PLURALISME AGAMA DALAM MAZHAB PARAMADINA DAN MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)


PLURALISME AGAMA DALAM MAZHAB PARAMADINA DAN MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
 Tekan ctrl  + click salah satu iklan dibawah untuk lanjut membaca
push ctrl + click one of the banners below before continue reading

  1. Latar Belakang Masalah
Wacana pengembangan pemikiran Islam yang terus bergulir, khususnya di Indonesia, sejatinya telah melahirkan berbgai pandangan "maju" dengan mengatasnamakan pembaharuan itu sendiri dan tuntutan modernitas.[1] Berbagai pandangan sebelumnya yang dianggap bertentangan atau bahkan tak sesuai lagi dengan realitas kontemporer dewasa ini di bongkar dan dirombak kembali untuk kemudian disesuaikan dengan tuntutan masa kini.
 Munculnya para tokoh pemikir Islam dengan segala tawaran pembaharuannya mengindikasikan bahwa reinterpretasi atau bahkan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap pemahaman al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai akar spiritualitas Islam dlam menetapkan hukum mutlak harus dilakuakan.ema Media, 2002), hlm. 117.[2] Demikian pula halnya, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum (Islam) menjadi sebua keniscayaan. Berbagai fenomena sosial yang secara eksplisit belum, bahkan tak tersurat sama sekali, amat menuntut untuk segera dicari solusi dan penyelesaianya demi mewujudkan cita-cita Islam yang universal, progresif dan elastis[3], salihun li kulli zamanin wa makanin, rahmatan li al-'alamin, serta Islam yang dinamis dan tanggap atas setiap perubahan yang terjadi, karena memang karakter awal dari hukum Islam selalu sejalan dengan pergantian ruang dan perjalanan waktu, ia senantiasa survive memenuhi kebutuhan umat Islam dan menjawab tantangan sepanjang masa.[4]
Dalam upaya pengkontekstualisasian seperti inilah kontroversi dan perdebatan tak bisa lagi dihindarkan, truth claim pun menjadi sesuatu yang "wajib" muncul dalam setiap bentuk pemikiran dan ide yang dimunculkan demi mendukung gagasan masing-masing, bahkan terkadang berujung konflik.[5]
Gambaran ini akan menunjukkan wujudnya dengan lebih jelas apabila kita mengamati dinamika pemikir-pemikir Islam dan muatan intelektual yang mereka lontarkan, baik yang disampaikan secara individu-personal maupun kolektif-institusional. Berbagai perbincangan seputar masalah keagamaan pun kembali menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat, khususnya yang berpijak pada pada paradigma syari'ah.[6] Salah satu isu aktual saat ini yang muncul ke permukaan adalah pergeseran paradigma pemahaman yang berkaitan dengan hubungan lintas agama yang sering disebut sebagai Paham Pluralisme Agama.[7] Berbagai asumsi terhadap agama yang ditengarai sebagai akar perubahan pandangan tersebut turut pula ditampilkan.[8]
Terdapat kelompok Islam yang menerima dan meyakini bahwa paham pluralisme merupakan suatu keniscayaan bagi terwujudnya kehidupan yang toleran dan harmonis di antara umat yang berbeda keyakinan, agama, sosial, budaya, ras dan keturunan, kelompok ini disebut kelompok propluralisme. Dalam pandangan mereka, paham pluralisme agama merupakan solusi terbaik dalam meredam ketegangan dan konflik intra dan antarumat beragama yang terjadi, terutama setelah era reformasi dikumandangkan, dan di masa mendatang.[9] Lebih jauh, kelompok propluralisme mengembangkan tafsir Islam-Pluralis.[10] Mereka menunjuk beberapa ayat dalam al-Qur'an yang mengindikasikan adanya kebenaran dan jalan keselamatan dalam agama-agama yang dijadikan dasar pijakan teologis praktek toleransi dan kerjasama antarumat beragama.[11]
Namun, disamping kelompok propluralisme terdapat pula kelompok Islam lain yang menolak dan membantah keyakinan kelompok pertama, yaitu kelompok kontrapluralisme.[12] Tanggapan dan bantahan pun mereka lontarkan untuk meng-counter keyakinan kelompok pertama. Pada perkembangannya kelompok inipun mengembangkan tafsir Islam Kontra-Pluralis[13] sebagai pijakan dasar teologis dalam mendukung praktek keagamaan mereka, bahwa tidak ada kebenaran dan jalan keselamatan kecuali dalam Islam.
