FUNDAMENTALISME ISLAM: APA DAN MENGAPA ?FUNDAMENTALISME ISLAM: APA DAN MENGAPA ?


FUNDAMENTALISME ISLAM: APA DAN MENGAPA ?

 Tekan ctrl  + click salah satu iklan untuk lanjut membaca
push ctrl + click one of the banners before continue reading

Pengantar


Fenomena kebangkitan Islam yang disebut dengan berbagai ungkapan seperti al-nahdhah al-Islāmiyyah (Islamic resurgence/ Islamic revival) dan al-shahwah al-Islāmiyyah (Islamic awakening) telah menarik perhatian para sarjana untuk diteliti dan dipahami, khususnya oleh mereka yang berminat pada masalah-masalah perkembangan Islam modern. Saat ini, kajian-kajian tentang perkembangan Islam modern boleh dikata begitu berlimpah ruah, baik yang bersipat sosial empirik ataupun teologis, dan nampaknya akan terus berkembang pesat.
Salah satu tema yang sering ditelaah dan didiskusikan oleh para peminat perkembangan Islam modern adalah apa yang mereka sebut fundamentalisme Islam (Islamic fundamentalism). Tulisan ini akan mendiskusikan beberapa pandangan tentang apa yang disebut sebagai fundamentalisme Islam dan teori-teori tentang mengapa gerakan fundamentalisme ini muncul. Dengan sorotan berbagai pandangan dan teori ini, penulis akan mencoba melihat sekilas tentang fenomena gerakan Islam di Indonesia.

Fundamentalisme, sebuah Cap atau Konsep?   
Istilah "fundamentalisme Islam" adalah istilah kontroversial. Sebagian ahli menerimanya, baik karena alasan bahwa ia merupakan istilah yang pas untuk menjelaskan fenomena gerakan Islam tertentu, atau karena memang istilah ini sudah umum dipakai dimana-mana, terutama dikalangan penulis Barat. Sedangkan sebagian lainnya menolak penggunaan istilah tersebut karena istilah itu adalah "barang impor" yang sama sekali tidak berhubungan dengan fenomena gerakan Islam yang ingin dijelaskannya. Selain itu, kalangan yang menolak ini beralasan bahwa istilah fundamentalisme berkonotasi buruk, terutama karena istilah itu seringkali digunakan oleh pers Barat sebagai label atau cap untuk menggambarkan pencitraan Islam yang keras, fanatik, ekstrim bahkan teroris.
Martin E. Marty dan R. Scott Appleby adalah dua orang sarjana Amerika yang berpendapat bahwa istilah fundamentalisme cukup tepat untuk  menjelaskan  fenomena tertentu dari gerakan keagamaan yang terjadi pada semua agama, termasuk Islam. Dengan ungkapan lain, meskipun istilah fundamentalisme pada mulanya digunakan untuk menjelaskan satu gerakan Protestan di Amerika, namun ada ciri-ciri tertentu dari gerakan itu yang dapat ditemukan pada gerakan-gerakan dalam agama-agama lain diseluruh dunia. Ada semacam family of resemblance, rumpun keserupaan diantara gerakan-gerakan itu. Dua sarjana ini bahkan telah mengedit sebuah buku yang khusus menelaah berbagai fenomena fundamentalisme di seluruh dunia dengan mengumpulkan berbagai tulisan dari para ahli dibidangnya masing-masing (Marty & Appleby, 1991).
Marty dan Appleby menyebutkan beberapa ciri yang ditemukan pada gerakan-gerakan fundamentalisme itu. Salah satu ciri utama dari fundamentalisme adalah bahwa ia merupakan respons terhadap modernitas. Asumsi kaum pencerahan di Barat bahwa agama akan merosot karena dikikis oleh arus deras modernisasi dan pada akhirnya ditinggalkan orang ternyata tidak terjadi atas kalangan fundamentalis. Tantangan modernitas yang bersipat rasional dan positivistik ternyata menimbulkan arus balik yang kuat dari kalangan agama untuk tetap berpegang teguh pada agamanya bahkan menimbulkan penolakan yang keras atas klaim-klaim modernitas. Namun, ini tidak berarti bahwa orang-orang fundamentalis anti terhadap teknologi modern. Mereka bahkan menggunakan teknologi modern seperti televisi, radio, kaset dan internet untuk kegiatan-kegiatan mereka. Kedua, ada upaya untuk bersandar kepada sebuah otoritas absolut. Dalam hal ini, kitab suci dan masa lalu merupakan dua hal yang menjadi sumber otoritas yang absolut tersebut. Ketiga, mereka umumnya melihat kehidupan secara hitam putih, jahat dan baik, malaikat dan setan dan tentu saja, kelompok merekalah yang diyakini tergolong baik sedang orang lain adalah setan, calon-calon penduduk neraka. Keempat, gerakan fundamentalis adalah suatu gerakan pembangunan komunitas (community-building movement) sebagai sebuah reaksi terhadap keterasingan dan ketercerabutan individu dari masyarakat dalam kehidupan modern. Dengan komunitas ini, mereka kemudian menemukan identitas mereka yang telah hilang ditelan modernisasi. Kelima, untuk menegakkan kehidupan ideal yang mereka cita-citakan, kaum fundamentalis selalu berusaha untuk mendapatkan kekuasaan dan karena itu gerakan mereka amat akrab dengan persoalan-persoalan politik (lihat Marty dan Appleby, 1992: 1-35).
Berbeda dengan Marty dan Appleby, Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami (1996), yang meskipun masih menggunakan istilah ‘fundamentalisme’, memberi catatan  bahwa "fundamentalisme Islam" seharusnya dipakai sebagai konsep, bukan sebagai label atau cap yang mendiskreditkan kelompok tertentu dalam Islam. Dua sarjana ini kemudian mencoba menelaah makna asal dari istilah fundamentalisme itu. Menurut mereka—dan ini juga disepakati oleh para ahli lainnya—istilah  fundamentalisme merupakan istilah yang dipakai untuk gerakan Kristen Protestan yang sangat konservatif diawal abad duapuluh lalu. Gerakan ini terutama menolak pandangan evolusi Darwin dan kembali kepada Bible secara harfiyah. Ada dua pandangan dasar yang dikembangkan gerakan ini, yaitu: (1) satu anggapan bahwa kitab suci tidak mengandung kesalahan dan ditafsirkan secara literlik; (2) satu sikap tunduk kepada sejumlah dasar-dasar (fundamentals) ajaran yang membedakan antara orang beriman yang sebenarnya dan yang bukan. Menurut dua sarjana ini, dua ciri ini sulit diterapkan kepada apa yang selama ini dianggap fundamentalisme Islam. Semua orang Islam percaya bahwa al-Qur'an itu otentik, asli dari Tuhan dan semua orang Islam percaya ada lima rukun Islam yang menjadi dasar dari perbedaan antara Islam dan non-Islam. Yang bisa ditemukan dalam Islam adalah penafsiran harfiyah terhadap al-Qur'an. Namun, jika kita lihat tradisi tafsir kaum yang disebut fundamentalis dalam Islam, maka tidak semua mereka menafsirkan Qur'an secara harfiyah, misalnya tafsir Qutb dan Maududi.
Sidahmed dan Ehteshami kemudian menyatakan bahwa fundamentalisme Islam lebih tepat dianalisis berdasarkan tendensi gerakan itu sebagai gerakan politik. Keinginan untuk mendirikan negara Islam dan menerapkan syari'ah dalam kehidupan bernegara merupakan ciri-ciri utama gerakan ini. Ia kadang menyebutnya dengan istilah "Islamisme" (1996, 5-14). Pandangan ini juga didukung oleh Fred Halliday (1994, 93-94), ketika ia mengatakan:
Istilah "kebangkitan" dan "fundamentalis" adalah salah kaprah, karena keduanya merujuk kepada kecenderungan-kecenderungan dalam satu agama. [Gerakan] Islam sekarang ini bukanlah satu kebangkitan kepercayaan agama, melainkan satu penegasan akan relevansi kepercayaan tersebut, yang ditafsirkan secara selektif, dengan politik…Ia melibatkan satu penegasan bahwa, dalam menghadapi ide-ide sekuler dan modern Eropa, nilai-nilai Islam harus memainkan peranan yang dominan dalam politik dan kehidupan sosial dan [nilai-nilai tersebut] harus dapat mendefinisikan identitas orang-orang Islam.

