RELASI AGAMA DAN SAINS DALAM STUDI ISLA DI PTAI
RELASI
AGAMA DAN SAINS DALAM STUDI ISLAM DI PTAI
No
society can survive without something
Like
science and something like religion:
All
cultures will always need both
science’sconstructs
of the mind
and religion,s “constructs of the heart”.
(Evans
Pritchard)
tekan control + click salah satu iklan sebelu lanjut membaca
Abstraks
Tidak dapat di pungkiri bahwa agama dan sains adalah
dua hal yang semakin memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia.
Perkembangan sains di dunia modern tidak berarti menurunnya pengaruh agama
dalam kehidupan manusia, sebagaimana selama ini diprediksi dalam teori
sekularisasi. Kecenderungan semakin menguatnya agama dan sains menarik
perhatian banyak kalangan, terutama berkenaan dengan hubungan antara keduanya.
Banyaknya pandangan dan doktrin agama yang tampak bertentangan dengan teori
sains modern memungkinkan terjadinya ‘konflik’ antara agama dan sains. Kasus
eksekusi gereja terhadap Galileo pada abad 19 dan perdebatan panjang antara
pendukung teori evolusi dan teori penciptaan menjadi bukti nyata betapa konflik
yang saling menegasikan telah mewarnai hubungan agama dan sains.
Untuk menghindari konflik antara agama dan sains,
banyak kalangan telah berusaha mencari model hubungan yang paling sesuai. Dalam
perkembangan terakhir tealh terjadi “arus baru” pembicaraan tentang agama dan
sains. Usaha pertemuan ini tidak terhenti pada tataran wacana tetapi ditindak
lanjuti pada tataran implementatif. Maraknya tawaran integratif-interkoneksitas
dalam berbagai studi sains dan agama di PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) merupakan bukti nyata dari usaha “penjodohan”
sains dan agama ini.
Keywords: Sains, Agama, Integratif-interkoneksitas, PTAI
I. PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui wacana
tentang agama dewasa ini kembali menjadi menarik dan menjadi obyek kajian para
filosof, sosiolog maupun teolog. Agama yang dalam perspektif positivisme
disetarakan dengan ‘mitos’ dan karenanya sempat diramalkan akan terlibas oleh
kekuatan ‘ideologi’ dan desakan ‘sains-teknologi’, kini justru menunjukkan
kebangkitannya. Di berbagai belahan dunia, studi keagamaan malah semakin
berkembang pesat bersamaan dengan ketika dunia modern semakin membutuhkan
penjelasan yang bersifat ilmiah dari perilaku masyarakat dan kebudayaan mereka.
Studi keagamaan telah menjadi tuntutan modernitas itu sendiri. Pada tahap
selanjutnya, studi keagamaan diciptakan dari perpaduan studi-studi historis,
ilmu perbandingan dan ilmu sosial yang berrpuncak pada filsafat. Dengan cepat
studi keagamaan menghasilkan teori-teori
agama melalui proyek-proyek yang dijalankan di dunia akademik.
Dari berbagai studi keagamaan yang berkembang
dewasa ini, setidaknya ada tiga wacana yang sering diperdebatkan yaitu agama,
budaya dan sains (seperti judul mata kuliah ini). Permasalahan utamanya,
barangkali lebih karena pada setiap era, bahkan di setiap peradaban, ketiga
unsur di atas mempengaruhi proses terbentuknya masyarakat, perkembangannya
bahkan diyakini akan mempengaruhi arah masyarakat dunia masa depan, dengan
metode kerja, intensitas dan sistem yang berbeda. .Sayangnya, antara agama,
budaya dan sains dalam perjalanan sejarahnya belum bisa diakurkan satu sama
lain. Sejarah peradaban eropa telah mencatat suatu era di mana agama (Kristen)
sedemikian mendominasi sehingga terjadi penaklukkan –tidak hanya penjinakan-
terhadap sains dan agama.. Namun jauh sebelum itu terjadi, peradaban Yunani
yang menjadi sumber inspirasi peradaban barat pada masa jayanya menjunjung
tinggi sains melampaui agama dan budaya.
Tulisan ini merupakan refleksi atau catatan-catatan akademis penulis
selama mengikuti perkuliahan Agama, Budaya Dan Sains yang diampu oleh Prof. Dr.H.Amin Abdullah.
Tulisan ini tidak akan membahas hubungan ketiganya (agama, budaya dan sains)
tetapi memfokuskan pada relasi agama dan sains serta kemungkinan pengajarannya
di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) tetapi sebelum membahas ke arah itu akan
dibahas relasi agama dan sains serta bagaimana pandangan masyarakat terhadap
pola relasi itu.
II. PEMBAHASAN
1. Relasi Agama dan Sains
Istilah
religion berasal dari eropa yang diartikan sebagai “a general term to
embrace certain human interests antara lain the world over.” Belakangan
kata ini berevolusi setelah terjadi percampuran dengan persoalan entitas
kemanusiaan dan non-kemanusiaan seperti the sacred, the supernatural, the
self Existent, the Absolute, orang simply, ‘God’. Dalam bahasa Inggris
sendiri diartikan: “the belief in the existentence of a god orang gods.”
