan apabila seorang pria yang telah menikah dan pernikahannya belum putus secara hukum lantas menikah lagi, maka pria tersebut diancam dengan hukuman penjara selama satu tahun atau denda setinggi-tingginya 240.000 Malim atau dengan kedua-duanya.”[34]
Kalau demikian kenyataannya lantas apa yang menjadi alasan pemerintah Tunisia memberlakukan larangan poligami? Untuk menjawab pertanyaan mendasar tersebut, menarik untuk dikemukakan di sini apa yang pernah dilontarkan oleh John L. Esposito. Menurutnya ada dua alasan pemerintah Tunisia melarang poligami, yaitu:
A.                Poligami, sebagaimana halnya perbudakan merupakan institusi yang selamanya tidak bisa diterima oleh mayoritas umat manusia, dan
B.                  Ideal al-Qur’an tentang perkawinan adalah monogami.[35]
Dalam analisanya lebih lanjut ia mengatakan bahwa pandangan Muhammad Abduh tentang tafsir ayat poligami nampaknya telah dijadikan rujukan oleh pemerintah Tunisia. Ayat yang dijadikan dasar bagi pelarangan ini adalah Surat al-Nisa’ ayat 3. Di mana ayat ini memberi gambaran bahwa yang menjadi idela Islam adalah monogamy, karena adil yang menjadi syarat utama bagi poligami adalah sesuatu yang tidak mungkin dapat direalisasikan oleh manusia.
Menurut Abduh poligami adalah tindakan yang haram, yang ahanya mungkin dilakukan oleh seorang suami dalam hal-hal tertentu. Misalnya istri tidak bisa melahirkan. Syarat adil dalam pandangan Abduh terbagi menjadi tiga kondisi, yaitu pertama, kebolehan poligami sesuai dengan tuntutan zaman waktu itu. Kedua, syarat adil merupakan syarat yang sangat berat, khususnya dalam pembagian cinta dan hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan batin. Hal ini ditegaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Lebih lanjut Abduh mengatakan bahwa, poligami merupakan sesuatu perbuatan yang haram jika tujuannya hanya untuk kesenangan (sex) semata. Karena untuk kepuasan sex inilah manusia tidak pernah merasa puas, dan kalau dituruti secara terus menerus manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Perilaku orang Arab proto Islam dalam poligami sering dilakukan sebagai simbol kekuatan dan kejantanan.[36]

3. Perceraian
Percerian diperbolehkan dalam Islam karena pernikahan dianggap sebagai sebuah kontrak, yang dapat diputuskan bak karena kehendak keduanya atau karena kehendak salah satu pihaknya. Bertentangan dengan kepercayaan umum, Islam juga memperblehkan perempuan mempunyai hak cerai. Seorang perempuan dapat membatalkan pernikahannya dalam bentuk perceraian yang dikenal dengan khulu’.[37]
Walaupun Islam membolehkan, tetapi ketentuan ini nampaknya ambigu. Talak dan umumnya putusan perkawinan walaupun dihalalkan, tetapi merupakan hal yang tidak disukai oleh Allah. Sebagai ajaran moral ilahiyyah, Islam sangat tidak menyukai perceraian. Secara moral, perceraian adalah sebuah pengingkaran. Akan tetapi, sadar bahwa tidak mungkin perceraian sama sekali dihindari dalam kehidupan yang nisbi ini, maka dengan penuh penyesalan, demi alasan yang sangat khusus, Islam pun terpaksa menerima kemungkinan terjadinya.[38]  Ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW. yang penuh ambiguitas:
 أبغض الحلال عند الله الطلاق[39]
Ambiguitas ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mempersulit peluang terjadinya perceraian, kecuali dalam keadaan terpaksa atau ada qarinah yang dijustifikasi oleh syara’. Masih dalam konteks pemeliharaan harmonisasi ikatan perkawinan, Islam kemudian memberikan peluang restrukturisasi ikatan yang telah terkoyak oleh talak melalui prosedur rujuk. Rujuk adalah pemulihan perkawinan dengan cara suami mengambil kembali bekas istri kepada ikatan perkawinan semasa iddah berlangsung.
Dalam masalah talaq ini  hukum Islam memperlakukan perempuan jauh lebih baik, lebih manusiawi dan lebih berprikeadilan etimbang doktrin agama dan kebudayaan lain. Dengan ungkapan lain, Anderson mencatat, sebelum kedatangan Islam, wanita tidak mempunyai wewenang untuk mentalaq dan juga tidak mempunyai hak untuk menceraikan dirinya dari suaminya, kecuali suami memberikan hak talaq itu (talaq tafwid). Dengan kedatangan Islam, terjadilah perubahan dalam konsep talaq. Perubahan tersebut bertujuan untuk membatasi hak talaq suami, dan selanjutnya memberikan hak kepada istri untuk mendapatkan hak talaq berdasarkan pada pertimbangan yang logis dan bukan bersifat sepihak.[40]
Dalam upaya mereformasi bidang hukum keluarga, banyak negara Islam yang tetap mempertahankan hak suami untuk menceraikan istrinya sembari memberi kebebasan yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk meminta cerai dalam kasus kekerasan, tidak diberi nafkah dan ditinggal pergi.