Sebagaimana Sidahmed dan Ehteshami, Halliday lebih sering menggunakan istilah "Islamisme" dan "Islamis" ketimbang "fundamentalisme Islam." Berdasarkan analisis ini, maka dalam pemaparan berikutnya, penulis akan menggunakan istilah “Islamisme” dan “Islamis” sepadan dengan, dan karena itu bergantian dengan, istilah “fundamentalisme Islam” dan “fundamentalis” dalam arti yang dirujuk oleh Halliday. Hal ini sebenarnya juga terjadi dalam bahasa Arab, yaitu penggunaan istilah “ushūliyyah” untuk fundamentalisme dan “al-Ittijāh al-Islāmy” untuk Islamisme (lihat misalnya al-Jabiry: 1995, 105).[1]
Teori-Teori tentang Fundamentalisme Islam
Ada beberapa teori yang dikembangkan oleh para sarjana untuk menjelaskan fenomena fundamentalisme Islam. Teori-teori itu sekurang-kurangnya dapat dikelompokkan kepada tiga: (1) krisis yang diakibatkan oleh modernisasi; (2) pengaruh internasional; (3) dinamika internal umat Islam.
Teori bahwa fundamentalisme lahir disebabkan oleh arus modernisasi yang melanda kehidupan modern cukup banyak dikemukakan para ahli, diantaranya Marty dan Appleby seperti yang telah disinggung diatas. Sikap sebagian masyarakat modern yang menggampangkan tuntunan agama atau kepercayaan yang diajarkan agama telah menimbulkan reaksi balik dari kaum fundamentalis untuk berpegang teguh pada kepercayaan itu, meskipun oleh orang modern dianggap tidak rasional atau tidak ilmiah. Krisis psiko-sosial berupa keterasingan, merasa sepi di tengah keramain, terlepasnya ikatan-ikatan komunal, terkikisnya identitas diri dalam kehidupan modern, semua ini relatif dapat diatasi oleh gerakan komunal fundamentalis yang mengembangkan hubungan hangat dan kekeluargaan bagi semua anggotanya serta menawarkan suatu identitas yang kokoh, yakni berupa identitas keagamaan bagi para aktivisnya. Kadangkala dalam rangka menghindar dari kehidupan modern yang tidak bersahabat itu, fundamentalisme menawarkan obat mujarab berupa idealisasi masa lalu.
Maka dengan menyatukan kembali diri mereka dengan masa lalu yang agung itu, mereka kembali menemukan identitas mereka sebagai Muslim yang agung, yang dalam dunia modern sekular telah tersingkir dan terabaikan. Dari sini mungkin kita mendapat jawaban mengapa segala yang berkaitan dengan masa lalu, masa salaf, masa keagungan Islam dicoba diaktualkan kembali semaksimal mungkin secara harfiah dan lahiriah: jenggot yang lebat, gamis panjang, serban, udeng, kumis yang tipis, siwak, jilbab (hijab), cadar, makan bersama dalam satu bejana dengan tangan telanjang…dan lain-lain (Muzani: 1993, 140).

Teori krisis ini mungkin dapat membantu kita memahami apa yang disebut sebagai fundamentalisme Islam. Namun, teori ini memiliki satu kelemahan penting untuk bisa diterapkan pada Islam. Kembali kepada contoh salaf merupakan salah satu dari doktrin yang dikembangkan oleh gerakan Wahhabi dan karena itu tidak heran beberapa ahli berpendapat bahwa Wahhabisme adalah prototipe fundamentalisme Islam (Rahman: 1981; Voll: 1994,53-56). Jika Wahhabisme adalah fundamentalisme Islam par excellent, maka teori krisis tadi tidak berlaku disebabkan oleh kenyataan bahwa gerakan ini lahir sama sekali bukan karena bersentuhan dengan modernitas melainkan karena kesadaran internal umat Islam akan adanya kemorosotan agama dalam perilaku kaum Muslim sehari-hari (popular religion). Apalagi jika kita melihat lebih jauh bahwa tokoh-tokoh gerakan Wahhabi mengklaim bahwa gerakan mereka adalah suatu kontinuitas dari tradisi Islam yang sudah amat tua, yaitu tradisi yang telah dikembangkan oleh Ahmad Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah (Rahman: 1979, 317; van Bruiensen: 1996, 90). Lebih jauh Rahman mengatakan:
Kesan umum yang ditimbulkan gerakan-gerakan ini terhadap sarjana-sarjana Barat nampaknya adalah bahwa mereka literalis, yakni bahwa mereka menuntut suatu kepercayaan dan ketundukan mutlak kepada makna harfiyah dari kitab suci tanpa interpretasi. Tetapi kita tahu bahwa [gerakan] Revivalisme [baca: fundamentalis] ini mendesak perlunya pemikiran pribadi dan orsinil (ijtihad) dan melarang kepercayaan buta terhadap suatu otoritas (taqlid), sedangkan…fundamentalisme Kristen tidak menuntut ijtihad, tetapi menentangnya