Adapun dalam “The Dictionary of Belief”, istilah “religion” di
artikan “a system of beliefe about reality, exixtence, the universe, the
supernatural or the devine and practices
usually arising out of these beliefs.[1]
Proses
peralihan makna religion dari kata kerja menjadi kata benda dimaknai sebagai
himpunan doktrin, ajaran serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini
sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia.[2]
Selanjutnya, istilah agama
sendiri berasal dari bahasa sanskerta. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kata
agama tersusun dari dua kata “a” berarti tidak, dan “gam” artinya pergi, tetap
ditempat, diwarisi turun temurun. Menurut Harun Nasution, agama memang
mempunyai sifat yang demikian. Ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa agama
berarti teks atau kitab suci. Dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci.[3]
Adapun
sains berasal dari kata “science” yang berarti (1) the study and
knowledge or the physical word and its behaviour that Islam based on
exeperience and proven facts and organized into a system (2) “a subject
such as chemistry, physic, or bilogy,” (3) “an organized way orang
making, arranging, or dealing with something.”[4]
Lebih
lanjut Umar, A. Jenie dalam salah satu tulisannya, ketika mendefenisikan arti
sains, mengutip pendapat Laffrey dan Rowe dan Morris. Menurut Laffrey dan Rowe,
sains adalah “any systematic field of
study or body of knowledge that aims, -through exeperiment, observation and
deduction-, to produce reliable expalanation of phenomena with reference to the
material or physical word.”. Adapun
menurut Morris, sains adalah “the
systematic observation of natural events and conditions of order to discover
facts about them and to formulate laws and principles based on these facts”.[5]
Relasi sains dan
agama telah menjadi topik yang cukup hangat dikalangan ilmuwan sejak beberapa
abad yang lalu. Pada mulanya relasi sains dan agama merupakan wacana yang
kontroversial di dunia barat. Akan tetapi kemajuan sains dan teknologi di dunia
barat telah memberikan dampak yang cukup besar bagi masyarakat muslim.
Akibatya, kontroversi antara sains dan agama juga menjadi salah satu isu yang
banyak dibicarakan di kalangan sarjana muslim. Karena, hingga kini masih kuat
anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa “agama” dan “sains” adalah
dua entitas yang tidak bisa
dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri terpisah antara satu
dengan lainnya.[6]
Pertanyaan-pertanyaan
yang sering dimunculkan dalam konteks relasi ini adalah: Apakah sains telah
menyebabkan agama tidak masuk akal lagi secara intelektual? Apakah sains itu
menyingkirkan adanya Tuhan yang personal? Bukankah evolusi menyebabkan seluruh
ide mengenai penyelenggaraan ilahi tidak masuk akal lagi? Dan, bukankah biologi
modern sudah memperlihatkan bahwa hidup dan akal-budi dapat dijelaskan oleh
ilmu kimia dengan akibat bahwa gagasan-gagasan mengenai jiwa dan ruh pun
hanyalah semu belaka? Apakah kita masih harus percaya bahwa dunia ini
diciptakan Tuhan? Atau, bahwa kita berada di sini karena memang benar-benar
dikehendaki oleh sesuatu atau seseorang? Apakah tidak mungkin bahwa semua pola
yang rumit dalam alam ini hanyalah hasil dari suatu peluang yang serba
kebetulan? Dalam zaman yang ditandai dengan kemajuan sains ini, dapatkah kita
secara jujur percaya bahwa alam semesta ini memang mempunyai arah atau tujuan
tertentu?
Pertanyaan-pertanyaan
ini merupakan “masalah sains” dan agama. Bagi agama, keberhasilan gilang
gemilang sains diberbagai aspek kehidupan manusia, terutama sejak zaman
renaisans, sekurang-kurangnya menimbulkan tanggapan yang ambigu: harapan baru
dan juga kekhawatiran baru.
Agama mungkin bisa
mengharapkan sains membersihkan unsur-unsur takhayyul dan mitos yang menyusup,
disadari atau tidak, ke dalam ajaran-ajarannya. Tetapi agama juga khawatir
kalau-kalau sains akan meninggalkannya atau malah meniadakannya. Meskipun
harapan ini tampaknya tidak sepenuhnya terpenuhi, kecemasannya pun untung tidak
terlalu mengkhawatirkan.
Pada realitasnya,
agama menjalin hubungan dengan sains dalam pola yang tidak sederhana. Ada
spektrum yang cukup luas dalam pandangan tentang relasi agama-sains: dari
ekstrim konflik hingga peleburan total. Dalam wacana kontemporer terdapat empat
teori yang diangkat ke panggung perdebatan relasi agama-sains; konflik, kontras
(independen), kontak (dialog) dan konfirmasi (integrasi).
Kubu konfliks
memandang agama dan sains secara instrinsik berlawanan. Keduanya bertarung
untuk saling menyalahkan, bahkan saling meniadakan, dan karena itu tidak
mungkin bisa dipertemukan. Seseorang tidak bisa secara bersamaan mendukung
teori sains dan keyakinan agama. Agama tidak dapat membuktikan kepercayaan dan
pandangannya secara jelas (straight forward), sementara sains bisa.
Sementara itu kaum agamawan berargumen sebaliknya, baginya sains tidak punya
otoritas untuk menjelaskan segala hal yang ada dimuka bumi. Rasio yang dimiliki
oleh manusia sebagai satu-satunya instrumen sains sangatlah terbatas dan
dibatasi. Maka, untuk menjelaskan segala fenomena dan misteri dunia hanya bisa
dipaparkan oleh agama. Model konfrontasi
ini dalam pandangan Barbour diwakili oleh biblical literalism dan
kelompok scientific matererialism. Biblical literalism
berkeyakinan bahwa kitab suci berlaku universal, valid, final dan memberikan
data kebenaran yang tak tebantahkan. Sementara scientific materialialism
berpendirian bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya cara yang tepat untuk
mendapatkan pengetahuan. Golongan ini hanya mempercayai realitas yang nyata dan
bisa dibuktikan secara material.[7]
Lebih lunak dari itu,
kubu kontras (independen) memandang agama dan sains masing-masing memiliki
persoalan, wilayah kerja, metode sendiri-sendiri yang otonom, terpisah dan
absah. Meskipun tidak perlu bertemu (contact), keduanya harus saling
menghormati integritas masing-masing.
Model pemisahan ini disamping didasari oleh keinginan untuk menghindari
konflik antara agama dan sains, adalah juga sebagai konsekuensi dari munculnya
ilmu pengetahuan baru (new knowledge) seperti penjelasan biologis atau
organisme organ.