Lebih lanjut, kelompok kedua melihat paham (pluralisme agama) ini sebagai upaya penyeragaman segala perbedaan dan mengusung keyakinan inklusif-pluralis yang mensamaratakan semua agama.[14] Karenanya, ia secara ontologis bertentangan dengan sunatullah,[15] yang pada gilirannya mengancam eksistensi manusia dan hanya akan merusak kemurnian paham dan akidah yang telah disepakati oleh para ulama sejak masa permulaan Islam.
Di Indonesia, dua kutub pemahaman dan pemikiran di atas muncul dalam bentuk lembaga, yaitu kelompok pertama (propluralisme) diusung oleh lembaga Paramadina dan kelompok kedua (kontrapluralisme) diusung oleh lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dua lembaga inillah yang menjadi fokus kajian dalam skripsi ini.

  1. Pokok Permasalahan
Dari uraian di atas dapat diambil pokok permasalahan untuk dijadikan kajian lebih lanjut, yaitu:
1. Bagaimana pandangan Paramadina dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang  Pluralisme Agama dalam Islam.
2. Bagaimana konsep Pluralisme Agama dalam konteks perbandingan antara  Paramadina dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

  1. Tujuan dan Kegunaan
a.  Tujuan
1. Memperoleh kejelasan dan pemahaman mengenai pendekatan Paramadina dalam merumuskan pemikiran-pemikiran tentang konsep Pluralisme Agama dalam Islam.
2. Memperoleh pemahaman mengenai gagasan dan putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Pluralisme Agama dalam Islam.
b. Kegunaan
1. Kegunaan yang bersifat ilmiah, adalah untuk memperkaya khazanah pemikiran Islam dalam menjelaskan pandangan hukum Islam berkenaan dengan konsep Pluralisme Agama.
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam ranah pemikiran Islam pada umumnya dan bagi studi tentang Pluralisme Agama dalam perspektif hukum Islam khususnya.

  1. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa kajian yang mendukung pluralisme. Nurcholish Madjid dalam ceramah budayanya di Taman Ismail Marzuki (TIM), dalam mendukung gagasannya tentang pluralisme agama ia menjelaskan bahwa antara Islam dan agama-agama samawi lainnya (Ahl al-Kitab), yaitu Yahudi dan Nasrani terdapat beberapa persamaan yang amat menonjol, antara lain ia sama-sama berasal dari Tuhan yang sama, kemudian lebih lanjut ia menjelaskan tentang konsep kontinuitas ajaran para nabi sebagai common flatform-nya. Pada sisi yang sama ia juga menjelaskan bahwa perbedaan yang ada hanyalah dalam bentuk-bentuk respons khusus tugas seorang rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Maka perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran pokok dan syari’at para nabi dan rasul adalah sama.[16] Lebih jauh, ia mengatakan bahwa titik temu semua agama yang memiliki kitab suci adalah pada ajaran “kebaikan” bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Kebaikan atau hikmah inilah yang patut dipelajari dari sekian agama-agama tersebut.[17]
Djohan Effendi memandang bahwa demokrasi, masyarakat madani dan pluralisme (termasuk pluralisme agama) adalah tiga serangkai yang harus menjadi agenda umat Islam dalam menyongsong masa depan.[18] Menurutnya, pada masa sekarang ini agama-agama (khususnya di Indonesia) harus bekerja  lebih keras lagi, karena “agama” ikut bertanggung jawab atas menggejalanya kekerasan, langsung maupun tidak langsung menolak pluralisme hanya akan menambah daftar panjang kebencian dan kekerasan atas nama agama, dan itu sama artinya dengan menolak masyarakat madani itu sendiri. Tegasnya, masing-masing agama lebih mengedepankan truth claim dan bersikap eksklusif.[19]