Dengan kata lain, anggapan bahwa fundamentalisme Islam lahir karena serangan pendekatan liberal dan rasional terhadap agama seperti yang terjadi atas agama Kristen, ternyata tidak berlaku. Anjuran yang disampaikan oleh Wahhabisme akan perlunya ijtihad dan menentang taklid buta yang diilhami oleh Ibnu Taimiyah sekurang-kurangnya dapat menggoyang teori krisis akibat modernisasi ini.
Teori lainnya yang mencoba menjelaskan fenomena kebangkitan fundamentalisme Islam adalah satu penjelasan yang berdasarkan pada pengaruh peristiwa-peristiwa internasional terhadap kaum Muslim di dunia. Teori ini terutama berdasarkan kepada asumsi bahwa informasi yang disampaikan media cetak atau eletronik tentang berbagai peristiwa penting yang berkaitan dengan Islam di dunia, sebagiannya telah memperkuat pandangan-pandangan yang dipegang oleh kaum Islamis. Hal ini terutama disebabkan oleh apa yang sekarang disebut sebagai globalisasi, yaitu "berbagai perkembangan dalam teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang begitu cepat yang membuat wilayah yang paling jauh sekalipun mudah terjangkau”  (Ahmed dan Donnan:1994, 1).
Peristiwa-peristiwa yang dirujuk antara lain adalah pembentukan negara Israel tahun 1948 dan kekalahan Arab melawan Israel tahun 1948 dan 1956. Peristiwa ini begitu pahit terasa bukan saja bagi orang-orang Arab, melainkan bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Ia merupakan, bagi kaum Muslim, satu refleksi dari imperialisme Barat (Esposito: 1992, 73-74). Namun kekalahan "Islam" tersebut seolah agak terobati oleh kemenangan Khomeini melawan Syah Iran—penguasa  yang didukung Amerika—dan keberhasilan Khomeini mendirikan Republik Islam Iran tahun 1979. Revolusi Iran telah memberikan inspirasi bagi banyak gerakan Islamis bahwa cita-cita untuk mendirikan negara Islam bukanlah sesuatu yang mustahil diwujudkan dan bahwa sikap Iran yang anti Barat dan kemenangannya merupakan bukti bahwa Islam adalah sandaran yang kokoh untuk menghadapi ‘musuh’ bebuyutan itu. Selain itu, revolusi Iran telah menyentak dunia Islam Sunni bahwa ternyata Islam Syi'ah memiliki kekayaan tradisi yang begitu dinamis yang terus dikembangkan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Maka, tidak sedikit buku-buku karya intelektual Iran yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Islam dan mendapat perhatian dan minat yang tinggi dari kaum Muslim, khususnya generasi muda (van Bruienessen: 1998, 260).
Selain peristiwa revolusi Iran itu, pada tahun 1989 dunia Islam dikejutkan oleh satu karya sastra yang dianggap menghina Islam, yaitu The Satanic Verses karya Salman Rusydie. Konon dia adalah seorang Muslim yang murtad, dan dalam karyanya itu ia mempermainkan kehormatan al-Qur'an, Nabi Muhammad dan isteri-isteri beliau. Buku ini kemudian menimbulkan reaksi balik yang cukup keras dari dunia Islam. Demonstrasi-demonstrasi terjadi dimana-mana menuntut agar buku itu dilarang. Organisasi Konferensi Islam (OKI) bahkan mendesak agar empat puluh lima negara anggotanya melarang buku itu dan membaikot penerbitnya. Khomeini bersikap lebih keras lagi. Pada 14 Pebruari 1989, ia mengeluarkan fatwa bahwa Salman Rusydie halal darahnya karena ia seorang yang murtad dan karena itu Rusydie harus dibunuh (Esposito: 1992, 190-191).
Gegap gempita 'ayat-ayat setan' ini ternyata disusul oleh peristiwa yang lebih dahsyat, yakni perang teluk 1990-1991. Runtuhnya blok Soveit tahun 1989-1990 telah menimbulkan banyak kekhawatiran bahwa Barat akan mencari musuh lainnya, dan itu adalah kaum Muslim. Peristiwa perang teluk setidaknya memperkuat anggapan ini. Saddam Husein yang sebelumnya dikenal sebagai tokoh sosialis sekuler, tiba-tiba berubah menjadi seorang pahlawan Islam yang dipuja dimana-mana. Gerakan-gerakan Islamis umumnya mendukung perlawanan Saddam, sebab Saddam adalah simbol perlawanan Islam melawan ‘iblis’ Amerika. Peristiwa ini juga merupakan peluang bagi gerakan Islamis untuk mengkritik kerajaan-kerajaan di negeri Arab bahwa mereka sesungguhnya tidak islami, dan bahwa mereka hanyalah kaki tangan Amerika (Choueri: 1996, 19-20).
Tentu saja peristiwa-peristiwa internasional tidak cukup kuat untuk menjadi pendorong satu-satunya bagi tumbuhnya gerakan Islamis. Faktor-faktor internal kaum Muslim sendiri, baik yang bersipat sosial ataupun pemikiran, juga ikut memberikan andil yang besar bagi perkembangan fundamentalisme Islam. Fazlur Rahman, misalnya, mengemukakan sebuah analisis menarik tentang mengapa fundamentalisme Islam yang dia sebut neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme tumbuh dalam diri kaum Muslim. Rahman (1979, 315-323) berteori bahwa ada dua perkembangan yang mendahului gerakan neo-revivalisme, yaitu gerakan revivalisme dan modernisme. Gerakan pertama adalah gerakan pembaruan Islam abad ke 18 yang ditokohi terutama oleh Muhammad Ibn Abdil Wahhab. Gerakan ini, sebagaimana telah disinggung diatas, lahir dari kesadaran internal umat Islam akan kemerosotan agama dalam kehidupan masyarakat. Ciri utama gerakan ini adalah pemurnian Islam dari bid'ah dan khurafat serta ajakan kepada ijtihad, yaitu kembali kepada al-Qur'an dan Hadits. Namun ada kelemahan gerakan ini, yaitu, anjuran ijtihad yang dicanangkannya menjadi kurang bertenaga disebabkan sikapnya yang cenderung pada apa yang disebut Rahman sebagai anti-intelektualisme. Meski Ibnu Taimiyah, tokoh klasik yang dijadikan acuan gerakan Wahhabi merupakan seorang yang kritis terhadap fisafat, namun ia adalah seorang teolog yang handal, yang mampu membantah filsafat dengan argumen filosofis. Dengan demikian, Wahhabisme tidak sepenuhnya mewarisi Ibnu Taimiyah dan karena wataknya yang cenderung anti-intelektualisme ini, maka pembaruan yang dicanangkannya kurang dinamis. Karena dengan langkah pemurnian dari disiplin-displin intelektual yang telah dikembangkan pada abad pertengahan Islam, dan hanya membatasi pada studi al-Qur’an dan hadist dengan tanpa mengembangkan metodologi yang jelas bagaimana kedua sumber itu dipahami dalam konteks kekinian, maka gerakan ini kemudian mengalami kekeringan intelektual, melebihi apa yang menimpa kalangan ulama konservatif  yang dikritiknya.