Langdan Gilhey sebagaimana dikutip Barbour
memberikan perbedaan mendasar antara agama dan sains. 1) Sains menjelaskan data
obyektif umum dan berulang-ulang, sementara agama bercakap tentang eksistensi
tatanan dan keindahan dunia. 2) Sains mengajukan pertanyaan “bagaimana” yang
obyektif, sementara agama mengajukan pertanyaan “mengapa” tentang makna dan
tujuan serta asal mula dan takdir terakhir. 3) Basis otoritas dalam sains
adalah koherensi logis dan kesesuaian ekperimental, sementara otoritas dalam
agama adalah Tuhan atau wahyu. 4) Sains melakukan prediksi kuantitatif yang
dapat diuji secara eksperimental, sementara agama harus menggunakan bahasa
simbolis dan analogis karena Tuhan bersifat transenden.[8]
Model seperti ini
sebenarnya lahir untuk mengakhiri pertentangan sains dan agama. Akan tetapi
sesungguhnya akan mempertajam pertentangan antar keduanya. Sebab kondisinya
berjalan tanpa ada dialog dan kerjasama. Maka jalan alternatif adalah dialog.
Alih-alih menghindari
pertemuan, kubu kontak/dialog menyarankan agama saling bertukar pandangan
dengan sains untuk memperkaya perspektif tentang realitas. Akan tetapi keduanya
tidak mesti bermufakat, apalagi meleburkan diri. Berbeda dengan model
independen yang mengedepankan perbedaan, model dialog ini justru mencari titik
persamaan antara sains dan agama. Kesamaan antara sains dan agama menurut
Barbour bisa terjadi pada kesamaan metodologis dan konsep. Secara metodologis
kebenaran sains tidak selamanya obyektif sebagaimana agama tidak selamanya
subyektif. Sementara secara konseptual keduanya menemukan muara persamaan,
misalnya pada teori komunikasi informasi (communication of information).[9]
Bergerak lebih dari
itu, kubu konfirmasi/integrasi menyarankan agama dan sains agar saling
mengukuhkan, terutama dalam berbagai pandangan tentang anggapan dasar tentang
realitas, tanpa harus kehilangan identitas masing-masing.[10] Model ini adalah paling ideal dalam hubungan
agama dan sains. Pada model ini posisi sains,
dalam bahasa Haught adalah untuk memberikan konfirmasi (baik yang
memperkuat atau mendukung) keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam
semesta.[11]
Secara sepintas,
unifikasi dan konfirmasi antara sains modern dengan dogma agama-agama nampaknya
tidak mungkin dilakukan mengingat kedua domain tersebut berbeda secara
diametral. Dari sudut pandang ontologis, sains memandang realitas sebagai
sesuatu yang bersifat empiris, kalkulatif, dan verifikatif. Sementara itu agama
memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat metafisis, intuitif dan
spekulatif. Mempertemukan dua sudut pandang di dalam suatu kajian ilmiah
berarti sekaligus memposisikan realitas konkrit dan abstrak pada satu wilayah
yang sama.
Sementara
dari sudut pandang epistemologis, konvergensi antara sains dan agama juga
mengalami kendala yang cukup besar. Paradigma sains yang bersifat positivistik,
empiris dan rasional tentu saja tidak sesuai dengan paradigma agama yang
bersifat spiritual, metafisis, dan moral. Meskipun berbeda paradigma, namun
sebagian kalangan ada yang menilai bahwa doktrin agama yang bersumber dari
wahyu jauh lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang
bersumber dari akal dan rasio manusia. Asumsi ini kemudian memberikan
kekuatan-kekuatan bagi agama untuk selalu mengontrol pencapaian-pencapaian
dalam bidang sains dan teknologi. Penemuan-penemuan sains dan teknologi yang
dianggap bertentangan dengan doktrin agama harus dihentikan agar tidak merusak
nilai-nilai kesakralan agama yang benar secara taken for granted.
Penyalahgunaan
otoritas agama untuk mengontrol laju perkembangan sains dan teknologi dapat
berdampak buruk. Wajah buram relasi sains dan agama di abad pertengahan yang
lalu masih selalu membayang-bayangi masyarakat ilmuwan kontemporer. Penggunaan
kuasa kontrol yang terlalu berlebihan dari pihak agama dapat menyebabkan agama
akan ditinggalkan oleh para penganutnya. Sebaliknya, pengembangan sains dan
teknologi yang tidak menghiraukan doktrin-doktrin agama dapat menimbulkan
krisis spiritual dikalangan para ilmuan. Pada terminal inilah kita melihat
adanya persinggungan akrab antara sains dan agama. Ada dua kesimpulan yang bisa ditarik dalam relasi sains dan agama
yaitu:
1.
Perkiraan
metafisis dalam sains dan teknologi seringkali didasarkan pada pandangan agama.
2.
Pandangan
agama sangat efektif dalam memberikan orientasi terhadap penerapan sains dan
teknologi.[12]
Untuk memperkuat
kesimpulan ini perlu mengambil pelajaran pada usaha dan semangat Rolston yang
ingin mendialogkan antara sains dan agama. Sejak awal Rolston telah menegaskan
semangatnya mengkaji sains guna menemukan ruang apakah yang ditinggalkannya
untuk agama. Semangat ini didasarkan pada pengetahuan dan keyakinannya bahwa
sains dalam berbagai manifestasinya, seperti yang sekarang kita kenal
menunjukkan adanya ketidaksempurnaan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
akhir. Dan disitulah, menurut Rolston, interpretasi agama diperlukan sebagai
penyempurna keterbatasan penjelasan sains.
Cara yang digunakan
Rolston adalah dengan mengambil isu-isu representativ sains dan kemudian
mengintegrasikannya dalam sebuah survey yang ia mulai dari matter, lalu
bergerak melalui life, mind, culture, history dan spirit.