Masdar Farid Mas’udi memilah pengertian Islam pada tiga  tatarannya: Islam sebagai Aqidah, syari’ah dan akhlaq.[20] Islam sebagai aqidah yaitu komitmen nurani dan batin untuk selalu pasrah/berserah kepada Tuhan, dan inilah hakikat, karena  inti dan esensi dari seluruh keislaman memang terletak di situ adanya. Ia adalah agama yang azali, yang ada dalam nurani sejak manusia sendiri belum lahir di bumi. Pada tataran inilah semua segama samawi sama. Keislaman pada tataran syari’ah yaitu ajaran,  tentang bagaimana kepasrahan itu dipahami.  Pada tataran kedua ini agama-agama berbeda. Islam pada tataran ini hanyalah piwulang formal yang sudah mulai menampakkan batas-batas partikularnya. Jika Islam syari’ah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. dikemukakan dalam bahasa Arab, dihimpun dalam sebuah kitab suci yang bernama al-Qur’an, maka Islam Syari’ah yang dibawa Nabi Isa dikemukakan dalam bahasa Ibrani dan terhimpun dalam sebuah kitab dengan nama Injil. Demikian pula Islam syari’ah Nabi Musa, Nabi Ibrahim dan lain-lainnya. Disebabkan ciri-ciri partikularnya itu, maka “Islam” yang pada hakikatnya (Islam Aqidah) merupakan satu-satunya agama Tuhan pun lalu mengenal pengkotak-kotakan. Tegasnya, ketika manusia beragama menyebut agama, maka pada umumnya yang dimaksud adalah agama pada tataran Islam Syari’ah, atau tataran normatifnya.
Ketiga, Islam sebagai akhlaq, yaitu sebagai laku-laku manusia yang pasrah, baik dalam dimensi diri-personalnya, maupun dalam dimensi sosial-kolektifnya.
Terdapat pula beberapa kajian yang menolak dan mengkritik paham pluralisme. Adian Husaini mengkritik teologi inklusif/pluralis yang dilontarkan oleh Nurcholish Madjid, ketua Pembina Yayasan Paramadina yang juga adalah pioner/penggagas pluralisme agama di Indonesia, sebagai tidak memiliki dasar dalam al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, atau pendapat para ulama salaf (terdahulu). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa teologi inklusif/pluralis tersebut bersifat dekonstruktif terhadap konsep-konsep dasar Islam dan menghancurkan fondasi keimanan Islam.[21] Munawwiruzzaman pun mengkritik teologi Islam Nurcholish Madjid tersebut masih bersifat inklusifisme monistik yang beranggapan bahwa Islam merupakan agama yang paling superior di antara agama yang lain.[22]
Bagi Malik Anis Thoha, salah satu tokoh yang paling keras menentang paham ini mengatakan bahwa pluralisme agama sebenarnya merupakan agama baru, di mana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritual keagamaan sendiri, sehingga jelas bahwa ia bukanlah bagian dari Islam, apalagi  Islam itu sendiri.[23] Bahkan Hartono Ahmad Jaiz, penulis buku Menangkal Bahaya JIL dan Fiqih Lintas Agama, sebagai buku tandingan dan bantahan atas buku yang khusus berisi paham pluralisme yang diterbitkan oleh Paramadina yang berjudul Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, ia melihat bahwa paham inklusif-pluralis meskipun mengaku Islam namun juga mengakui akidah mereka berbeda, selanjutnya "Akidah yang berbeda" itu memerlukan "Fiqih yang berbeda", "Akidah eksklusif" maka memerlukan "Fiqih eksklusif", demikian pula halnya "Akidah Inklusif" dengan sendirinya memerlukan "Fiqih Inklusif" pula.[24]
Lebih jauh, Irfan S. Awwas, penentang yang lain, bahkan dengan lantang meneriakkan penentangannya terhadap keyakinan inklusif ini, bahwa pluralisme agama tak lain dan tak bukan adalah kerangka berfikir "talbisul Iblis", yaitu memoles dan membungkus kebatilan dengan berbajukan agama, dan berhujjah dengan dali-dalil al-haqq untuk tujuan kesesatan, seperti perilaku para pendeta Yahudi dan Nasrani.[25]
Wacana pro-kontra yang ditampilkan selama ini masih bersifat sangat polemis sehingga dukungan dan kritikan yang diarahkan kepadanya belum bahkan tidak langsung tertuju kepada titik utama permasalahan yang menjadi polemik. Tulisan-tulisan dan karya ilmiah dalam merespon pro-kontra tersebut masih dirasa sangat subyektif, dengan kata lain tanggapan yang diberikan terkesan cenderung meligitimasi (setuju) atau rejektif menolak, dan ada juga yang bersikap apatis tak mau peduli dalam masalah ini. Oleh karena itu, belum ada upaya untuk mempertemukan mereka dalam satu bingkai wacana dengan berhadapan secara langsung dan memaparkan pandangan masing-masing secara dialogis untuk kemudian bersama-sama mempertimbangkan kembali atau berusaha membandingkan pendapat masing-masing. Dengan demikian, dalam upaya memperbandingkan pandangan yang satu sama lain saling membelakangi inilah penelitian ini menemukan signifikansinya.