Dalam kasus talaq ini, Undang-undang Hukum Keluarga Syiria melakukan perubahan yang berhubungan dengan pemberian hak kepda istri untuk mengajukan perceraian, konpensasi atas talaq yang sepihak dan mengenai talaq tiga. Di dalam Undang-Undang ini dijelaskan:
Pasal 30 perceraian hanya jatuh jika diucapkan di depan pengadilan
Pasal 90: Talaq tidak akan jatuh jika tanpa niat
Pasal 92: Jika talaq itu diucapkan dengan berbilang baik secara eksplisit maupun implisit, maka yang jatuh adalah satu
Pasal 117: Kalau pengadilan menimbang bahwa suami menceraikan istrinya karena alas an ang tidak logis, maka si istri mempunyai hak untuk menolak, ang dengan itu dia bisa jadi si suami harus membayar yang konpensasi bagi si istri tidak melebihi tiga tahun nafkah, ditambah nafkah yang dibayar selama iddah.
Pasal 129: Jika suami menghilang tanpa alasan yang jelas atau dipenjara lebih dari tiga tahun, istrinya dapat -setelah habis masa setahun dari hari hilangnya atau dipenjara- untuk meminta perceraian sekalipun ada milik suami yang tersedia untuk nafkah.[41]
Adapun menurut Undang-Undang Keluarga Tunisia, maka ketentuan mengenai talaq adalah sebagai berikut:
a.  Perceraian
Di Tunisia perceraian yang disampaikan secara sepihak tidak dapat berakibat jatuhnya talaq.  Sekarang perceraian dapat berlaku secara pasti dan efektif hanya diputuskan oleh pengadilan.[42]
Demikian pula pengadilan dapat memutuskan perkawinan yang diajukan oleh istri dengan alas an suami gagal dalam memberi nafkah, atau karena kedua belah pihak telah sepakat untuk mengakhiri perkawinan mereka. Pengadilan juga bisa memutuskan terjadinya perceraian apabila salah satu pihak secara sepihak bermaksud untuk bercerai, dengan konsekwensi bahwa pihak yang mengajukan gugatan cerai diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lain. Keputusan terjadinya perceraian hanya bisa diberikan dalam kondisi apabila upaya perdamaian pasangan suami istri tersebut gagal dicapai.
b. Talak Tiga
Pasal 19 Undang-undang 1956 menyatakan bahwa seorang pria dilarang untuk merujuk istrinya yang telah ditalak tiga (talaq ba’in kubra). Sebelumnya, pasal 14 menyebutkan bahwa talak tiga sebagai halangan yang bersifat permanen untuk pernikahan.[43]

E.     Analisis atas Kebijakan Negara terhadap Hak-hak Perempuan dan Keberanjakannya dari Fiqih Klasik
Reformasi yang mempengaruhi hukum Islam pada abad XIX dan XX lebih berwawasan jauh ke depan dibandingkan dengan yang dilakukan sebelumnya. Dorongan reformasi datang dari internal tradisi Islam itu sendiri, seperti para spesialis hukum Islam yang mencoba memperbaharui hukum-hukum  dalam hubungannya dengan kebutuhan sosial dn prilaku yang berubah, maupun dari eksternal seperti pemimpin politik yang mencoba memaksakan perubahahan yang dirancang untuk menghapus gambaran kuno yang menghalangi program modernisasi pemerintah.
Dalam usaha reformasi hukum Islam (termasuk hukum keluarga) telah mengakomodasi isu-isu modernisme seperti kesetaraan gender. Kaitannya dengan kajian makalah ini, telah terjadi pembaharuan yang bermaksud menaikkan kedudukan kaum perempuan.
Secara umum dalam rangka melakukan pembaharuan, dunia Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam mulai dari yang paling “ekstrim kanan” sampai yang ekstrim kiri”. Abdullahi Ahmed An-Naim[44] secara lebih rinci menjelaskan teknik-teknik pembaruan, terutama dalam bidang hukum keluarga antara lain: melalui takhsis al-Qadha’ (hak penguasa untuk memutuskan dan menguatkan keputusan pengadilan), takhayyur (menyeleksi berbagai pendapat mazhab secara eklektik seperti Sudan), re-interpretasi atas kebebasan pria dalam melakukan perceraian dan poligami seperti di Tunisia) dan siyasah syar’iyyah (kebijakan penguasa untuk menetapkan aturan-aturan administratif yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syari’ah).[45] Berikut analisis hasil dari reformasi yang dilakukan oleh Tunisia dan Syiria dalam rangka mengangkat harkat dan martabat perempuan.

1. Nafkah
Di dalam perkawinan, wanita ditempatkan pada kedudukan yang terhormat, dia diperlukan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak kemanusiaan yang sempurna. Selain mempunyai hak mahar, dia juga mempunyai hak nafkah yang pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab suami. Namun ketentuan ini tidaklah kaku karena di dalam kasus-kasus tertentu Hukum Islam tidak dilarang kepada istri membantu suaminya dalam mencari nafkah.