Gerakan kedua yang mendahului neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme adalah gerakan modernisme Islam. Gerakan ini, yang dimotori oleh tokoh semacam Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani sebenarnya sejalan dengan gerakan Wahhabisme yang menganjurkan ijtihad. Namun, mereka mengembangkan ijtihad lebih lanjut kepada hal-hal yang dianggap sebagai masalah-masalah kaum Muslim. Berbeda dengan Wahhabi yang tidak bersentuhan dengan Barat, para tokoh modernisme adalah mereka yang bersentuhan langsung dengan modernitas dan umumnya ikut terlibat dalam perjuangan melawan imperialisme Barat. Karena pengaruh modernitas Barat inilah, mereka kemudian mengembangkan pemikiran-pemikiran yang disatu pihak bernada apologetik dan dipihak lain mencoba mengembangkan nilai-nilai modern melalui penafsiran ulang terhadap Islam. Secara umum, menurut Rahman, ada dua kelemahan modernisme Islam yaitu: (1) ia tidak mengembangkan metode pembaruan yang jelas, dan ini mungkin disebabkan karena kesibukannya berapologi membela Islam ketika berhadapan dengan Barat dan berperan sebagai pembaru ketika berhadapan dengan kaum Muslim; (2) isu-isu yang didengungkan oleh tokoh-tokoh ini sebenarnya adalah isu-isu yang berasal dari Barat, seperti tentang perempuan, rasionalisme dsb. yang membuat mereka terkesan seperti orang yang terbaratkan atau orang-orang yang ingin membaratkan kaum Muslim.
Di tengah-tengah ketidakpuasan terhadap kaum modernis, terutama karena kecenderungan yang terakir pada Barat, maka lahirlah neo-revivalisme alias neo- fundamentalisme. Gerakan ini secara substantif dipengaruhi oleh modernisme, yaitu keyakinan bahwa Islam adalah cara hidup yang total, termasuk bidang-bidang seperti politik, ekonomi dan budaya. Namun, gerakan ini lebih teroganisir daripada gerakan modernisme dan berusaha keras mencari elemen-elemen Islam yang dianggap berlawanan dengan kaum modernis dan Barat pada umumnya. Hal ini karena mereka juga tidak mengembangkan metode ijtihad yang jelas sehingga pembicaraan umumnya berkisar pada soal bunga bank yang dianggap riba, wanita tanpa jilbab, dan program keluarga berencana yang semuanya dianggap dosa berat. Penekanan pada aspek-aspek ini sengaja dilakukan dalam rangka memperjelas identitas gerakan mereka.
Teori lainnya yang mencoba menjelaskan latarbelakang internal umat Islam bagi munculnya gerakan Islamis adalah analisis atas kegagalan-kegagalan berbagai eksperimen pemberlakuan ideologi-ideologi impor di negara-negara kaum Muslim. Hasan Hanafi mengatakan bahwa liberalisme Barat yang kapitalistik pernah dicoba dan ternyata ujungnya adalah kesenjangan yang luar biasa antara yang kaya dan yang miskin, baik kesenjangan material ataupun kesenjangan intelektual. Sementara itu, sosialisme juga dicobaterapkan oleh sebagian bangsa Muslim dan hasilnya tetap saja tidak memuaskan. Hal ini karena ideologi impor ini tidak menyatu dengan bahasa dan tradisi masyarakat sehingga ia hanya berdengung di tingkat elit tanpa partisipasi yang berarti dari massa. Akhirnya, eksperimen Saudi Arabia dengan sistem kerajaannya, juga mengecewakan disebabkan ia telah menjelma menjadi apa yang disebut Hanafi sebagai “ritualisme kesukuan”. Islam telah diletakkan pada lingkaran ibadah mahdhah belaka tanpa ada dimensi sosial, ekonomi ataupun politik. Akibatnya lahirlah fundamentalisme yang menentang semua kegagalan ini dan berslogan: “Islam adalah solusi”. (Hanafi: 1990, 18-22).
Teori lainnya yang juga melihat fundamentalisme Islam “dari dalam” adalah teori yang dikemukakan oleh Ernest Gellner. Menurut Gellner, sekarang ini terjadi pertarungan tiga kecenderungan intelektual yang cukup kuat, yaitu: (1) fundamentalisme agama, (2) relativisme yang dikenal dengan posmodernisme, (3) rasionalisme pencerahan. Fundamentalisme agama merupakan satu pandangan bahwa ada kebenaran mutlak yang hanya didapatkan dalam ajaran agama, sedangkan bagi posmodernisme justeru sebaliknya, yaitu sesungguhnya tidak ada kebenaran, yang ada hanyalah versi tentang kebenaran. Adapun bagi yang terakhir, yaitu rasionalisme pencerahan, kebenaran itu dapat dijangkau oleh manusia yang rasional, namun hanya sebagian atau tidak seluruhnya. Menurut Gellner, kecenderungan fundamentalisme agama sangat kuat pada Islam disebabkan karena Islam memiliki apa yang ia sebut tradisi tinggi (high traditon) dan tradisi rendah (low tradition) (Gellner: 1992, 1-10). Tradisi tinggi adalah Islam yang normatif, Islam yang seharusnya atau Islam yang resmi sebagaimana yang diapahami dan dikembangkan oleh para ulama, sedangkan tradisi rendah adalah Islam dalam praktek, Islam dalam realitas keseharian kaum Muslim. Ada hubungan dialektis yang terus-menerus antara keduanya dalam Islam. Tradisi tinggi, meskipun tidak dapat dilaksanakan dalam waktu tertentu, tetap dan terus akan diperjuangkan untuk dilaksanakan, suatu saat nanti. Tradisi tinggi Islam semakin kokoh disebabkan karena keotentikan al-Qur’an dipercayai oleh kaum Muslim sehingga dengan berpegang kepadanya orang merasa mendapatkan tambatan yang kuat dan memberi kepastian. Maka ketika budaya-budaya lokal, yang merupakan perwujudan tradisi rendah, terancam oleh kemerosotan, kaum Muslim dengan gampang melompat ke arah tradisi tinggi dalam rangka mengatasi krisis yang tengah mereka hadapi. Menurut Gellner, ini merupakan kekuatan yang luar biasa pada Islam sehingga ia mengatakan bahwa “to say that secularization prevails in Islam is not contentious. It is simply false. Islam is as strong now as it was a century ago. In some ways, it is probably much stroger (untuk mengatakan bahwa sekularisasi terjadi dalam Islam bukanlah satu pernyataan yang mengundang pertanyaan. Pernyataan itu jelas salah. Islam masih sama kuatnya dengan ketika ia seabad yang lalu. Dalam beberapa hal, ia bahkan lebih kuat) (Gellner: 1992, 5). Fenomena Islam, lanjut Gellner, membuktikan pada kita bahwa budaya masyarakat tidak bisa hanya memiliki watak yang profan atau yang sakral, tetapi harus kedua-duanya, jika ia ingin terus bertahan. Islam memisahkan dua hal ini sehingga dialektika antara keduanya membuatnya terus dinamis dan bertahan. Sebaliknya, komunisme telah berusaha memepersatukan keduanya dan akibatnya adalah, ketika ia ditinggalkan orang, ia sulit untuk bangkit lagi (Gellner: 1994, xii-xiii; bandingkan Schimmel: 1994, 244-248). 