  1. Kerangka Teoretik
Pluralisme agama (religious pluralism) adalah sebuah faham (isme) tentang pluralitas. Faham bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama.[26] Menurut Jhon Hick, Pluralisme secara eksplisit menerima posisi yang lebih radikal yang diaplikasikan oleh inklusivisme yaitu suatu pandangan bahwa agama-agama besar mewujudkan persepsi, konsepsi, dan respon yang berbeda-beda tentag "The Real" atau "The Ultimate". Juga bahwa tiap-tiap agama menjadi jalan untuk menemukan keselamatan dan pembebasan. Intinya, Jhon Hick mengajukan gagasan pluralisme sebagai pengembangan dari inklusivisme, bahwa agama adalah jalan yang berbeda menuju pada tujuan (The Ultimate) yang sama.[27]
Secara filosofis teoritis pandangan pluralisme dapat dijumpai dalam kajian ilmu perbandingan agama. Dalam hal ini pada kenyataannya tidak ada bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa kebenaran unik dan khusus hanya dimiliki oleh agama tertentu saja.[28] Dengan demikian, dalam tataran teologis,b pernyataan bahwa  keselamatan merupakan monopoli dari salah satu agama saja sebenarnya sama saja dengan mengatakan bahwa Tuhan hanya ditemukan dalam ruangan ini dan tidak ada di ruangan sebelah atau hanya ada dalam busana ini saja, dan tidak ada dalam busana lain.[29]
Kenyataan dalam al-Qur’an menunjukkan adanya ayat-ayat yang mendukung pluralisme agama, seperti surat al-Baqarah/2 ayat 62 dan 148, dan surat al-Maidah ayat 48. Namun, di sisi lain terdapat pula ayat yang menolak pluralisme agama, seperti surat Ali ‘Imran ayat 19 dan 85, dan surat al-Kafirun ayat 6. Dari ayat-ayat yang menunjukkan dukungannya atas pluralisme tersebut, terutama ayat 62 surat al-Baqarah di atas, disinyalir bahwa Allah tidak memandang pada agama tertentu, tetapi yang terpenting adalah substansi dan esensi yang terkandung dalam agama itu, selama tiga syarat dalam ayat tersebut telah terpenuhi, yaitu: (1) man amana billahi, (2) wa al-yaumil akhir, dan (3) wa ‘amila salihan, maka sudah mencukupi untuk mendapatkan janji keselamatan dari Allah.[30]
Sementara itu, dalam tataran praksis-empiris, terdapat problem yang sangat mendasar: kesenjangan antara fiqih dengan realitas kemanusiaan. Fiqih klasik dianggap tak mampu menjawab tantangan dan perubahan zaman, khususnya dalam fiqih hubungan antar agama, sangat terlihat adanya kegagapan dalam melihat agama lain. Bukan hanya itu, seruling jihad dan perang pun di tiupkan kepada kelompok non-muslim. Hampir dalam seluruh kitab fiqih ada bab tersendiri yang membahas masalah jihad.[31]