Urut-urutan pembahasan ini menunjukkan kemajuan logis serta memberikan kisah
perkembangan dalam dunia, tempat sains dan agama mencoba memberi penilaian.
Alam semesta yang dikisahkan dalam
sejarah dunia serta peran kita di dalam dunia drama tersebut, memunculkan
pertanyaan yang bersifat keagamaan. Bagi Rolstons penggabungan kedua wilayah ini (sains dan agama) merupakan
proses historis yang akan berujung pada pendekatan integratif. [13]
2. Sains Moderen dan Islam
Setelah membahas
relasi sains dan agama secara umum di atas, lalu pertanyaan yang akan
dikemukakan adalah: Bagaimana sains
dalam Islam? Islam mempersilahkan
kepada kecerdasan-kecerdasan manusia untuk mengembangkan sains dan teknologi,
bukankah wahyu yang pertama kali diturunkan adalah isyarat yang paling nyata
bahwa Islam sangat apresiatif terhadap sains?. Menurut Mahdi Ghulsyani bahwa
dalam al-Qur’an terdapat kurang lebih 750 ayat yang mempunyai relevansi dengan
sains dan teknologi.[14]
Karena itu, dalam
Islam sendiri, para ilmuwan tidak menemukan kesulitan untuk menghubungkan alam
ini (sains) dan Tuhan, selain disebabkan oleh adanya al-Qur’an, para ilmuwan
juga sering menganggap bahwa poros utama ilmu pengetahuan modern juga tidak
sedikit yang diwariskan oleh Islam. [15]
Keinginan atau obsesi akan bangkitnya
kembali peradaban Islam secara jujur lahir dari bentuk romantisisme terhadap
sejarah masa lampau. Walau begitu, keinginan itu tentunya sesuatu yang wajar.
Bahkan menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat membangun suatu peradaban
yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Karena itu, catatan sejarah di atas akan
membuat kita lebih bijak dalam melihat ke arah mana kita akan menuju. Satu hal
yang jelas adalah sebuah peradaban baru dapat berdiri kokoh jika berhasil
membangun suatu sistem pengetahuan yang mapan. Bangkitnya peradaban Islam akan
sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang sains melalui prestasi
institusional dan epistemologis menuju pada proses dekonstruksi epistemologi
sains moderen yang memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke
dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai
alat legitimasi agama dan sebaliknya. Ini sejalan dengan gagasan islamisasi
pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh Alatas atau [16]Ismail
Raji Al-faruqi.[17]
Mengapa
masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen? Bukankah sains
moderen telah begitu banyak memberikan manfaat bagi manusia? Pernyataan ini
mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains moderen
membuat kehidupan (sekelompok) manusia menjadi lebih sejahtera. Argumen yang
masuk akal datang dari Sal Restivo yang mengungkap bagaimana sains moderen
adalah sebuah masalah sosial karena lahir dari sistem masyarakat moderen yang
cacat. Secara historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir
sebagai mesin eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik
sains moderen sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup
manusia, dan bahkan kelangsungan hidup bumi beserta isinya. Dalam kondisisi
seperti ini, Islam semestinya dapat menjadi suatu alternatif dalam
mengembangkan sains ke arah yang lebih bijak.
Walau begitu, islamisasi pengetahuan
adalah sebuah proyek ambisius untuk tidak menyebutnya utopia. Proyek islamisasi
pengetahuan yang sarat dengan nilai akan sangat sulit tercapai karena
bertentangan dengan dogma sains moderen yang mengklaim dirinya sebagai “bebas”
nilai sehingga bersifat netral dan universal. Klaim netralitas dan
universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya bermasalah. Netralitas
justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen dari kritik terhadap
berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara universalitas tidak
lebih dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap sistem pengetahuan yang
lain. Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen yang dilakukan beberapa
sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan yang dihasilkannya
selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara sosial, dan tidak pernah lepas
dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan terbesar bagi saintis
muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang islami.
3. STUDI AGAMA DAN SAINS DI PTAI
3. a. Studi Islam di PTAI :Studi Keagamaan atau Studi Ilmiah?
Salah satu dilema yang dihadapi PTAI adalah ketegangan antara tuntutan yang diarahkan kepadanya sebagai lembaga yang menawarkan studi keagamaan disatu pihak dan studi ilmiah di pihak lain. Dalam studi keagamaan, PTAI dituntut untuk mengajarkan agama sebagai kebenaran yang diterima apa adanya (taken for granted) untuk kemudian ditransfer atau didakwahkan kepada masyarakat. Watak studi keagamaan adalah normatif yakni, mengkaji “apa yang seharusnya” menurut agama. Kadang-kadang, ia juga berwatak apologetik, yaitu membela kebenaran agama sendiri dengan menunjukkan “kekurangan” agama lain, atau membela aliran tertentu dalam rangka menjatuhkan aliran lain yang dianggap telah menyimpang dari “kebenaran.” Kelebihan dari studi keagamaan ini adalah bahwa ia dapat memberikan kepastian atau pegangan bagi mereka yang ingin menjalankan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi, jika PTAI hanya berfungsi sebagai
lembaga yang menyajikan agama sebagai sesuatu yang “siap pakai” untuk kemudian
ditransfer ke masyarakat, lalu apa bedanya PTAI dengan Majlis Ta’lim atau
Pondok Pesantren yang juga melaksanakan fungsi yang sama? Disinilah kemudian
PTAI perlu menampilkan dirinya sebagai perguruan tinggi, sebuah lembaga ilmiah
yang mempelajari agama dengan pendekatan ilmiah, yakni pendekatan yang bersifat
rasional, empiris, kritis dan terbuka. Semua aliran dan mazhab akan dipelajari secara
historis-empiris dan dianalisis secara rasional tanpa keharusan memihak salah
satu dari aliran-aliran
tersebut. Tugas seorang ilmuan adalah menyajikan Islam bukan sebagai kebenaran
transenden yang taken for granted, melainkan Islam yang ada dalam
kenyataan, Islam dalam sejarah manusia, baik sejarah pemikiran ataupun sejarah
sosial. Ketika seorang ilmuan mengkaji sebuah karya ulama tertentu, maka kajian
itu bukanlah dalam rangka mencari “pegangan” seperti yang dilakukan oleh studi
keagamaan, melainkan dalam rangka memahami “isi” kitab tersebut dan
menganalsisnya dalam koteks sosial
dimana kitab itu ditulis.