Gerakan Islam di Indonesia
Jika kita melihat gerakan-gerakan Islam di Indonesia, nampaknya ada beberapa ciri fudamentalisme Islam yang disebutkan oleh para ahli diatas, yang paralel dengan ciri-ciri gerakan tersebut. Meskipun, sebagian dari ciri itu agaknya perlu dimodifikasi dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi keindonesiaan. Misalnya, salah satu ciri dari gerakan Islamis adalah keinginan yang kuat untuk menerapkan hukum syari’at dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau kita kembali kepada sidang Konstituante tahun limapuluhan, maka semua gerakan Islam, yakni NU dan Masyumi berkeinginan menerapkan syari’at Islam di negara ini, khususnya bagi para pemeluk-pemeluk Islam sebagaimana yang dulunya disebutkan oleh Piagam Jakarta. Ini artinya, orang NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-lain adalah gerakan Islam fundamentalis. Apa demikian? Nampaknya tidak sesederhana itu. Ketika Majlis Konstituante dibubarkan, banyak tokoh Masyumi yang tidak terima, bahkan ada yang terlibat pemberontakan PRRI seperti Mohammad Natsir. Namun penolakan Natsir terhadap pembubaran Majlis Konstituante oleh Sukarno itu bukan terutama karena ia ingin memaksakan keinginannya untuk menerapkan syari’at Islam, tapi karena pembahasan sidang itu hampir sampai ke titik kompromi yang draft-nya sudah disiapkan. Dalam draft kompromi itu disebutkan bahwa Pancasila, bukan Piagam Jakarta, yang menjadi dasar negara. Selain itu, sebagai kompromi disebutkan bahwa Islam sebagai agama mayoritas diterima sebagai agama resmi negara. Karena itu, pembubaran Majlis Konstituante oleh Sukarno itu disebut Natsir sebagai “coup perampasan kekuasaan” (Mahendra: 1995, 141).
Kalau dilihat dari sikap NU, maka kita akan menemukan perkembangan yang cukup menarik. Menurut penelitian Andree Feillard, setelah dibubarkannya Majlis Konstituante, orang-orang NU masih getol berusaha agar Piagam Jakarta dapat diberlakukan demi menjamin pelaksanaan hukum Islam bagi kaum Muslim. Perdebatan di media pun sempat hangat di tahun 1967, namun pada tahun 1968 pemerintah Orde Baru mulai bersikap keras menentang tuntutan itu dan akhirnya pembicaraan mengenai Piagam Jakarta perlahan mulai tenggelam. Menurut Feillard, meskipun NU saat itu cukup bersemangat memperjuangkan pemberlakuan Piagam Jakarta, namun nampaknya tidak ada kejelasan konsep tentang apa yang mereka maksud dengan itu. Apa yang terekam dalam media massa saat itu hanyalah bahwa NU menginginkan agar hukum perkawinan Islam diberlakukan, dan agar zakat dijalankan. Mereka juga mengecam sikap pemerintah yang membiarkan pornografi, pelacuran dan minuman keras (Feillard:1997, 48-52).
Meskipun demikian, sikap politik NU yang diwarnai paham Ahlussunnah membuatnya lentur ketika berhadapan dengan tembok kekuasaan yang semakin kuat. Bahkan, dalam perkembangan berikutnya, ketika NU semakin dimarginalkan dari panggung kekuasaan, NU semakin membenahi diri dalam kajian-kajian yang lebih mendalam terhadap pengembangan pemikiran Islam, terutama yang berkaitan dengan masalah hubungan antara agama dan negara dan tentu saja mengenai penerapan syari’ah. NU yang dipimpin oleh Gus Dur sejak tahun delapan puluhan nampaknya cenderung meninggalkan isu Piagam Jakarta itu dan telah mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berusaha mengintegrasikan paham kebangsaan dan paham keislaman. Pada 1 Maret 1992, dalam sebuah Rapat Akbar di Jakarta, NU bahkan menyatakan kesetiaannya pada Pancasila dan UUD 45 (Ramage: 1997; van Bruinessen: 1994, 258-261). [2] 
Mungkin, gerakan Islam yang dapat dianggap fundamentalis par excellent adalah gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo. Gerakan ini jelas berkeinginan mendirikan negara Islam Indonesia dengan memberlakukan hukum syari’ah di dalamnya. Ia dengan tegas menolak dan memberontak terhadap pemerintahan RI yang dianggap sekuler. Awalnya gerakan ini adalah penentangan terhadap kembalinya Divisi Siliwangi ke Jawa Barat tahun 1949. Namun kemudian gerakan ini berkembang menjadi pemberontakan terhadap pemerintah Jakarta sejak tahun 1950, dan mendapat dukungan dari beberapa wilayah di luar Jawa. Pada tahun 1962, para tokoh DI di Jawa Barat menyerah, sedangkan Kahar Muzakkar, tokoh DI di Sulawesi Selatan akhirnya tertembak tahun 1965 (van Brunessen: 1998, 284-285). 
Namun, apakah keinginan mendirikan negara Islam atau menerapkan hukum syari’ah itu masih menjadi keinginan, sekurang-kurangnya sebagian, gerakan-gerakan Islam di Indonesia kontemporer? Untuk menjawab secara tuntas persoalan ini mungkin tidak akan memadai dalam tulisan yang terbatas ini. Namun penulis akan mencoba melihat secara selintas bagaimana perkembangan gerakan Islam, terutama sejak masa Orde Baru hingga sekarang, yakni, bagaimana pola hubungan antara negara dan gerakaran-gerakan tersebut.
Secara umum boleh dikatakan bahwa gerakan Islam adalah gerakan yang marginal dalam pentas kekuasaan di Indonesia, khususnya pada masa Suharto hingga dekade sembilan puluhan. Meski gerakan Islam, terutama NU, terlibat langsung bersama-sama militer dalam menghadapi dan menghabisi komunis di Indonesia pada masa awal lahirnya Orde Baru, namun “jasa” gerakan Islam ini tidak diganjar dengan pembagian kekuasaan antara kaum militer dan gerakan-gerakan kaum Muslim, baik yang dari NU ataupun yang dari Masyumi. Pemerintah Orde Baru kemudian menerapkan kebijakan depolitisasi Islam, satu kebijakan yang dulu diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu memberikan keleluasaan kepada gerakan-gerakan Islam untuk menjalankan dan mengembangkan Islam selama hal itu tidak bersipat gerakan politik. Setiap gerakan Islam yang mengkritik pemerintah akan dicap ekstrim kanan dan anti-Pancasila. Pemerintah Orde Baru lebih didominasi oleh kelompok dengan latarbelakang budaya abangan dan bahkan oleh orang-orang Kristen. Dari segi pengembangan ekonomi, gerakan Islam dan kaum Muslim pada umumnya juga terpinggirkan. Orang-orang Cina keturunan mendominasi perkekonomian nasional, meski jumlah mereka hanya sekitar empat persen dari total penduduk Indonesia. Seorang ahli bahkan menaksir, tiga perempat dari bisnis kelas atas di Jakarta dikuasai warga keturunan Cina (lihat misalnya, Wertheim: 1989; McVey: 1983, Liddle: 1996, 619).
Jadi, umat Islam betul-betul merasa tertekan dan bahkan rasa tertekan dan dipinggirkan itu sempat menimbulkan protes yang berujung pada darah yang mengalir. Salah satu peristiwa ini adalah apa yang terjadi di Tanjung Priok, 12 September 1984. Rasa kekecewaan dan terpukul itu nampak terpantul dari pidato Amir Biki yang diucapkannya menjelang malam yang naas itu:
Saudara-saudara, sore ini hujan turun. Ini isyarat bahwa malam ini, saudara-saudara, mungkin darah akan mengalir. [suara teriak] Apakah kalian siap menghadapi darah yang mengalir saudara-saudara? [siap!]. Penguasa, penguasa kami, dari mimbar ini saya minta kalian untuk membebaskan saudara-saudara kami segera. Kami akan menunggu di mimbar ini sampai pukul sebelas. Jika sampai pukul sebelas malam ini saudara-saudara kami tidak berdiri disini, di tempat ini….