Oleh karena itu, fiqih klasik harus dilihat kembali secara kritis. Memaksakan diri untuk menggunakan kesimpulan-kesimpulan yang digunakan ulama klasik dalam menjawab masalah kekinian bisa dianggap upaya mengorbankan masa kini untuk masa lalu, dan apabila yang terjadi demikian, maka agama akan dituduh dan digugat sebagai ajaran yang tidak kontekstual. Agama akan dicela sebagai biang dari kemunduran, kebodohan, ketidakadilan dan kezaliman. Fiqih klasik sejatinya harus dipahami dalam dimensi geografis dan historis yang berbeda dengan realitas empirik kekinian. Ia hadir dalam rangka merespon tantangan-tantangan dan realitas sosial yang muncul waktu itu, dan di masa kini tentunya fiqih sudah semestinya dikonstruk ulang demi menjawab problem kemanusiaan yang muncul dan kian kompleks.[32]
Munculnya kritik-kritik pedas yang dialamatkan pada agama mengindikasikan bahwa agama sedang mengalami tantangan hebat. Karl Marx dengan kritiknya yang menyebut agama sebagai candu, Nietze dalam refleksi filsafatnya menyebut, Tuhan telah mati, Jaques Derrida menyebut, kebenaran makna yang selalu tertunda. Houston Smith mempertanyakan apakah agama telah menemukan ajalnya?. Dalam banyak buku para orientalis menyebut Islam sebagai agama yang tak mengakomodasi agama lain.[33]
Kritik-kritik tersebut terlontar bukan tanpa alasan, akan tetapi karena memang mereka melihat pada praksis-empirisnya agama tidak hadir sebagaimana mestinya. Di satu sisi agama semakin menunjukkan kesakralannya, karena semakin disakralkan oleh penganutnya. Agama hanya membela dirinya sendiri, yaitu dengan memunculkan ritualisme dan kepatuhan apologetik yang luar biasa. Namun di sisi lain agama tak mampu menyinari krisis yang dihadapi manusia. Agama seakan-akan bungkam seribu bahasa, karena agama diharamkan dari kenyataan kekinian.
Akibat dari semua itu, agama kehilangan vitalitasnya. Doktrin-doktrin keagamaan dipakai (bukan ditafsirkan) secara rigid dan kaku. Islam dipahami sebagai agama yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan dari A sampai Z, namun sandaran yang dipakai justru teks-teks suci yang dipahami secara kaku dan rigid. Agama seolah-olah berbicara banyak hal, tapi sebenarnya tak mampu memberikan sinar baru bagi problem kemanusiaan.
Di tengah seremoni keagamaan yang gagap gempita, radikalitas dan militansi keagamaan juga semakin marak. Ini menandakan bahwa keberagamaan menghadapi persoalan serius, antara lain: Pertama, munculnya klaim kebenaran yang bersifat eksklusif dan Islam dipersepsikan sebagai kebenaran tunggal. Kedua, munculnya monopoli tafsir keagamaan yang bersifat monolitik, diskriminatif dan sentralistik. Kedua persoalan tersebut merupakan karakter dari sakralisasi dari doktrin dan dogma keagamaan. Sedangkan persoalan ketiga yang muncul adalah kekerasan dan radikalitas dengan mengatasnamakan agama, yang merupakan dampak lanjutan dari konteks sosial yang secara riil memiskinkan komunitas agama tertentu.[34]
Atas dasar itu, maka persoalan yang muncul yang kemudian menjadi pertanyaan adalah benarkah Islam sebagai agama yang berasal dari sumber yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang telah membawa pesan-pesan eksklusif, kaku dan sarat dengan kekerasan dan menebarkan kebencian terhadap agama lain?