Dengan demikian, studi keagamaan dan studi ilmiah memang berbeda dan
kadang-kadang menimbulkan ketegangan. Ketegangan ini bisa diilustrasikan dengan
pertanyaan seorang mahasiswa setelah ia memperhatikan penjelasan dosennya bahwa
argumen-argumen al-Ghazali yang menolak bahkan mengkafirkan beberapa pendapat
Ibnu Sina disatu pihak dan argumen-argumen Ibnu Rusyd yang membela Ibnu Sina di
pihak lain nampaknya sama-sama kuat. Sang mahasiswa lantas bertanya: “lalu mana
yang kita pegangi?” Pertanyaan itu muncul karena, bagi sang penanya, dalam
perdebatan antara Ghazali dan Ibnu Rusyd itu mestinya sang dosen tidak hanya
menyajikan argumen-argumen dari kedua belah pihak, melainkan juga keputusan
tentang siapa yang paling kuat diantara keduanya untuk dijadikan pegangan.
Selain itu, pertanyaan tersebut juga menunjukkan bahwa kita terbiasa dengan
pola keagamaan yang monolitik sehingga kurang memiliki keberanian untuk
menentukan pilihan ketika berhadapan dengan berbagai alternatif pendapat. Ketegangan ini mungkin juga dapat dilihat
pada kiprah dosen PTAI yang disatu pihak merupakan insan akademis yang dituntut
berfikir dan mengembangkan Islam dalam koridor ilmiah, tapi disisi lain,
masyarakat menuntutnya untuk memberikan bimbingan dan nasehat-nasehat agama
yang berwatak normatif dan umumnya monolitik. Disatu pihak ia dituntut untuk
meneliti dan menulis karya-karya akademis, tapi di pihak lain, masyarakat
meminta dirinya untuk mengisi ceramah dan pengajian dimana-mana, yang meskipun
tidak bertentangan dengan profesi akademisnya, tapi mau tidak mau akan menyita
waktu dan kesempatan baginya untuk lebih mengembangkan studi Islam dalam
kerangka akademis-ilmiah tadi.
Memang tidak mudah untuk menjembatani dua hal ini. Kadang-kadang
penekanan pada sisi yang satu justeru mengorbankan sisi yang lain. Yang ideal
tentu adalah sintesis antara keduanya. PTAI diharapkan dapat menyajikan
kajian-kajian agama yang berwatak ilmiah sekaligus dapat menawarkan
pemikiran-pemikiran segar—atas dasar
hasil-hasil telaah ilmiah itu—yang dapat dijadikan ‘pegangan’ bagi masyarakat.
Tentu ‘pegangan’ disini bukan dalam arti dogmatis, melainkan satu tawaran yang
terbuka untuk dikritik dan menghargai tawaran-tawaran lain yang berbeda. Dengan demikian PTAI tidak akan terjurumus menjadi
menara gading yang hanya menyajikan Islam dalam kerangka ilmiah tanpa
memperhatikan relavansinya bagi kaum Muslim—seperti yang dilakukan oleh
sebagian Orientalis—dan tidak juga jatuh pada sekadar upaya mereproduksi apa
yang telah direkam dalam kitab-kitab klasik karya para ulama masa
lalu—sebagaimana yang dilakukan oleh pondok pesantren—melainkan berusaha untuk
menawarkan pemikiran-pemikiran keislaman yang segar dan sesuai dengan kebutuhan
kekinian untuk mendorong transformasi sosial ke arah yang dicita-citakan Islam.
Dengan ungkapan lain, pemikiran-pemikiran para ulama masa lalu tetap harus
dipelajari dan diapresiasi, namun tidak harus berhenti sampai disitu saja,
melainkan ditingkatkan dengan analisis mengenai problem-problem kekinian yang
dihadapi oleh kaum Muslim untuk kemudian dicarikan alternatif pemecahannya.
3.b. Kearah
Integrasi Sains dan Agama Dalam Studi
PTAI
Sebagaimana
diketahui, bidang ilmu yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
yaitu ulumuddin (usuluddin, syari'ah, tarbiyah, adab dan dakwah). Padahal,
menurut Ibn Khaldun, ilmu dibagi menjadi dua yaitu ilmu naqliyah, ilmu
berdasarkan wahyu dan ilmu aqliyah, ilmu yang berdasarkan logika. Berdasarkan
klasifikasi ilmu semacam ini menjadi jelas bahwa sebetulnya perkembangan ilmu
berjalan sedemikian luas.
Perkembangan budaya dan berbagai
disiplin ilmu dewasa ini membuat segala bidang menjadi terintegrasi.
Batas-batas antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya termasuk
ilmu agama menjadi transparan. Kita tidak perlu mempermasalahkan ilmu agama dan
non-agama, namun bagaimana ilmu tersebut dapat dimanfaatkan untuyk mencapai
suatu tujuan. Hal ini pula yang memunculkan paradigma baru yang melihat bahwa
pembidangan keilmuan selayaknya dikembangkan dalam lingkup yang lebih luas.