Dalam kasus Negara Syiria dan Tunisia, Undang-undang Hukum Keluarga kedua negara ini telah melakukan begitu mendetail masalah nafkah ini. Lingkup pembiayaan nafkah tidak hanya terbatas pada sandang, pangan dan papan melainkan juga meliputi biaya-biaya pengobatan. Bahkan perbedaan agama istri tidak menjadi penghalang akan wajibnya nafkah ini. Selain itu juga istri mempunyai hak menolak untuk mendampingi   suami jika suami mengabaikan kewajiban ini. Dan lebih ekstrim lagi bahwa pengabaian kewajiban ini bisa menjadi salah satu alasan istri untuk memohon perceraian.
Dalam masalah ini, kedua negara ini telah melakukan terobosan yang signifikan dalam memberikan wewenang kepada istri  untuk menuntut hak nafkahnya yang begitu luas.  Hal ini berbeda dengan pandangan para ulama mazhab di mana biaya apengobatan bukan menjadi tanggung jawab suaminya. Menurut mereka, ongkos atau biaya pengobatan mrnjadi tanggungannya sendiri atau keluarganya, karena obat-obatan tidaklah dinggap sebagai kebutuhan pokok, mereka menganalogkannya dengan makanan cuci mulut. Makanan jenis ini tidk harus ada atau disediakan.[46] Hal ini disebabkan karena kondisi masyarakat pada waktu itu secara umum tidak memerlukan pengobtan seperti sekrang ini. Akan tetapi, dewasa ini kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan telah menjadi bagian dari kebutuhan pokok. Wahbah al-Zuhaili-ahli fiqih kontemporer dari Syiria– menolak pandangan para ulama empat mazhab di atas. Menurutnya nafkah untuk kesehatan adalah termasuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami. Pemberian nafkah kesehatan merupakan bentuk dari mu’asyarah bi al-Ma’ruf. Katanya: Bukanlah mu’asyarah bi al-ma’ruf namanya, kalau suami dalam keadaan istrinya sehat dapat bersenang-senang (istimta’), tetapi manakala ia sakit, lalu mengembalikannya kepada keluarganya. Ilustrasi Wahbah ini selaras dengan aturan di Syiria, Tunisia bahkan Mesir.[47]
Inilah saya kira pendapat dan kebijakan terhadap istri yang lebih maslahah dan lebih relevan dengan tuntutan perkembangan sosial. Agama tentu saja menyetujui pandangan ini, karena gama memang hadir untuk memberikan kemashlahatan dan keadilan bagi seluruh umat manusia (laki-laki dan perempuan).
2. Poligami
Masalah poligami, meskipun Islam membolehkannya,[48] tetapi oleh kaum wanita, seiring dengan meningkatnya kesadaran kaum wanita akan hak dan martabat status mereka, oleh kaum wanita dipandang sebagai suatu upaya eksploitasi wanita demi kebutuhan biologis kaum adam. Sementara bagi kaum adam pada umumnya, poligami adalah sesuatu yang legal dan telah dipraktekkan oleh Nabi. Meskipun Nabi mempraktekkannya, tetapi dalam perkembangannya, tidak semua ulama berpendapat seragam, sebagian mereka ada yang menolak kebolehannya.[49]
Dalam Islam semua mazhab pemikiran menyatakan bahwa al-Qur’an mengizinkan poligami, sepanjang syarat adil itu terpenuhi. Namun bagi Negara Syiria walaupun membolehkan tetapi dengan memperketat persyaratan dan itu sangat tergantung pada izin dari pengadilan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 17 di atas. Hal ini ada keberanjakan dari pemikiran mazhab klasik yang notabene membolehkan meskipun pembolehan tersebut ditambah dengan syarat harus yang tidak mungin terpenuhi, keadilan dalam kasih saying, perasaan cinta dan sebagainya.[50]
Lain halnya dengan Tunisia, Negara ini secara radikal telah melarang praktek poligami ini. Larangan ini sebagaimana hal lain yang dibicarakan di atas, dipandang sebagai akibat dari pengaruh kolonial barat. Para ahli hukum Islam Tunisia sebenarnya menyandarkan pandangannya pada al-Qur’an dan sumber-sumber hukum dasar lainnya dalam melarang poligami. Meskipun demikian, barangkali ada benarnya juga apabila keinginan mereka untuk melakukan uji ulang atas ijtihad terdahulu dala persoalan ini dipengaruhi oleh pengaruh eksternal Barat. Bahkan, dengan analisis tradisional sekalipun, ada pendekatan hukum yang memungkinkan wanita menolak poligami dalam perkawinannya sendiri.[51]
Langkah Syiria dan Tunisia ini dianggap paling berani dan telah mengalami keberanjakan dari doktrin mazhab Maliki dan Syafi’i yang memberikan kebebasan yang luas bagi laki-laki untuk berpoligami. Syaratnya hanya dua, yaitu adil dan maksimal empat orang istri. Tidak ada persyaratan apapun lagi selain dua hal itu.