Suatu pemahaman dan pemikiran tidak bisa dilepaskan dari variabel-variabel teoretik sebagai berikut:
Pertama, Pembacaan seseorang, personal-individu maupun kelompok (lembaga), terhadap literatur akan menentukan interpretasi seseorang terhadap kenyataan sosial (konteks). Kedua, setting sosial-politik atau latar belakang peranan sosial juga akan menentukan suatu interpretasi, terutama dalam menentukan fokus dan agenda masalah. Ketiga, latar belakang pendidikan dan atau disiplin ilmu yang dikuasai dan dikembangkan akan sangat menetukan dalam melakukan suatu pembacaan (interpretasi). Keempat, pengalaman dan karakteristik juga akan sangat menentukan dalam melakukan proses nterpretasi. Kelima, perubahan-perubahan kondisi sosial, politik, ekonomi dan sosio-kultural akan sangat mewarnai proses interpretasi. Variabel-variabel tersebut tidak bisa tidak harus ada dalam melakukan penelaahan terhadap suatu pemikiran.[35]
Berangkat dari teori di atas, dalam skripsi ini akan diungkap bagaimana pandangan Paramadina dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam melihat pluralisme agama berdasarkan sudut pandang (hukum) Islam.
F.     Metode Penelitian
  1. Jenis dan Sifat Penelitian
a.       Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan meneliti karya-karya yang terkait langsung dengan topik “pluralisme agama” dalam skripsi ini. Dalam skripsi ini penyusun menggunakan buku Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai data primer. Karya-karya ulama dan  para sarjana lain dijadikan data sekunder.
b.      Sifat penelitian skripsi adalah deskriptif-analitik, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian dan melakukan pengkajian secara mendalam terhadap pemikiran pluralisme dalam buku Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis dari lembaga Paramadina dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
  1. Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data tentang pemikiran Paramadina tentang pluralisme agama dan fatwa MUI, penyusun menggunakan sumber primer berupa buku Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis sebagai buku yang diterbitkan khusus oleh lembaga Paramadina dalam mensosialisasikan pandangan pluralismenya dan Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tentang pengharaman paham pluralisme agama. Selanjutnya karya dan tulisan-tulisan yang ada relevansinya dengan tema pokok penyusunan skripsi ini dijadikan sumber sekunder, berupa buku-buku, kitab-kitab, jurnal-jurnal yang terkait.
  1. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah pemikiran, yaitu berusaha memahami suatu kajian secara obyektif-historis, dengan mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai untuk kemudian dilakukan klasifikasi berdasarkan alur pemikiran  masing-masing.[36]
 Dengan pendekatan ini, penyusun berusaha mencari penjelasan mengenai pemikiran tentang pluralisme agama dari kedua lembaga sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan diterima secara rasional.
  1. Analisis Data
Data-data yang diperoleh kemudian diklasifikasi dan dikritisi dengan seksama sesuai dengan referensi yang ada, kemudian dianalisis. Data-data yang diperoleh dari berbagai sumber akan dianalisis melalui metode:
            1.      Metode Induktif, yaitu suatu metode yang dipakai untuk menganalisis data yang bersifat khusus dan memiliki unsur kesamaan, sehingga dapat digeneralisasikan menjadi kesimpulan umum.[37]
            2.      Metode Deduktif, yaitu pola pikir yang berangkat dari pemahaman yang bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan yang bersifat khusus. Metode ini digunakan dalam rangka mengetahui tentang detil-detil pemahaman yang ada dalam berbagai teks.[38]
            3.      Metode Komparatif, yaitu metode penelitian deskriptif yang berusaha mencari pemecahan melalui analisa tentang perhubungan-perhubungan sebab-akibat. Dengan metode ini penyusun berusaha meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan fenomena yang diselidiki dan membandingkan satu faktor dengan faktor lainnya.[39] Dalam skripsi ini, perbandingan yang dimaksud adalah pandangan Paramadina dan fatwa MUI tentang pluralisme agama.
G.    Sistematika Pembahasan
Sebagai upaya untuk enjaga keutuhan pembahasan dalam skripsi ini agar terarah secara metodis, penyusun menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab Pertama adalah Pendahuluan yang mencakup aspek-aspek utama dalam penelitian, yaitu: Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Kegunaan, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teoretik dan Sistematika Pembahasan.
Bab Kedua berisi sekilas tentang biografi lembaga Paramadina dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan paparan mengenai pluralisme agama menurut dua lembaga tersebut.
Bab Ketiga memuat analisis perbandingan atas pandangan lembaga Paramadina dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah dipaparkan dalam bab kedua di atas.
Bab Keempat merupakan bab penutup berisi kesimpulan dari hasil analisis di atas dan saran-saran.









DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, Ulil Absar, Membakar Rumah Tuhan: Pergulatan Agama Privat dan Publik, (Bandung: Rosda, 2000).
Bisyri, Mohammad Hasan, “Pluralisme Agama dan Klaim Kebenaran,” makalah disampaikan dalam seminar kelas mata kuliah Agama, Budaya dan Sains, Program Doktor UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Effendi, Djohan, "Kata Pengantar”, dalam Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001).
Fakih, Mansour, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Cet. Ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Cet. Ke-2, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989).
Hajar, Ibnu, “Membongkar dan Menata Ulang Kejumudan Hukum Islam”, Resensi buku Ilyas Supena dan M.Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gema Media, 2002), Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA,No. 48/XXVI/II, (2003).
Husaini, Adian, Nurcholish Madjid: Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, (Jakarta: Khairul Bayan Press, 2005).
Adian Husaini, “Pluralisme dan Problema Teologi Kristen,” Islamia Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Thn. 1, No. 4, Januari-Maret 2005, hlm. 27-28.
Jaiz, Hartono Ahmad, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006).
Madjid, Nurcholish, “Beberapa Renungan Tentang kehidupan keagamaan untuk generasi mendatang”, Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 1, Vol. IV, Th. 1993.
Malik, Dedi Djamaluddin dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, Cet. Ke-1, (Bandung: Zaman, 1998).
Mas’udi, Masdar F., “Ide Pembaharuan Cak Nur di Mata Orang Pesantren,” UlumulQur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan , No. 1, Vol. IV, Tahun 1993.
Munawwiruzzaman, “Inklusifisme Monistik, Sebuah Sikap Keberagamaan,” Tesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
Saefurrahmat, “Studi Islam di Indonesia Era Millenium Ketiga”, Jurnal Studi Agama, MILLAH,Vol. II. No. 1, Agustus 2002.
Schuan, Frithjof, Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. Safroedin Bahar dari judul asli, The Transcendental Unity of Religion, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdus, 1987).
Sihab, Alwi, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1997).
Smith, Houston, Agama-agama Manusia, terj. Safroedin Bahar dari judul asli, Religion of Man, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985).
Supena, Ilyas dan M.Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gema Media, 2002).
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1990), hlm. 143. mendatang”, Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 1, Vol. IV, Th. 1993.
Sutrisno, Mudji, “Dialog Antar Agama dalam igura Humanisasi”, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, Tahun 1993.
Tahir, Masnun, Perspektif Baru Fiqih Lintas Agama: Telaah Dekonstruktif terhadap Doktrin Hukum Islam Klasik, makalah disampaikan pada seminar kelas mata kuliah Agama, Budaya dan Sains, Program Doktor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 17 Maret 2007.
Tasrif, Muh.  “Tafsir Islam-Pluralis: Telaah terhadap Tafsir Nurcholish Madjid tentang Pluralisme,” disertasi Doktor pada Program S3 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
Thalib, Muhammad, Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2004).
Thoha, Anis Malik, “Pluralisme Agama: Sebuah Agama Baru”, dalam Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, Cet. Ke-1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. xiii. Lihat juga Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005).
Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama: membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Cet. Ke-7, (Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foudation, 2004).
.Tono, Sidik “Penerapan Hukum Islam di Indonesia: Peluang Konstitusional dan Implementasinya dalam Sistem Hukum Positif di Indonesia”, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial UNISIA, No. 48/XXVI/II (2003).

.



[1] Sidik Tono, “Penerapan Hukum Islam di Indonesia: Peluang Konstitusional dan Implementasinya dalam Sistem Hukum Positif di Indonesia”, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial UNISIA, No. 48/XXVI/II (2003), hlm. 198.
[2] Ilyas Supena dan M.Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gema Media, 2002), hlm.117.
[3] Ibnu Hajar, “Membongkar dan Menata Ulang Kejumudan Hukum Islam”, resensi buku Ilyas Supena dan M.Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gema Media, 2002), Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA,No. 48/XXVI/II, (2003), hlm. 149.
[4] Ibid. hlm. 170.