Pengembangan
berbagai disiplin ilmu seperti sains dan teknologi, kedokteran, astronomi,
sosiologi, filsafat dan sebagainya di lingkungan PTAI adalah langkah maju untuk
pencerahan dunia pendidikan Islam. Gagasan perubahan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) untuk mengembangkan berbagai
disiplin ilmu bertujuan antara lain menjembatani dikotomi berkepanjangan ilmu
agama dan non-agama, menghilangkan keterasingan ilmu agama dari realitas
kemodernan dan mengembalikan ilmu agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Sebagaimana
diketahui bahwa ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan keberadaan manusia.
Dalam agama Islam, kita yakini bahwa ilmu agama (naqliyah) merupakan
sumber dari ilmu pengetahuan lain karena ilmu agama bersifat mutlak. Ilmu agama
bersifat normatif tekstual dan teological klasik yang meyakini kebenaran
sebagai kebenaran Tuhan dan tidak perlu diragukan lagi.
Berbeda
dengan sains, merupakan ilmu berdasarkan fakta, logika dan mendasarkan
perkembangannya kepada apa yang dilihat, diukur dan dapat dibuktikan. Sains
bersipat positivis, empiris dan rasional. Sains berpijak pada rasio manusia
pada saat itu sehingga kebenarannya bersifat relativ. Baik ilmu agama maupun
sains berkembang mempunyai tujuan sama yaitu meningkatkan harkat dan martabat
manusia.
Pendidikan modern memang mengembangkan disiplin
ilmu dengan spesialisasi secara ketat, sehingga
keterpaduan diantara ilmu yang satu dengan yang lainnya menjadi hilang,
dan melahirkan dikotomi kelompok ilmu-ilmu
agama di satu pihak dan kelompok sains
di pihak yang lain. Dikotomi itu berimplikasi pada terbentuknya
perbedaan sikap di kalangan umat Islam secara tajam terhadap kedua kelompok
ilmu tersebut. Ilmu-ilmu agama disikapi dan diperlakukan sebagai ilmu Allah SWT
yang bersifat sakral dan wajib untuk dipelajari. Sebaliknya, kelompok ilmu-ilmu
sains (kealaman dan sosial) disikapi dan diperlakukan sebagai ilmu manusia yang
bersifat profan dan tidak wajib untuk
dipelajari. Akibatnya, terjadi reduksi ilmu agama dan dalam waktu yang sama
juga terjadi pendangkalan ilmu pengetahuan. Situasi seperti ini membawa dampak
pada ilmu-ilmu agama menjadi tidak menarik
karena terlepas dari kehidupan nyata, sementara sains berkembangan tanpa
sentuhan etika dan spiritualitas agama, sehingga disamping kehilangan makna
juga bersifat destruktif.
PTAI harus
mengembangkan pendidikan yang berperspektif Qur’ani, yakni pendidikan yang utuh
menyentuh seluruh domain yang disebut Allah SWT dalam kitab suci tersebut
secara sistemik yang dikembangkan melalui konsep iman, ilmu dan amal dalam satu
tarikan nafas dengan rajutan atau anyaman yang terhubungkan antara yang satu
dan lainnya secara integratif.
Pengembangan kualitas PTAI dengan mengintegrasikan
antara sains dan agama adalah dalam kerangka meningkatkan kualitas SDM (umat
Islam) termasuk di Indonesia. Kenyataan bahwa Indonesia
adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia selalu dikaitkan
dengan harapan akan bangkitnya Islam di negara ini. Fakta kuantitatif ini
sayangnya belum cukup bagi kita untuk bersikap optimis. Kendala besar bagi
cita-cita tersebut ada pada dua sisi. Sisi pertama adalah masih lemahnya
tradisi ilmiah di Indonesia.
Walaupun Indonesia
memiliki perguruan tinggi yang cukup berkualitas, kegiatan ilmiah yang sehat,
khususnya dalam bidang sains, dalam menghasilkan pengetahuan yang orisinil
masih jauh dari harapan. Kondisi ini menjadi lebih lemah lagi karena
terpisahnya sains dan filsafat dalam wacana akademik. Masuknya sains dalam
kategori ilmu eksakta sementara filsafat sebagai ilmu non-eksakta adalah
indikasinya. Padahal kategori eksakta dan non-eksakta tersebut bersifat ilusif.
Ini menyebabkan tidak terbentuknya suatu tradisi filsafat kritik sains yang
mapan, dan sebaliknya, sains berjalan sendiri seolah-olah dia bersifat otonom.
Pada sisi
kedua, merujuk pada tesis Nurcholish Majid, satu kenyataan bahwa masyarakat
Islam di Indonesia tidak mewarisi tradisi intelektual peradaban Islam ketika
masa keemasan. Islam muncul di Indonesia
justru ketika tradisi intelektual Islam sedang mengalami penurunan di tempat
asalnya sehingga tradisi intelektual tersebut tidak sempat terserap dalam
sistem sosial dan kebudayaan. Disamping itu, salah satu syarat tumbuhnya
tradisi intelektual adalah adanya sikap keterbukaan atau inklusivitas karena
suatu sistem pengetahuan baru dapat terbentuk dengan baik jika berada dalam
sistem sosial yang menghargai perbedaan dan keberagaman pemikiran. Hal ini
menjadi isu penting mengingat masih kuatnya eksklusivitas di berbagai lapisan
masyarakat Islam di Indonesia.[18]
Lalu apa
yang harus dilakukan para pengelola PTAI dalam mengintegrasikan sains dan
agama?. Era globalisasi menuntut institusi pendidikan termasuk PTAI mampu
bersaing secara sehat di antara lembaga sejenis. Karena itu perlunya suatu lembaga
pendidikan menerapkan “mekanisme alokasi posisional”. PTAI (STAIN,
IAIN,UIN,PTAIS) yang biasanya membuka jurusan agama an sich sudah waktunya
memulai menyelenggarakan jurusan-jurusan lain atau umum seperti sains, ekonomi,
maupun perbankan.
Pembukaan
jurusan-jurusan umum atau sains di PTAI harus diiringi dengan penataan ulang
praktik pendidikan Islam di PTAI. Sebagaimana kita ketahuui bila kita melihat
praktek pendidikan Islam yang ada di Indonesia akan nampak beberapa hal.