Malam ini kami akan memberi instruksi kepada kalian [suara riuh]. Saya bertanya kepada kalian, apakah kalian siap? [Ya! Suara riuh]. Apakah kalian siap menumpahkan darah kalian? [Ya!]. Insya Allah saudara-saudaraku, kita akan membuktikannya malam ini! [suara riuh] (dikutip dari Kolstad: 1998, 313; 321).

Islam yang “marah”, yang terpantul dari pidato Biki ini kemudian perlahan mulai mereda, sekurang-kurangnya bagi orang-orang tertentu, ketika Suharto kemudian mulai berpaling kepada gerakan Islam diawal tahun sembilan puluhan. Suharto sekeluarga menunaikan ibadah haji, mendukung didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, mendukung pendirian Bank Muamalat dan lain-lain. Perkembangan ini oleh sebagain kaum Muslim dianggap angin segar, namun bagi sebagian lainnya dianggap merupakan “permainan politik” Suharto belaka untuk melanggengkan kekuasaannya. Ia berpaling ke kelompok Islam karena ia merasa dukungan kelompok militer padanya mulai melemah (lihat Hefner: 1993; dan Liddle: 1996).
Lalu, apakah ada gejala-gejala fundamentalisme dalam gerakan-gerakan Islam selama masa Orde Baru itu? Menurut Abdurrahman Wahid, secara sederhana ada dua model strategi gerakan Islam yang berkembang yaitu pertama, mereka yang mengidealkan Islam sebagai satu-satunya sistem yang dapat menegakkan demokrasi dan karena itu diperlukan proses Islamisasi di segala bidang. Yang kedua adalah kelompok yang berpandangan bahwa Islam hanyalah sebagai basis inspiratif bagi pengembangan masyarakat yang demokratis. Jadi Islam bukan satu-satunya alternatif dan karena itu strategi ini terbuka terhadap sistem-sistem sosial lainnya (Wahid: 1990, 24). Dalam tulisannya yang lain, Abdurrahman mengatakan bahwa mereka yang memperjuangkan “Islamisasi” ini umumnya memperjuangkan agar ada ‘perwakilan’ Islam (Islamic representation) dalam pemerintahan dan berupaya untuk melakukan Islamisasi hukum nasional. Ia menyebut gerakan kedua ini “legal-formalis” (Wahid: 1994, 153).
Jika kita memperhatikan apa yang disebut Abdurrahman sebagai kaum “legal-formalis” diatas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa mereka ini dapat digolongkan sebagai gerakan Islamis atau fundamentalis. Lalu, bagaimana eksistensi gerakan ini selama Orde Baru hingga sekarang? Dalam kesempatan terbatas ini, penulis hanya ingin mengemukan satu kasus yang menarik pada tahun 1992-1993, yaitu polemik mengenai pidato Nurcholish Madjid di TIM yang oleh kelompok tertentu pidato tersebut dianggap telah menyimpang dari Islam. Penentangan yang paling keras diturunkan oleh Media Dakwah (MD), sebuah majalah yang diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), satu lembaga yang dipimpin oleh tokoh terkemuka seperti Muhammad Natsir dan Anwar Haryono, meskipun serangan MD pada Cak Nur tidak dapat dianggap sebagai pandangan para tokoh ini karena mereka tidak lagi terlibat langsung dalam pengelolaannya.
Dalam sebuah tulisannya, Saiful Muzani (1993) mencoba melihat serangan MD terhadap Cak Nur dan kawan-kawan sebagai satu gejala fundamentalisme Islam di Indonesia. Muzani beranggapan, pemikiran-pemikiran Nurcholish yang berusaha menekankan aspek universal Islam dan mencari titik temu kemanusiaan bagi berbagai agama dan pemikiran berbenturan dengan pandangan MD, terutama Daud Rasyid yang melihat Islam sebagai sebuah sistem yang utuh dan unik, sebagai satu kebenaran yang tidak dimiliki oleh sistem-sistem lainnya. Perbedaan antara dua pandangan ini, menurut Muzani, sebenarnya sama-sama absah sebagai satu penafsiran terhadap agama Islam. Karena itu, menurutnya, perlu dikaji faktor-faktor lain dibalik pertentangan keras itu. Muzani kemudian mencoba melihat persoalan ini dengan teori kepentingan disatu pihak dan teori krisis modernisasi dipihak lain. Selama Orde Baru, pemerintah menerapkan depolitisasi Islam seperti yang telah dijelaskan diatas. Karena itu, mereka yang berpandangan bahwa Islam sebagai sebuah sistem yang utuh tadi menjadi terpinggirkan, sementara kelompok Cak Nur yang bersikap pluralis dan terbuka lebih sesuai dengan penguasa sehingga gerakan mereka lebih diberi peluang untuk bergerak bebas. Akibatnya, kelompok kedua juga lebih banyak menikmati kue pembangunan ketimbang yang pertama. Selain itu, nampaknya ada kecemburuan sebagian alumni Timur Tengah terhadap para alumni Barat yang lebih mendapat dukungan media dan pemerintah (135-138). Muzani lebih jauh berteori bahwa gerakan Islam sebagai sistem ini banyak didukung oleh para mahasiswa dari perguruan tinggi umum atau yang dikenal dengan “Islam kampus.”[3]  Gerakan-gerakan Islam kampus ini merupakan salah satu cara kaum santri yang berasal dari desa dan keluarga yang taat beragama untuk membangun kembali solidaritas komunal yang telah hilang itu dan mempertahankan kesantrian mereka di tengah-tengah kehidupan sekuler dan “bebas” saat ini. Karena itu, tidak heran kalau mereka kecewa terhadap pemikiran-pemikiran yang berbau sekuler dan inklusif seperti yang dikemukakan Cak Nur, yang dalam batas tertentu dapat memporak-porandakan nilai agama sebagai identitas yang unik, yang menandai gerakan mereka (138-142).[4]
Sejalan dengan Muzani, William Liddle (1993) melihat pertentangan itu sebagai pertentangan antara kelompok Islam substansialis yang diwakili oleh Cak Nur, Gus Dur dkk versus Islam skripturalis yang diwakili oleh para penulis di MD. Apa yang disebut substansialis oleh Liddle tidak lain dari Islam yang terbuka yang diterangkan oleh Muzani dan Gus Dur diatas, sedangkan kaum skripturalis adalah mereka yang mengidealkan Islam sebagai sistem yang utuh, satu pandangan yang paralel dengan Islamisme atau fundamentalisme. Dalam hal ini, Liddle mengatakan: “Bagi para  pemimpin Orde Baru, mengangkat masalah negara Islam atau yang semacamnya adalah sesuatu yang tabu. Tapi bagi MD, ide negara Islam itu tetap hidup, meski diungkap dengan hati-hati” (57). Yang dimaksud dengan “diungkap dengan hati-hati” adalah sebuah laporan utama majalah itu yang memberitakan bagaimana pelaksanaan hukum Islam dan kehidupan kaum Muslim di Malaysia ‘lebih baik’ dari Indonesia, seperti banyaknya perempuan yang berjilbab, ketertiban lalu lintas, sensor film yang ketat, pengawasan bulan puasa oleh para polisi, ada Bank Islam dan Universitas Islam Internasional, kebijakan luar negeri yang anti Amerika dan mendukung Palestina dan lain-lain yang merupakan tanda “kemajuan” Islam di negeri itu. 
Jika kontroversi MD diatas terjadi dimasa Orde Baru, lalu bagaimana dengan masa Reformasi? Setelah Orde Baru jatuh dan masa Reformasi bergulir, gerakan Islamisme nampak kembali menemukan ruang gerak yang cukup leluasa, terutama karena keterbukaan dan kebebasan berbicara yang ada saat ini. Salah satu partai yang mungkin dapat digolongkan kepada Islamisme adalah Partai Bulan Bintang, yang konon para pendukungnya adalah para eks-Masyumi dahulu. Baru-baru ini kita dengar seruan dari Partai Bulan Bintang agar propinsi Kalimantan Selatan menerapkan syari’at Islam. Dalam sebuah wawancara di telivisi, salah seorang pengurus partai ini juga “mengungkit-ngungkit” soal Piagam Jakarta. Namun, kelihatannya masih belum jelas ke arah mana penerapan syari’ah yang dinginkan oleh gerakan ini. Mungkin hal ini karena   sebagian  dari tokoh PBB adalah mereka yang tidak menguasai ilmu keislaman,
meskipun begitu bersemangat memperjuangkan Islam.[5] Selain itu, kalau kita melihat tulisan-tulisan Yusril Ihza Mahendra (1993 dan 1994) tentang Muhammad Natsir dan Abul A’la al-Maududi nampak jelas bahwa dia meletakkan posisi Natsir sebagai seorang modernis yang berbeda sekali dengan Maududi yang fundamentalis, terutama dalam kelenturan sikap politik dan penerimaan terhadap demokrasi yang berasal dari Barat. Dengan kata lain, Natsir sebagai figur utama Masyumi bagi Yusril bukanlah seorang fundamentalis semacam Maududi. Karena itu jika PBB adalah anak kandung Masyumi, dan jika pandangan Yusril yang mewarnai PBB, mungkin partai ini tidak bisa dicap begitu saja sebagai fundamentalis. Namun kalau kita menelaah tulisan tokoh semacam Ahmad Sumargono yang juga tokoh PBB, kita akan menemukan kesan lain yang cenderung ke fundamentalisme. Dalam sebuah tulisannya ia mengatakan:
Untuk negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, konsep negara sekuler sangat cocok…Namun konsep netralitas negara seperti itu akan sangat sulit diterapkan untuk agama Islam. Secara historis, Islam tidak mengalami konflik antara agama dan negara. Islam juga tidak hanya mengajarkan nilai moral, tapi mengajarkan sistem aqidah dan sistem hukum, termasuk hukum bidang tatanegara dan pemerintahan serta ekonomi…Tidak mudah mengubah iman seorang Muslim untuk mengebiri ajaran Islam yang “kaffah”, yang mencakup seluruh aspek kehidupan (Sumargono: 1999).



