PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM PENGKAJIAN AGAMA


PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM PENGKAJIAN AGAMA

          MATA KULIAH AGAMA, BUDAYA DAN SAINS




Tekan ctrl  + click salah satu iklan dibawah untuk lanjut membaca
push ctrl + click one of the banners below before continue reading
 




   
                                      

                                      


GURU BESAR;
PROF.DR.H.M. AMIN ABDULLAH






OLEH;
MASNUN
05.3.482.





PROGRAM DOKTOR
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2006




PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM PENGKAJIAN AGAMA

Tulisan ini merupakan refleksi atau catatan-catatan akademis penulis selama mengikuti perkuliahan Agama, Budaya Dan Sains  yang diampu oleh Prof. Dr.H.Amin Abdullah. Adapun tema-tema pengkajiannya adalah sangat luas termasuk sosiologi agama yang menjadi jatah bahasan penulis. Karena dalam diskursus keagamaan kontemporer  (religious studies), terutama sejak awal abad ke-20 M, seperti ditulis Wilfred C. Smith, telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman keagamaan, yaitu pemahaman keagamaan yang gender dahulu lebih mengarah pada dataran “idealitas” bergeser ke arah “historisitas”, dari yang hanya membahas masalah “doktrin” ke arah entitas “sosiologis” dan dari diskursus “esensi” ke arah “eksistensi”. [1]
Kajian-kajian sosiologi agama telah tumbuh, dan tak mungkin dilepaskan, dari upaya lebih luas untuk memahami fenomena agama yang telah dilakukan oleh para sarjana di banyak bidang keilmuwan, khususnya sejak abad ke-18 di Barat dan lebih belakangan lagi dibelahan dunia lain. Para teolog, filsuf, sejarawan, filolog, kritikus sastra, ilmuwan politik, antropolog dan psikolog sama-sama telah memberikan sumbangan yang  berarti.
Dalam kajian para sosiolog ada tiga tipe utama kajian agama yaitu: pertama, mereka mengkaji agama sebagai sebuah persoalan teoritis yang utama dalam upaya memahami tindakan sosial. Kedua, mereka menelaah kaitan antara agama dan berbagai wilayah kehidupan sosial lainnya, seperti ekonomi, politik dan kelas sosial. Dan terakhir, mereka mempelajari peran, organisasi dan gerakan-gerakan keagamaan.[2]
Makalah ini, pada dasarnya tidak akan membicarakan relasi anatara agama, budaya dan sains secara langsung, melainkan akan membahas sosiologi agama, bagaimana beragama dan memahani agama dengan melihat aspek di luar agama termasuk budaya dan sains,.agar pemahaman dalam beragama tidak terjebak pada dogmatic-religius-fanatism tetapi dogmatic-scientific-materialism.


Tulisan ini akan memfokuskan kajian pada terma-tera praktek keagamaan dewasa ini kemudian dianalisis dengan pendekatan sosiologi agama.

A. Pola Keberagamaan Umat Dewasa Ini
Perjalanan sejarah umat manusia telah melalui banyak tahapan dari hunting, savagery, barbarism and gathering societies, postoralist, hoticulturalis, agricultural, industrial, dan bahkan post-industrial societies atau information societies yang dibarengi dengan globalisasi informasi dan pluralisme budaya. Globalisasi mula-mula terjadi pada pola konsumsi, kemudian merambat kepada pola pakaian dan selanjtnya kepada pola budaya dan tata nilai. Menghadapi meningkatnya pluralisme budaya dan kehidupan beragama di dunia, serta globalisasi informasi dan budaya (mass culture) yang melahirkan heteroenitas nilai, menurut para ahli sosiologi agama, ada beberapa kecenderungan sikap yang mungkin muncul, yaitu:
  1. Mengganti sepenuhnya aturan keagamaan dengan aturan sekuler (sekularisasi).
  2. Memisahkan kehidupan keagamaan hanya sebagai masalah pribadi (privatiasi), sedangkan kehidupan sosial masyarakat sepenunya di atur secara sekuler (sekularisasi kehidupan publik).
  3. Menghidupkan kembali sepenuhnya aturan dan tradisi keagamaan dalam kehidupan perseorangan dan masyarakat (revivalist atau fundamentalist movement). Sikap ini dapat berbentuk  revivalisme nilai, pengasingan diri atau menghindari kehiduapan modern (retreat) atau melabrak pluralisme itu sendiri (religious violence), yang berujung bersifat melakukan kekerasan dengan pembenaran agama.
  4. Membuat tradisi-tradisi baru yang nampak seperti tradisi agama (quasireligious) seperti civil religion.
  5. Mengembangkan sinkretisme dengan mengambil serba sedikit ajaran dan tradisi dari berbagai agama.
  6. Passing over,
  7. Invisible religion
Lalu yang bagaimana cara beragama yang ideal, dari berbagai cara beragama yang ideal mungkin harus kita carai bentuk dan sikap beragama yang mampu mengapresiasi ajaran dan tradisi agama yang dianut dalam kehidupan perorangan dan publik, tetapi dalam waktu yang sama juga menghormati ajaran dan pemeluk agama lain sebagai wujud apresiasi pluralisme budaya dan keagamaan masyarakat yang semakin meningkat sebagai ciri dari kehidupan modern. Kecenderungan sikap ini harus mampu menjadikan agama yang dianut sebagai pedoman yang memberi nilai, arah, ketenangan, makna hidup, rasa kemanusiaan yang luhur dan sekaligus juga memberi fungsi-fungsi positif bagi kehidupan sosial (solidaritas sosial, mendorong perubahan sosial dll).
Dalam kaitan ini bahwa tiga macam sikap orang terhadap agama:
  1. The Assertion of exlusive claim of the thruth, yaitu sikap yang memandang bahwa hanya agama yang dipeluknya saja yang benar. Semua agama lain adalah salah dan karenanya para pemeluknya harus diubah agar memeluk agama yang dianggap paling benar.
  2. Agnostism, yaitu ragu-ragu terhadap agama dan memandang semua agama itu sama.
  3. Sikap yang memandang bahwa agama yang dipeluknya sebagai agama yang benar tetapi dalam waktu yang sama juga menghormati ajaran dan pemeluk agama lain.