Jadi dalam masalah poligami, Tunisia telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam mengangkat dan memelihara derajat kaum perempuan dari tindakan kesewenag-wenagan kaum laki-laki. Sebab poligami pada hakikatnya merupakan bentuk penghinaan terhadap perempuan. Sebab, mana ada perempuan yang rela dan bersedia dimadu-sebagaimana halnya laki-laki, mana ada yang rela dan bersedia dimadu. Karena poligami menimbulkan kerawanan terhadap pelecehan hak-hak kaum perempuan.[52]
Untuk kepentingan hak-hak kaum wanita agar sedikit mungkin terhindar dari kedudukan sebagai obyek  pemuas sex kaum lelaki, maka dalam hal boleh tidaknya seorang lelaki berpoligami di Syiria harus minta izin terlebih dahulu kepada istri dan pengadilan. Dengan kata lain, campur tangan hakim tidak bisa disepelekan dalam menegakkan hak-hak kaum wanita dalam relasinya dengan kaum lelaki. Mengapa hal ini diperlukan?
A.K. Brohi, menguti pendapat Brifault, menjelasan bahwa antara “kekuasaan” dan “keadilan” itu saling mempengaruhi. Semangat etika zaman modern, harus dicatat, berada dia atas segala apa yang telah dicirikan oleh hide-ide keadilan, kejujuran, permainan yang jujur daripada apengingkaran, pengorbanan diri, dan pemerasan emosi yang menandai moralitas periode keagamaan.[53]  
3. Perceraian
Umumnya hukum syari’at, peraturan yang berkaitan dengan cerai lebih memihak pada kepentingan pria. Seorang pria mempunyai hak untuk menceraikan istrinya tanpa sebab, ia cukup mengatakan : “aku cerai engkau” tiga kali di depan para saksi, yang merupakan tanda fomal untuk mengkhiri hubungan perkawinan.
Sebaliknya, wanita tidak mempunyai hak untuk menceraikan dengan cara yang sama, tetapi mereka berhak menuntut dua jenis perceraian: Satu dengan membayar sejumlah uang, dan yang lain karena pelecehan dan penghinaan kepada istri dan keluarganya yaitu lewat khulu’  dan tafriq. Namun bentuk cerai seperti ini hanya diizinkan dalam kondisi ya ng sangat khusus, seperti adanya alasan bahwa suami ternyata impotent atau suami melarikan diri. Undang-undang modern di beberapa anegara telah memodifikasi dan sedikit memperluas wilayah yang karenanya wanita dpat mengajukan cerai dengan alasan: dilukai, konflik, cacat fisik pada suami, tidak diberi nafkah, suami hilang atau dipenjara.
Fenomena ini erjadi pada hukum keluarga Syiria adan Tunisia, kedudukan suami dan istri adalah sama dalam perceraian, perceraian sepihak tidak jatuh dan harus diucapkan di muka apengadilan dan pernikahan yang diucapkan tiga kali sekaligus (talaq al-Battah) hanya dihitung satu.[54]
Hal ini berbeda dengan ketentuan mazhab klasik, karena dalam mazhab Maliki; Talaq bisa jatuh hanya dengan mengucapkan “Talaktuki” tanpa harus ada campur tangan dari pihak hakim.[55] Bahkan menurut Malik juga, talak yang dijatuhkan suami karena keliru, lupa dan main-main adalah sah. Sementara Mazhab Hanafi menyatakan bahwa setiap talaq yang dijatuhkan oleh suami dinyatakan sah kecuali anak kecil, orang gila, atau orang idiot.[56]
Apabila dilihat ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam perundang-undangan Syiria dan Tunisia, maka akan tampak titik keberanjakannya dari fiqih klasik yaitu setiap Negara berusaha untuk mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam fiqih klasik yang lebih cenderung mempermudah terjadinya perceraian dan mengabaikan ahak-hak perempuan.[57]
Keberanjakan yang cukup signifikan adalah pemberdayaan lembaga pengadilan dalam perceraian. Hal ini merupakan salah satu pembaharuan yang terpenting dalam wacana hukum keluarga Islam. Sebab, dalam fiqih lasik, dengan mengacu secara scriptural kepada teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah, suami adalah “pihak yang menceraikan” (mutalliq), sedangkan istri adalah “pihak yang diceraikan” (mutallaq). Istri hanya diberiakan hak gugat cerai, namun, itupun masih disyaratkan ada persetujuan suami dan biaya tebusan (‘iwad). Bahkan dalam mazhab Hanafi yang dikenal rasional, istri tidak mempunyai hak untuk menggugat cerai, apapun alasannya.[58]
Hal lain yang perlu mendapat perhatian kaitannya dengan perceraian, terutama di Tunisia adalah larangan permanen bagi laki-laki untuk menikahi kembali perempuan yang telah dicerikan sebanyak tiga kali. Nampak jelas, ketentuan ini telah meninggalkan mazhab Syafi’i yang mengabsahkan pernikahan “sementara” yang bertujuan menghalalkan berkumpulnya kembali laki-laki pertama dengan mantan istrinya (nikah tahlil).