[5] Mohammad Hasan Bisyri, “Pluralisme Agama dan Klaim Kebenaran,” makalah disampaikan dalam seminar kelas mata kuliah Agama, Budaya dan Sains, Program Doktor UIN Sunan Kalijaga, 2006,  hlm.1.
[6] Saefurrahmat, “Studi Islam di Indonesia Era Millenium Ketiga”, Millah: Jurnal Studi Agama, ,Vol. II. No. 1, Agustus 2002,hlm. 40.
[7] Ulil Absar Abdalla, Membakar Rumah Tuhan: Pergulatan Agama Privat dan Publik, (Bandung: Rosda, 2000), hlm. 158.
[8] Mudji Sutrisno, “Dialog Antar Agama dalam igura Humanisasi”, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 4, Vol. IV, Tahun 1993, hlm. 40-41.
[9] Masdar F. Mas’udi, “Ide Pembaharuan Cak Nur di Mata Orang Pesantren,” UlumulQur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan , No. 1, Vol. IV, Tahun 1993, hlm. 29.
[10] Djohan Effendi, "Kata Pengantar”, dalam Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. xxii-xxiii.
[11] Muh. Tasrif, “Tafsir Islam-Pluralis: Telaah terhadap Tafsir Nurcholish Madjid tentang Pluralisme,” disertasi Doktor pada Program S3 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006, hlm. 2.
[12] Masdar F. Mas’udi, “Ide Pembaharuan., hlm. 30.
[13]  Muh. Tasrif, “ Tafsir Islam Pluralis., hlm. Xxii-xxiii.
[14] Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. xii.
[15] Anis Malik Thoha, “Pluralisme Agama: Sebuah Agama Baru”, dalam Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, Cet. Ke-1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. xiii. Lihat juga Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005), hlm.
[16]  Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Tentang kehidupan keagamaan untuk generasi mendatang”, Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 1, Vol. IV, Th. 1993. hlm. 13.
[17]  Ibid., hlm. 16
[18]  Djohan Effendi, “Kata Pengantar” dalam Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. xxii-xxiii.
[19]  Ibid.
[20]  Masdar F. Mas’udi, “Ide Pembaharuan Cak Nur di mata Orang Pesantren”, Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Peradaban, No. 1, Vol. IV, Th. 1993, hlm. 28-29.
[21] Adian Husaini, Nurcholish Madjid  : Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, (Jakarta: Khairul Bayan Press, 2005).
[22] Munawwiruzzaman, “Inklusifisme Monistik, Sebuah Sikap Keberagamaan,” Tesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
[23]Malik Anis Thoha, “Pluralisme Agama., hlm.xi.  
[24] Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL., hlm. xii.
[25] Muhammad Thalib, Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2004), hlm. 34.
[26] Masnun Tahir, Perspektif Baru Fiqih Lintas Agama: Telaah Dekonstruktif terhadap Doktrin Hukum Islam Klasik, makalah disampaikan pada seminar kelas mata kuliah Agama, Budaya dan Sains, Program Doktor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 17 Maret 2007, hlm.10.
[27] Adian Husaini, “Pluralisme dan Problema Teologi Kristen,” Islamia Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Thn. 1, No. 4, Januari-Maret 2005, hlm. 27-28.
[28]  Frithjof Schuan, Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. Safroedin Bahar dari judul asli, The Transcendental Unity of Religion, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdus, 1987), , hlm. 17.
[29]  Houston Smith, Agama-agama Manusia, terj. Safroedin Bahar dari judul asli, Religion of Man, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), Cet. II, hlm. 101.
[30]  Alwi Sihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 80.
[31] Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama: membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Cet. Ke-7, (Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foudation, 2004), hlm. 167-168.
[32]  Ibid.
[33]  Ibid., hlm. 168.
[34]  Ibid., hlm.170-173.
[35] Dedi Djamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, Cet. Ke-1, (Bandung: Zaman, 1998), hlm. 65.
[36] Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Cet. Ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 24-25.
[37] Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Cet. Ke-2, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), hlm. 142.
[38]  Ibid.
[39]  Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1990), hlm. 143.

0 komentar:

coment after read! and comment with ethic!
habis baca jangan lupa comment! comment dengan etika