Pertama, pendidikan hanya menekankan pada kemampuan nalar. Pendidikan
seharusnya lebih dari sekedar transfer of knowledge, tapi juga transfer
of technology dan transfer of value. Kedua, masih kuatnya pemisahan
atau dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Hal ini sudah lama
disadari oleh banyak kalangan pendidikan dan pemikir pendidikan Islam, tapi
untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu tersebut bukan berarti tanpa halangan.
Seharusnya ilmu-ilmu tersebut harus saling melengkapi demi tujuan kesejahteraan
manusia di muka bumi. Padahal, sebagaimana diketahui bahwa dalam kehidupan
senyatanya umat manusia, keduanya tidak dapat dipisahkan sama sekali.
Pergerakan, kemajuan, kemunduran dan temuan-temuan dalam sains akan berpengaruh
dalam kehidupan beragama dan begitu juga agama-agama yang tidak bersenrtuhan
dengan sains (termasuk ilmu-ilmu sosial dan humaniora) juga akan kehilangan
nuansa, daya pikat, daya tarik dan relevansinya dengan kehidupan nyata.
Keduanya saling terhubung, terinkoneksi sedemikian rupa. Jembatan hanya
mencerminkan sisa-sisa ketegangan masa lalu. Dalam era sekarang ini, dikotomi
yang rigid seperti itu tidak menolong dan tidak mendidik. Perlu
dirumuskan dan dipikirkan ulang bahwa di dalam yang transenden, ada juga unsur
immanent-nya disitu dan begitu sebaliknya. Dalam setiap apa yang dianggap
“religius”, sekaligus lengket di situ sisi “sekulernya” dan setiap yang
diklaim sebagai wilayah “sains”, juga
ada “religiositas”-nya, serta begitu sebaliknya.[19]
Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah kurikulum. Kurikulum yang akan diterapkan di
PTAI harus menggunakan pendekatan
integratif interkonektif yaitu pendekatan yang menempatkan wilayah agama
dan sains, serta antar ilmu saling menyapa satu dengan yang lainnya sehingga
menjadi satu bangunan utuh. Tidak ada dikotomi sains dan agama. Begitu juga
tidak ada dikotomi antara ilmu-ilmu qauliyah/hadarah al-nash (ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan teks keagamaan) dengan ilmu-ilmu kauniyah
ijtima’iyyah/hadarah al-ilm( ilmu-ilmu kealamana dan kemasyarakatan) maupun
hadarah al-falsafah (ilmu-ilmu etika kefilsafatan). Wilayah keilmuan
tersebut tidak dikaji secara parsial melainkan dikaji secara integratif dan
interkonektif atau saling berhubungan satu dengan lainnya.
Ada berbagai
peluang ke arah interaksi sehat antara ilmu dan agama dalam kurikulum PTAI.
Peluang-peluang itu ada misalnya terutama dalam mata kuliah umum (MKU),
kegiatan kokurikuler atau ekstrakorikuler. Dalam konteks ini, beberapa mata
kuliah penting yang bisa menjadi MKU adalah fenomenologi agama, etika, logika,
estetika, multikulturalisme dan filsafat.
Analisis Rolston, Ian G.Barbour dan John. F. Haught tentang
upaya pengembangan dialog maupun integrasi antara agama dan sains, dapat
memperkaya dan menjadi bahan studi perbandingan terhadap teori seperti Ismalization
of knowledge ala Faruqian dan Naquibian, scientification of Islam
model Fazlurrahman, Spirituality of Science tawaran S.H. Nasr. Tawaran
mereka sudah sepantasnya menjadi kurikulum atau bahan ajar di PTAI dalam
melengkapi kajian sains dengan berpendekatan integratif interkoneksitas.
Seperti dalam karya Rolston, dalam mendialogkan antara sains dan agama,
pendekatan Rolston berujung pada integratif. Hal ini dapat pada bagian terakhir
dari tesisnya Rolston, Nature, History and God. Hanya saja pada bab-bab
sebelumnya tesisnya lebih banyak menyelami kewilayah sains, maka di bagian
akhir, Rolston tampak banyak memperhatikan aspek teologis yang merupakan
wilayah agama.
PENUTUP
Sains dan agama memang memiliki
perbedaan metodologis dan perbedaan klaim sehingga ungkapan formula serta
karakter yang muncul juga berbeda. Pesan agama cenderung mengajak orang untuik
return, yaitu menengok dan kembali ke belakang kepada Tuhan, sementara sains
cenderung research yaitu melangkah ke depan dan menatap alam sebagai yang
berada di depan dan selalu mengajak untuk difahami. Oleh karena itu, ketika
sains dilihat dan diyakini sebagai ideologi kartena sebagian masyarakat merasa
cukup menyelesaikan problem kehidupan melalui jasa sains, maka pada saat itu
sains telah berdiri sejajar sebagai rival agama.. Akan tetapi jika sains
dipandang sebagai fasilitator teknis dan metode penafsiran terhadap alam raya,
masa sains dapat diposisikan sebagai salah satu medium dan ekspresi agama.
Integrasi sains dan agama dapat
dilakukan dengan mengambil inti filosofis ilmu-ilmu keagamaan fundamental Islam
sebagaui paradigma sains masa depan. Inti fiosofis itu adalah adanya hierarki
epistemologis, aksiologis, kosmologis, dan teologis yang berkesesuaian dengan
hierarki integralisme: materi, energi, informasi, nilai-nilai dan sumber.
Proses integrasi ini dapat dianggap sebagai bagian dari proses Islamisasi
peradaban masa depan. Dengan demikian, jika dapat melakukan hal ini, ia dapat
menjadi simpul dalam jala-jala kebangkitan peradaban Islam di masa depan,
menerima kembali sains sebagai si anak hilang untuk dikembangkan ke arah islami
yang lebih konstruktif, produktif dan harmonis bersaing dengan
universitas-universitas umum untuk menjadi center of exellence.