Keberanjakan dan perubahan menuju tata cara perceraian yang manusiawi yang mengakui hak-hak kaum perempuan ini didasarkan pada spirit al-Qur’an yang menyuruh suami untuk menceraikan istrinya dengan cara yang baik dan adil.[59]

F.     KESIMPULAN
 Diskriminasi, marginalisasi dan subordinasi hak kaum perempuan di lingkungan setiap komunitas peradaban manusia berlangsung tanpa ada perubahan yang berarti hingga awal abad ke-20, namun sejak saat itu sejumlah ikhtiar untuk memodifikasi hukum status personal dilakukan di berbagai wilayah.
Sebelum awal abad ke-20, negara membiarkan kontrol terhadap kaum perempuan dan keluarga berada di tangan kelompok-kelompok keluarga patriarkhal. Berbeda dengan tindakan yang sangat intervensionis dalam hukum perdata, komersial, dan pidana Islam, negara menolak usaha yang beresiko tinggi, yakni mencampuri peraturan-peraturan status personal, inti terdalam dari identitas muslim (maskulin). Kontrol patriarkhal terhadap prilaku kaum perempuan dan unit keluarga adalah hal pokok bagi konstruksi identitas ini Namun, pada akhirnya, keengganan Negara mulai meluntur, paling tidak karena tekanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok prempuan di bawah kepemimpinan perempuan-perempuan terkemuka seperti  Mesir dan seluruh kesultanan ‘Utsmaniyyah.
Seiring dengan derasnya arus modernisasi yan terutama dimulai awal abad XX yang dibarengi dengan adanya usaha reformasi huku keluarga di dunia Islam, maka secara bertahap perempuan mulai mendapatkan hak-haknya baik hak domestik maupun publik.
Terlepas dari perdebatan apakah proses reformasi itu merupakan implikasi dari gejolak internal maupun desakan eksternal, tetapi reformasi Undang-undang Keluarga muslim termsuk Syiria dan Tunisia telah mengalami kemajuan. Secara substansial kebijakan negara terhadap perempuan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan substansi bangunan fiqih klasik. Dengan demikian usaha interpretasi dan transformasi huku keluarga yang selaras dengan kebutuhan masyarakat yang menjadi habitatnya mutlak diperlukan. Bukankah produk fiqih-fiqih klasik merupakan hasil dialektika antara ulama dengan tuntutan zamannya? Munculnya qaul qadim dan qaul jaded dari ualama sekaliber Imam Syafi’i merupakan indikasi kuat bahwaa hukum Islam dibentuk dan membentuk masyarakat.
Terakhir terkait dengan usaha reformasi nasib kaum perempuan (istri) di Indonesia sudah waktunya dipikirkan konsep hukum perkawinan yang berkeadilan gender. Usaha ini tidak cukup hanya dengan slogan dan symbol-simbol kesetaraan, tetapi mencakup dataran substansi perundang-undangan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Rights and International Law, (terj.) Ahmad Suaedy, Dekonstruksi  Syari’ah I, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 190.
Abu Zahrah, Al-Ahwal al-Syakhshiyyah, ttp. Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1957.
Abu Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Sarh Manhaj al-Tullab, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Ahamd Faiz, Dustur al-Usrah fi Zilal Al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983.
Ala’eddin Kharofa, Al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Bagdad: Mathba’ah al-Aniy, 1962.
Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, Terj. Farid Wajdi dan Cici Farkha, Yogyakarta: LSPAA, 1994.
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, t.t.
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid fi Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
B.     Lewis, CH. Pellat dan J. Schacht, The Encyclopedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1983.
Jawab Mughniyyah, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Khamsah,terj, Afif Muhammad, Jakarta: Basrie Press 1994.
John Ober Voll, Islam: Continuity and Change in the Modern World,  England; Westview, 1982.
Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopdia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 195.
Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari’ah (Yogyakarta: LkiS,2003)
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2005).
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara; Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001)
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 2000.
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta; LKAJ, 1999.
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan (Yogyakarta: Tazzafa, 2005).
Khoiruddin Nasution, Status  Wanita di Asia Tenggara (Jakarta: INIS,2002).
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,  Beirut: Dar al-Fikr, `1977.
Syarbini, Iqna fi Hilli al-Faz Abi Shuja’, Indonesia; Dar al-Ihya al-Kutb a-‘Arabiyyah, t.t.
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987.
.-------------------, Family Law in The Muslim World, Bombay: N.M. Tripathi PVT. LTD., 1972.
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh wa Adillatuhu, Damaskus: ar al-Fikr, 1989




















Riwayat Hidup Penulis

Nama                                       : Masnun Tahir, M.Ag
TTL                                         : Dasan Baru, Lombok Tengah, 27 Agustus 1975
Pekerjaan                                 : Dosen Tetap STIT Nurul Hakim, Kediri Lombok Barat, NTB
Pangkat/Gol.                           : Asisten Ahli/III B
Alamat                                                : Dasan Baru, Barabali, Lombok Tengah NTB.