Penutup
Apa yang penulis kemukakan diatas merupakan gambaran bahwa fenomena gerakan yang bisa digolongkan kepada Islamisme merupakan sesuatu yang kompleks dan dinamis. Sebagai sebuah konsep, istilah fundamentalisme mungkin dapat membantu memahami gerakan tersebut, namun tentu saja tidak bisa merangkul keseluruhan kompleksitasnya. Dengan demikian, adalah naif untuk membuat generalisasi-generalisasi tanpa memperhatikan kekhususan-kekhususan yang melatarbelakangi berbagai gerakan tersebut. Demikian pula teori-teori tentang munculnya gerakan Islamisme, sebagian dapat menjelaskan keadaan yang terjadi di Indonesia, dan sebagain lagi nampak kurang relevan. Hal ini terutama karena gerakan Islamisme itu sendiri tidaklah statis, namun terus berusaha memperbaiki diri dan melakukan introspeksi, seperti misalnya yang terekam dalam buku ‘Abdullah al-Nafīsī (1989).
Alih-alih menganggap gerakan Islamisme atau fundamentalisme Islam sebagai suatu bentuk fanatik buta, adalah lebih baik kalau kita melihatnya sebagai wujud dari sehatnya suatu masyarakat. Ia merupakan wujud dari sebuah kepedulian terhadap agama dan masyarakat, meskipun kepedulian itu kadang dibingkai dalam kerangka fikir yang hitam putih. Dialog antar berbagai gerakan Islam adalah niscaya, agar tindakan saling tuding tidak lagi terjadi. Menurut Armahedi Mahzar, kita memang harus meninggalkan tiga macam kesombongan yang dapat merusak perjuangan Islam: kesombongan intelektual dengan memutlakkan kebenaran pandangan sendiri (absolutisme); kesombongan sosial berupa sikap tertutup dan tidak mau berdialog dengan pihak lain (eksklusifisme); dan terakhir, kesombongan emosional berupa sikap yang fanatik pada pandangan sendiri (fanatisme) (Mahzar, 1993, ix).  


 














 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil-Abshar. 1998. “Kafir, Kuffar dan Beberapa Kekonyolan” Tempo. Desember.

Ahmed, Akbar S. dan Hastings Donnan. 1994. “Islam in the Age of Postmodernity”   dalam buku mereka Islam, Globalization and Postmodernity. London: Routledge. 1-20.

Aziz, Abdul dkk Ed. 1991. Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Choueiri, Youssef. 1996. “The Political Discourse of Contemporary Islamist Movements” dalam Abdel Salam dan Anoushiravan Ehteshami. Ed. Islamic Fundamentalism. Colorado: Westview. 19-33.
 
Edy A., Effendy. 1993. “Pergeseran Orientasi Sikap Keberagamaan di Kampus-kampus ‘Sekular’ Ulumul Qur’an. No. 3 Vol. 4, 12- 17.

Esposito, John L. 1992. The Islamic Threat: Myth or Reality. Oxford: Oxford University Press.

Feillard, Andree. 1997. “Islam Tradisional dan Tentara Dalam Era Orde Baru: sebuah hubungan yang ganjil” dalam Greg Barton dan Greg Fealy. Ed. Tradisonalisme Radikal. Yogyakarta: LKiS. 35-57.

Gelner, Ernest. 1992. Postmodernism, Reason and Religion. London: Routledge.

-------. 1994. “Foreword” dalam Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan Ed. Islam, Globalization and Postmodernity. London: Routledge. xi-xiv.

Halliday, Fred. 1994. “The Politics of Islamic Fundamentalism: Iran, Tunisia and the challenge to the secular state” dalam Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan Ed. Islam, Globalization and Postmodernity. London: Routledge. 91-113.

Hanafi, Hasan. 1990. “Asal-Usul Konservatisme Keagamaan dan Fundamentalisme Islam” Ulumul Qur’an. No. 7 Vol. 3, 18-25

Hefner, Robert W. 1993. “Islam, State and Civil Society: ICMI and the Struggle for the Indonesian Middle Class” Indonesia.

Jabiry, Muhammad ‘Abid. 1990. Hiwār al-Masyriq wa al-Maghrib. Beirut: al-Muassasah al-‘Arabiyyah Li al-Dirāsāt wal-Nasyr.

-------. 1995. al-Dīn wa al-Dawlah wa Tathbīq al-Syarī’ah. Beirut : Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah.

Kolstad, Katherine C. 1998. “Retorika Ketidakpuasan Islam: analisis atas peristiwa Tanjung Priok” dalam Mark R. Woodward Ed. Jalan Baru Islam. Terj. Ihsan Ali Fauzi. Bandung: Mizan. 313-330

Liddle, R. William. 1993. “Skripturalisme Media Dakwah: satu bentuk pemikiran dan aksi politik Islam masa Orde Baru” Ulumul Qur’an. No.3 Vo.4. 53-65.

-------. 1996. “The Islamic Turn in Indonesia: a political explanation” The Journal of Asian Studies No.3 Vol. 55, 613-634.

Mahendra, Yusril Ihza. 1993. “Maududi dan Jama’at-i-Islami: pembentukan dan tujuan partai fundamentalis” Ulumul Qur’an No. 3 Vol. 4, 42-52.

-------. 1994. “Modernisme Islam dan Demokrasi: pandangan politik Muhammad Natsir” Islamika No. 3, 64-73.

-------. 1995. “Combining Activism and Intellectualism: the biography of Muhammad Natsir (1908-1993)” Studia Islamika No. 1 Vol. 2, 111-147.

Mahzar, Armahedi. 1993. “Garaudy dan Fundamentalisme: Pengantar Terjemahan Indonesia” Roger Garaudy. Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya. Terj. Afif Muhammad. Pustaka: Bandung.

Marty, Martin dan R. Scott Appleby. Ed. 1991. Fundamentalism Observed. Chicago; The University of Chicago.

-------. 1992. The Glory and the Power, the fundamentalist challenge to the modern world. Boston: Beacon Press.

McVey, Ruth. 1983.  “Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics” dalam James P. Piscatori Ed. Islam and the Political Process. London: Cambridge University Press, 199-224.

Mujiburrahman. 1999. “Islam and Politics in Indonesia: the political thought of Abdurrahman Wahid” Islam and Christian-Muslim Relations. No. 3 Vo. 10. 339-352.

Muzani, Sauful. 1993. “Dibalik Polemik  ‘Anti-Pembaruan Islam’: memahami gejala ‘fundamentalisme’ Islam” Islamika No. 1, 126-147.