B.                  Cara Pandang Terhadap Agama
Sikap keberagaman seseorang seperti pemetaan di atas erat dipengaruhi oleh cara pandangnya (wordlview) terhadap agamanya. Berbagai cara pandang orang terhadap agama akan membentuk karakteristik yang khas. Ada cara pandang yang eksklusif-rigid, inklusif, dan moderat. Kesemua itu erat dipengaruhi oleh bagaimana mereka memandang dan memahami agama tersebut. Orang menjadi inklusif atau eksklusif, bahkan toleran dan intoleran juga karena pengaruh dari ciri pandang ia terhadap agama. Munculnya aksi-aksi kekerasan dalam masyarakat regional maupun international-global saat ini juga ditengarai sering disebabkan cara pandang tertentu terhadap agama itu sendiri. Bahkan munculnya aksi terorisme dipandang sebagai suatu fenomena agama yang menarik dan bahkan banyak yang menyatakan andilnya cara pandang terhadap agama dan kemudian menjadi pendorong bagi perilaku mereka terhadap lingkungan, suasana politik dan sosial, dus orang yang tidak sekeyakinan dengan mereka.
Samapai di sini, banyak kalangan akhirnya memandang urgennya Religious Studies, setidaknya untuk membawa wacana yang ada dalam kaitannya dengan pandangan dan sikap beragama dalam masyarakat. Tentu saja arah dari kebutuhan itu sendiri di ataranya adalah bagaimana memahami cara pandang dan sikap umat Islam saat berhadapan dengan kitab suci mereka. Apalagi steroetip Barat yang sering menempatkan Islam sebagai ancaman bagi kepentingan mereka. Maka kesadaran untuk mengembangkan Islamic Studies. Saat ini, sebagian pemikir baik dari kalangan Islam maupun luar sepakat memandang urgen Islamic Studies, paling tidak untuk mencari jawaban terhadap banyak fenomena keagamaan pada akhir-akhir ini. Fundamentalisme Islam yang dianggap membesarkan kaum teroris adalah satu permasalahan. Dan Islam bukan hanya menjadi urusan atau masalah bagi kaum Muslim atau orang Arab saja, lebih dari itu Islam sudah menjadi masalah dunia. Jauh sebelum fundamentalisme Islam tumbuh dan semakin menyita perhatian dunia dan mejadi tema-tema sentral yang menjadi perhatian Muslim maupun orang di luar Islam, telah dilakukan upaya untuk melihat Islam secara lebih komprehensif, bukan sekedar melihatnya dari sisi bormatifnya saja. Islam menjadi menarikkarena beberapa hal seperti tersebut tadi atau seperti yang diungkap Richard C. Martin bahwa Islam mendapat perhatian besar dalam srudi agama lebih disebabkan perkembangan dan pengaruh global terhadap penduduk Muslim dunia.[3] Pemahaman tentang Islam sebagai agama dan pemahaman tentang agama dari sudut pandang Islam juga merupakan persoalan yang perlu dielaborasi dalam diskusi dan pembahasan para sarjana di bidang studi agama.[4]
Mengkaji Islam tidak cukup dengan mempelajarinya secara terpotong-potong saja (particular) Islam sebagai kajian ilmiah harus dipelajari dengan pendekatan atau metodologi yang tepat secara untuh dan komprehensif. Cara pandang terhadap agam itu sendiri pada gilirannya akan membutuhkan bantuan merodologis. Tidak heran jika Islamic Studies kemudian menjadi favorit untuk dikaji secara lebih dalam lagi. Islamic Studies mulai banyak dikaji oleh para peminat studi agama dan studi-studi lainnya, baik dari kalangan sarjana Barat, terlebih lagi para sarjana Muslim yang berkutat langsung dengan problematika umat. Metodologi menjadi persoalan yang mendesak karena beberapa sebab. Pertama, dalam pandangan Harun Nasution, karena adanya faktor kelemahan di kalangan umat Islam dalam mengakaji Islam secara lebih komprehensif adalah ketiadaan pengusaan metodologi.[5] Kedua, studi Islam dan lain-lain. Hal itu akan mungkin tercapai dengan ketiadaan metodologi tertentu yang dapat diaplikasikan.



[1] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Nornativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.9
[2] Robert N. Bellah, Beyond Belief; Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, terj. Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 3.
[3] Richard C. Martin, Approach to Islam in Religious Studies (Tucson: The University of Arizona Press, 1985), hal. 1
[4] Ibid, hal. 1
[5] Harun Nasution, Metodologi Barat Lebih Unggul, dalam Ulumul Qur’an, No. 3. Vol V (1994), hal. 27-30

0 komentar:

coment after read! and comment with ethic!
habis baca jangan lupa comment! comment dengan etika