Jenjang Pendidikan                 :
-              1982-1987  SDN Lendang Terong
-              1987-1990 MTS di Pon. Pes “Uswatun Hasanah” Lombok Tengah
-              1990-1993  MAN.PK Mataram NTB
-              1994-1999  Fak.Syari’ah(PM) UIN Sunan Kalijaga
-              2000-2002  Pascasarjana S2  UIN Sunan Kalijaga
-              2005-…..    Pascasarjana S3  UIN Sunan Kalijaga
                                   
Pengalaman Organisasi:
  1. Koord. Humas “IKAMANSA” Mataram-Yogyakarta 1994-1996
  2. Koord. Humas “Jamaah Ibnu Abbas IAIN Su-Ka” 1994-1996.
  3. Ketua Korp. “FORDINDA” PMII Rayon Fak. Syari’ah 1995-1996.
  4. Koord. Humas PMII Rayon Fak. Syari’ah 1995-1996.
  5. Koord. Humas “KOSPEHI” Fak. Syari’ah 1996-1997.
  6. Divisi Humas “Mading LACAK” Fak.Syari’ah 1996-1997.
  7. Ketua HMJ-PM Fak. Syari’ah 1996-1998.
  8. Pengurus BPM Fak. Syari’ah  1996-1998.
  9. Pengurus SMI IAIN Sunan Kalijaga 1996-1998.
  10. LITBANG PMII Kom. IAIN Sunan Kalijaga 1997-1998.
  11. Pengurus FORMASI  Orwil DIY 1997-1998.
  12. Koord. Divisi Kerohanian Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Lombok (KPML) Yogyakarta 1995-1997.
  13. Ketua Umum Dewan Tanfiziyah Ikatan Alumni Pondok Pesantren Uswatun Hasanah (IKAPPUH) Batukliang, Lombok Tengah, NTB,  2000-Sekarang
  14. Ketua Umum DPAC-PKB Batukliang (2002-2007)
  15. Wakil Ketua PW-GP Ansor NTB (2004-2006)
  16. MABINCAB PMII Cab. Mataram 2004-20006
  17. Direktur Pendidikan Yayasan Pon.Pes Uswatun Hasanah (2004-Sekarang)
  18. Konsultan beberapa pesantren (Darul Atfal, Batukliang Utara, Qudwatun Hasanah, Nurul Hidayah, Sabilal Muhtadin NW, Islahul Anam NTB)
  19. Wakil Katib Syuriah PWNU NTB (2007-2012)
  20. Pembina LDMI IAIN Mataram

Prestasi Akademik:
  1. Lulusan Terbaik I SDN Lendang Terong tahun 1987.
  2. Juara Umum I Lomba Cerdas Cermas P4 Tingkat Kec. Batukliang tahun 1989.
  3. Lulusan terbaik II KKM MTS Se-Kab. Lombok Tengah tahun 1990.
  4. Lulusan Terbaik I EBTA  di Pondok Pesantren Uswatun Hasanah 1990.
  5. Lulusan Terbaik VI KKM MANSA Mataram 1993.
  6. Juara II Lomba Debat P4 IAIN Sunan Kalijaga Yogkarta  1995.
  7. Juara I LKTI (Lomba Karya Tulis Imiah) untuk DIY & Jawa Tengah Fak. Syari’ah 1998.
  8. Juara II Lomba Debat “Bukan Basa Basi” A Mild untuk DIY & Jawa Tengah Kategori Mahasiswa 1999.
  9. Wisudawan Terbaik dengan Comloude (3,79) Fak. Syari’ah, tahun 2002
  10. Wisudawan Terbaik dengan Comloude (3,72) Fak. Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2002
   

Karya Tulis Ilmiah                  :
-              Pemikiran TM.Hasbi Ash-Shiddiqie Tentang Sumber Hukum Islam (Skripsi S1).
-              Wacana Pemikiran Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia: Studi Atas   Gagasan Kaum Islam Liberal Tahun 1970-2000, (Tesis S2)
-              Titi Singgung An-Naim dalam Membelah Belantara Dogma Syari’ah (Suara Muhammadiyah, 1997).
-              Resensi Buku Tradisionalisme Radikal (Banjarmasin Post, 1998).