Nafīsī, Abdullah. Ed. 1989. Al-Harakah al-Islāmiyyah: Ru’yah Mustaqbaliyyah. Kairo: Maktabah Madbuly.

Rahman, Fazlur. 1979. “Islam: Challenges and Opportunities” dalam Alford T. Welch dan Pierra Cachia. Ed. Islam: Past Influence and Present Challenge. Edinburgh: Edinburgh University Press. 315-330.

-------. “Roots of Islamic Neo-Fundamentalism” dalam Philip H. Stodddard Ed. Change and the Muslim World. Syracuse: Syracuse University Press.

Ramage, Dougles E. 1997. Politics in Indonesian: Islam and the ideology of tolerance. London: Routledge.

Schimmel, Annemarie. 1994. Deciphering the Signs of God: a phenomenological approach to Islam. New York: SUNY Press.

Sidahmed, Abdel Salam dan Anoushiravan Ehteshami. 1996. “Introduction” dalam buku mereka Islamic Fundamentalism. Colorado: Westview. 1-15.

Sumargono, Ahmad. 1999. “Islam dan Orde Demokrasi Sekuler.” Kompas edisi 25 Juni.

Van Bruinessen, Martin.1996. “Islamic Fundamentalism: something to be understood or to be explained away?” dalam Howard M Federspiel Ed. An Anthology of Islamic Studies II. Montreal: ICIHEP. 88-105.

-------. 1998. Rakyat Kecil, Islam dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

-------.1994. NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LkiS.

Voll, John Obert. 1994. Islam, Continuity and Change in the Modern World. Syracuse: Syracuse University Press.

Wahid, Abdurrahman. 1990. “Indonesia’s Muslim Middle Class: An Imperative Or a Choice?” dalam Richard Tanter dan Kenneth Young Ed. Politics of Middle Class Indonesia. Clayton: Monash University, 21-24.

-------. 1994. “Islam, Politics and Democracy in the 1950s and 1990s” dalam David Bourchier dan John Legge. Ed. Democracy in Indonesia: 1950s and 1990s. Clayton: Monash University, 151-155.

------. 1998. “Fundamentalisme” Media Indonesia edisi 12 Desember.

Wertheim, W.F. 1989, “Indonesian Moslems under Sukarno and Suharto: Majority with Minority Mentality” dalam B.B. Hering Ed. Studies on Indonesian Islam. Townsville: James Cook University, 15-35.



[1] Penggunaan istilah ushūliyyah untuk fundamentalisme dalam bahasa Arab juga merupakan satu hal yang menarik. Dalam sebuah dialog yang telah dibukukan antara Hasan Hanafi dari Mesir dan Muhammad ‘Abid al-Jabiry dari Maroko, ada diskusi menarik tentang istilah ini. Menurut Hanafi, istilah ushūliyyah sebenarnya adalah impor dari luar, yaitu pengaraban dari istilah "fundamentalism" dalam bahasa Inggris. Padahal, menurut Hanafi, istilah ushūl atau ushūly dalam tradisi Islam tak ada kaitannya dengan fundamentalisme, melainkan berkaitan dengan ushūl al-fiqh dan ushūluddīn. Al-Jabiry kemudian memberi tanggapan menarik. Menurut al-Jabiry, kejadiannya justeru terbalik. Pada mulanya yang terjadi adalah orang Barat kesulitan menemukan padanan Inggris untuk istilah salafiyyah, lalu kemudian dalam kesulitan itu mereka menggunakan istilah "fundamentalism." Selanjutnya, istilah itu menjadi populer dan kemudian orang-orang Arab juga membaca buku-buku karya orang Barat tersebut. Akhirnya, istilah fundamentalisme itu oleh orang Arab belakangan dicarikan padanannya, maka muncullah istilah ushūliyyah tersebut (lihat Hanafi dan al-Jabiry: 1990, 23-28).
Ada satu hal lagi yang menarik dan agak ganjil, yaitu cerita dari Abdurrahman Wahid (1998). Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ketika dirinya sebagai Ketua Tanfidziyyah pernah mengadakan pertemuan dengan orang-orang UNICEP. Mereka datang ke kantor PB. NU bersama seorang mantan menteri perhubungan Ethiopia yang saat itu sedang diancam oleh kelompok Islam keras di negeri itu untuk dibunuh. Sang menteri kemudian mundur dari jabatannya dan melarikan diri ke London. Mengapa ia diancam bunuh? Penduduk Ethiopia 55% beragama Islam, namun dikancah politik, Islam sebagai mayoritas tidak mendominasi. Sang menteri sebenarnya diangkat dalam rangka mewakili umat Islam itu. Bagi kelompok garis keras, sikap sang menteri ini tak dapat diterima karena itu berarti kita mau tundukkepada kekuasaan 'non-Islam'.  Akibatnya, sudah tujuhkali percobaan pembunuhan atas dirinya dilakukan, namun untung dia masih selamat.
Orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu kemudian begitu terkejut ketika mantan menteri itu ditanya: "Anda termasuk gerakan Islam yang bagaimana?" Sang mantan menteri menjawab dengan tak terduga, "Saya termasuk Muslim fundamantalis." Setelah ditanya lebih lanjut, ternyata fundamentalisme di Ethiopia berarti gerakan Islam yang berpegang bukan pada formalisme Islam tapi pada makna inspiratif dari Islam sehingga bersipat longgar dan terbuka "selama prinsip-prinsip Islam dihargai pihak lain." Jadi, dalam pengertian ini, fundamentalisme berwatak terbuka dan toleran; satu pengertian yang amat berbeda dengan yang dikampanyekan media Barat!  Selain itu, pengertian ini jelas berbeda dengan apa yang sekarang ini disebut sebagai gerakan “Islamis” seperti yang telah didiskusikan diatas.

[2]Gus Dur sendiri berpandangan bahwa hukum syari’at bisa diterapkan di Indonesia selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Jika terjadi pertentangan, maka kaum Muslim harus mendahulukan kepentingan nasional. Dalam hal ini, Gus Dur beranggapan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam yang dirumuskan ulama (al-maqāshid al-syar’iyyah) sebenarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, dan karena itu tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Untuk lebih rinci, lihat tulisan saya (1999, 339-352).

[3]Untuk penelitian menarik tentang “Islam Kampus” ini, lihat Edy A Effendi (1993) dan Abdul Aziz (1991).
[4]Saiful Muzani mengemukakan sebuah kritik yang cukup mengena terhadap Nurcholish, yaitu bahwa analisis Cak Nur lebih berlatarbelakang Barat ketimbang kondisi tanah air sehingga pemikiran yang ditawarkannya berwatak elitis. Semestinya yang dipikirkan Cak Nur bukan soal keterasingan dan nihilisme, melainkan soal kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang dirasakan kaum Muslim Indonesia saat ini (142).
          
             [5]Salah satu contoh yang menarik adalah pernyataan aktifis PBB Ahmad Sumargono dalam wawancara di majalah Tempo, 23 November 1988 yang diantaranya mengatakan bahwa makna kafir dan kuffar itu berbeda dalam arti yang pertama adalah orang yang hanya tidak percaya pada Islam, sedangkan yang kedua adalah orang yang tidak hanya menolak Islam tapi juga berencana menghancurkan Islam. Jadi jelas, Sumargono tidak paham bahasa Arab (lihat Abdalla: 1998).

0 komentar:

coment after read! and comment with ethic!
habis baca jangan lupa comment! comment dengan etika