-              Makna Strategis Ibadah Haji (Buletin Amal Bakti, Depag NTB, 2004)
-              Paradigma Pemikiran Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia: Sebuah Telaah Historis Politis (Jurnal Istinbath IAIN Mataram, Januar-Juni 2004)
-              Faktor Kerelaan Istri Dalam Rujuk; Perspektif Keadilan Gender (Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Januari-Juni 2004)
-              Pergeseran Paradigma Pemikiran Fiqh Tuan Guru ((Penelitian Kolektif IAIN Mataram 2005)
-              Perspektif Baru Fiqh Lintas Agama (Jurnal El-Huda STAIIQH Bagu, Nopember 2005)
-              Dasar-dasar Pemikiran Pembaharuan Liberalisme Hukum Islam di Indonesia (Jurnal Istinbath IAIN Mataram, Desember  2005)
-              Pencarian Otentisitas Islam Liberal di Indonesia ((Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Januari-Juni 2006)
-              Metodologi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jurnal Hermenia Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga, Januari-Juni 2006)
-              Paradigma Baru Fiqh Muamalah di Indonesia (Penelitian Kolektif IAIN Mataram 2006)
-              Moralitas Agama atau Keagamaan (Jurnal Tasamuh IAIN Mataram, Juni-Desember 2006)
-              Analisis Jender dalam Studi Islam (Jurnal al-Qawwam, IAIN Mataram 2007).
-              Wacana Pemikiran Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia: Studi Atas   Gagasan Kaum Islam Liberal Tahun 1970-2000 (Antologi Tesis LKIM IAIN Mataram)
-              Munawir Sadzali dan Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Yogyakarta: Politea Press, 2007)
-              Islam dan Hubungan Antar Agama; Pedoman Bagi Para Da’I (Yogyakarta: LKiS, 2007)






[1] Masnun Tahir, M.Ag: Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Nurul Hakim, Kediri Lombok Barat, NTB
[2] Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj. Farid Wajdi dan Cici Farkha (Yogyakarta: LSPA, 1994), hlm. 3.
[3]  Joseph Conrad membahasakan dengan sangat nyata baginya setiap jelajah daerah baru (termasuk dunia Islam) yang dilakukan barat adalah memberi sinar ruang yang gelap gulita.
[4] Pembahasan panjang tentang penerapan hukum keluarga Islam dan pembaharuannya dapat dibaca pada karya Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hlm. 160-183. Juga Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan (Yogyakarta: Tazzafa, 2005).
[5] Keberanjakan ini dilihat sebagai bukti bagi terjadinya reformasi hukum Islam yang radikal dalam bidang hukum keluarga. M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberas, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 12-13.
[6] Tahir Mahmood, Personal aw in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), hlm.
[7] Ensiklopedi Indonesia,(Jakarta: Intermasa, 190) artikel “Suriah”, hlm. 217. Juga Tahir Mahmood, Personal., hlm. 139.
[8] David Commins, “Syiria” dalam John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 195), Vol. IV. Hlm. 156.
[9] Ensiklopedi Indonesia.,hlm. 222.
[10] Tahir Mahmood, Personal.., hlm. 139.
[11] B. Lewis, CH. Pellat dan J. Schacht, The Enciclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1983), Vol. III, hlm. 661.
[12] John L. Esposito, Ensiklopedi.., hlm. 272-273.
[13] Orang-orang Tunisia bersukubangsa Roman, Vandal, Ara dan sebagian bergaris keturunan Berbr. Informasi lebih lanjut lihat http://www.arab.net/tunisia contents.html.
[14] Reeva S. Simon dkk. (Ed.), Encyclopedia of Modern Middle East, (New York: USA, 1996), hlm. 1974-1976.
[15]  John P. Entelis, “Tunisia” dalam John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic Worlad, (New York: Oxford University Press, 1995), Vol. IV,  hlm.235.
[16] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 235. Juga John Ober Voll, Islam: Continuity and Change in the  Modern World, (England: Westview Press, 1982), hlm. 99.
[17] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial..,hlm. 235-237.
[18] Tahir Mahmood, Personal…,hlm. 139.
[19] IIbid.
[20] Ibid., hlm. 141.
[21] Ibid., hlm. 152-154.
[22] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), II, hlm. 148.          
[23]  ‘Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 190), IV, hlm. 485.
[24] Abu Zahrah, Al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (ttp, Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1957), hlm. 269. Juga M. JawabMughniyyah, Al-Fiqh al-Mazahib al-Khamsah, terj. Afif Muhammad (Jakarta: Basrie Press, 1994), II,  hlm. 112.
[25] Q.S. A     th-Thalaq; 6.
[26] Q.S. Al-Baqarah; 233.
[27] Ala’eddin Kharofa, Al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (Baghdad: Mathba’ah al-Aniy, 1962), I, hlm. 311-314.
[28] Tahir Mahmood, Personal.., hlm. 145. Lihat juga Ala’eddin Kharofa, Al-Ahwal.., hlm. 302.

`[29] Padahal Islam bukanlah agama yang pertama kali memperkenalkan poligami sebagaimana yang dituduhkan barat. Akan tetapi poligami merupakan fenomena yang telah lama dikenal dalam tradisi agama seperti Kristen, Yahudi dan Hindu. Safia Iqbal, Woman and Islamic Law (New Delhi: Adam Publisher, 1994), II, hlm 96-97
[30] kelompok Syi’ah dan Dzohiriyah menafsirkan kata matsna wa tsulatsa wa ruba’ lebih dari empat orang, karena waw pada ayat ini tidak berarti “atau” melainkan berarti sibol penambahan bahkan ada yang mengatakan simbol perkalian sehingga batas maksimum istri bisa lebih dari empat. Jadi rumusannya adalah: 2+3+4=9., karena huruf waw diartikan dengan tambah. Angka sembilan ini dihubungkan dengan jumlah istri Nabi. Ada lagi yang berpendapat lebih banyak dari itu, yaitu dg menggunakan rumus 2+2=4, 3+3=6, 4+4=8, sehingga menjadi 4+6+8=18. ada pula yang menggunakan rumus 2x3x4=24. bahkan ada yang tidak membatasi batas maksimumnya karena kata “fankihu ma thaba lakum minannisa ” adalah lafadz yang berlaku mutlak, sedangkan angka sesudahnya bukanlah pembatas (muqayyad) melainkan hanya keterangan untuk menghilangkan kebingungan karena mukhatab yang mungkin menyangka bahwa menikahi lebih dari satu orang adalah tidak dibolehkan. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), II, hlm 96-97.
[31] Ibid….
[32] Mereka mengklaim bahwa Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang secara ekstrem berpendapat bahwa jka bukan karena Islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Sebuah pandangan yang keliru, karena yang benar adalah bahwa masyarakat manusia di berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami. Lihat Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: LKAJ, 1999), hlm. 3. Bandingkan dengan Ahmad Faiz, Dustur al-Usrah fi Zilal al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), hlm. 178.
[33] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (New Delhi: The Indian Law Institute, 1972) hlm. 272-275.
[34] Tahir Mahmood, Personal.., hlm. 157.
[35] John L. Esposito, Womewn in Muslim Family Law, (New York: Syracuse University Press 1982), hlm. 92.
[36] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 104. Lihat Juga Khoiruddin Nasution, Status  Wanita di Asia Tenggara (Jakarta: INIS,2002).
[37] Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan..., hlm. 185.
[38] Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 177.
[39] Ibn Majāh, Sunan Ibn Majāh (Beirut: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, tt), I, hlm. 650.
[40]  Khoiruddin Nasution, “ Emansipasi Wanita: Dari Konsep Talak sampai Persamaan Hal. Makalah disampaikan pada Diskusi Ilmiah Dosen Tetap Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Tanggal 14 0ktober, 1995, hlm. 5.
[41] Tahir Mahmood, Personal.., hlm. 147.
[42]  Tahir Mahmood, Family…, hlm. 109.
[43] Ibid. hlm. 102.
[44] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Rights and International Law, (terj.) Ahmad Suaedy, Dekonstruksi  Syari’ah I (Yogyakarta: LKiS, 1994).
[45] Baca Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara; Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 89-91.              
[46] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adilatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), X, hlm. 7380.
[47] Ibid. hlm.7831.
[48] Abdul Nasir Taufiq al-‘Attar, Taaddud al-Zaujat fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, (ttp: tnp, t.t), hlm. 43.
[49] Khiruddin Nasution, Riba…, hlm. 83.
[50] Jawad Mughniyah, Al-Fiqh.., hlm. 34.
[51]  Dalam istilah Mahmud Muhammad Thaha poligami  merupakan bukan ajaran Islam. Lihat Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari’ah (Yogyakarta: LkiS,2003), hl.167170.
[52] Musdah Mulia, Pandangan.., hlm. 50. Lihat Juga Nasr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender (Yogyakarta: Samha,2003), terutama  tentang perempuan dan hukum kelurga: contoh wacana legislasi di Tunisia.
[53] A.K. Brohi, “ Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Barat dan Islam”, dalam  Hak Asasi Manusia dalam Islam, terj. Badri Yatim, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 56.
[54]  Mengenai talak tiga sekaligus ini telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama karena di dalam sejarah prakteknya ada. Pada masa Nabi, Abu Bakar dan 2 tahun masa khalifah Umar yang dihitung adalah satu, setelah itu terjadi maka yang berlaku adalah jatuh tiga sekaligus. Menurut Ulama empat Mazhab, maka jatuh tiga, sementara kalangan Syi’ah menghitungnya satu. Lihat Abu Zahrah, Al-Ahwal al-Syakhshiyyah…, hlm. 356. Juga Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah…, hlm. 233.
[55]  Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid fi Nihayat al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II, hlm. 45.
[56]  Jawad al-Mughniyyah, Al-Fiqhu…, hlm. 164.
[57]  Informasi lebih lanjut tentang hal ini baca Abu Shuja’, Matn al-Taqrib,(Indonesia: Dar Ihya al-Kutb al-‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 47. Juga Al-Syarbini, Iqna fi Hilli al-Faz Abi Shuja’, (Indonesia: Toha Putra, t.t.), hlm. 438. Al-Sayyid Sabiq, Fiqh…, hlm. 212
[58]  Al-Jaziri, Al-         Fiqh…, hlm. 248-290.        Al-Syarbini, Al-Iqna…, hlm. 145-153. Abu Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Sarh Manhaj al-Tulab, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II, 72-90.
[59] Al-Baqarah; 231.

0 komentar:

coment after read! and comment with ethic!
habis baca jangan lupa comment! comment dengan etika