Sebagai penutup, apa yang diuraikan di
atas adalah suatu bentuk kepedulian terhadap Islam dan sains di Indonesia
yang patut mendapat perhatian publik secara terus menerus untuk membangkitan
semangat dan tradisi kritik sains sekaligus kritik bagi masyarakat Islam di
Indonesia. Dan karenanya studi relasi antar sains dan Islam seharusnya menjadi
agenda penting, baik dalam tradisi filsafat Islam maupun dalam wacana sains di
level teoritis maupun praksis
DAFTAR PUSTAKA
Chairil Anwar, “Kontribusi Islam
Terhadap Pengembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi”, dalam Unisia, No.
24 Tahun XIV Triwulan 4- 1994.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985).
Holmes Rolston, Science and Religion, A.
Critical Survey (New York: Random Hause, 1987)
Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama . terj. E.R. Muhammad (Bandung:
Mizan, 2004),
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan
Agama: Dari Konflik ke Dialog, terj. Fransiskus Borgias . (Bandung: Mizan, 2005),
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas:
Moralitas Agama dan Krisis Modernisme
(Jakarta: Paramadina, 1995).
Mahdi Ghulsyani, Filsafat
Sains menurut Al-Qur’an, terj.Agus Effendi (Bandung: Mizan, 1998),
Michael Rundell (et.al) (ed). Macmillan
English Dictionary, For Advanced Leraners: International Student Edition (Oxford: Macmillan Publisher
Limited, 2002).
M.Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan
Integratif Interkonektif (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006)
M.Amin Abdullah, Kata Pengantar dalam Peters dan Gaymon Bennet
(penyunting), Menjembatani Sains dan Agama (Jakarta: Gunung Mulia, 2004)
Muhammad Imaduddin Abdulrahim, “
Sains dalam Perspektif Al-Qur’an”, dalam Ahmad Syafi’ilmu Maarif & Said
tuhuleley (Penyunting), Al-Qur’an Dan Tantangan Modernitas (Yogyakarta:
SIPRESS, 1996).
Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:
Yayasan Paramadina,1992)
Umar A. Jenie, “Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi dalam Perspektif Pemikiran Islam,” Makalah disampaikan dalam Seminar
Pengembangan IAIN Sunan Kalijaga” Reintegrasi Epistemologi Pengembangan
Keilmuan di IAIN, “ Yogyakarta, 18-19 September 2002.
Ulumul Qur’an No. 2 Vol. 5 Tahun 1994.
Zainal Abidin Bagir dkk (editor), Integrasi Ilmu dan Agama (Bandung: Mizan, CRCS dan
SUKA Press, 2005)
[1] Michael Rundell (et.al) (ed). Macmillan English Dictionary, For
Advanced Leraners: International Student Edition (Oxford: Macmillan Publisher Limited, 2002), hlm. 1194
[2] Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme (Jakarta:
Paramadina, 1995), hlm. 61.
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
(Jakarta: UI Press, 1985),I, hlm.9.
[4]Michael Rundell (et.al) (ed). Macmillan English Dictionary, For
Advanced Leraners: International Student Edition (Oxford: Macmillan Publisher Limited, 2002), hlm. 1268.
[5] Umar A. Jenie, “Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif
Pemikiran Islam,” Makalah disampaikan dalam Seminar Pengembangan IAIN Sunan
Kalijaga” Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan di IAIN, “ Yogyakarta,
18-19 September 2002, hlm. 2.
[6] M.Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan
Integratif Interkonektif (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 92
[7] John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke
Dialog, terj. Fransiskus Borgias
. (Bandung: Mizan, 2005), hlm.2-6. Lihat juga Ian G.
Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara
Sains dan Agama . terj. E.R. Muhammad. (Bandung: Mizan, 2004), hlm 54-65.
[8] Ian G. Barbour, Juru
Bicara…, hlm.57
[9] Ibid., hlm.78-82.
[10] John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke
Dialog, terj. Fransiskus Borgias
. (Bandung: Mizan, 2005), hlm.1-2. Lihat juga Ian G.
Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara
Sains dan Agama . terj. E.R. Muhammad. (Bandung: Mizan, 2004), hlm 40-42.
[11] John F. Haught, Perjumpaan.., hlm. 24.
[12] Bandingkan dengan Bambang Sugiharto, “Ilmu dan Agama dalam
Kurikulum Perguruan Tinggi” dalam Zainal Abidin Bagir dkk (editor), Integrasi
Ilmu dan Agama (Bandung: Mizan, CRCS dan SUKA Press, 2005), hlm.39-52.
[13] Holmes Rolston, Science and Religion, A. Critical Survey
(New York: Random Hause, 1987), hlm. 298.
[14] Mahdi Ghulsyani, Filsafat
Sains menurut Al-Qur’an, terj.Agus Effendi (Bandung: Mizan, 1998), hlm.39.
Baca Juga Chairil Anwar, “Kontribusi Islam Terhadap Pengembangan Ilmu
pengetahuan dan teknologi”, dalam Unisia, No. 24 Tahun XIV Triwulan 4-
1994, hlm.33-39.
[15] Lihat Muhammad Imaduddin Abdulrahim, “ Sains
dalam Perspektif Al-Qur’an”, juga Suprojo Pusposutarjo, “ Posisi Al-Qur’an
terhadap Ilmu dan Teknologi” dalam Ahmad Syafi’ilmu Maarif & Said tuhuleley
(Penyunting), Al-Qur’an Dan Tantangan Modernitas (Yogyakarta: SIPRESS,
1996), hlm.29-44.
[16] Konsep dasar Islamisasi Ilmu Pengetahuan ala Alatas bisa dibaca
misalnya dalam bukunya Islam & Secularism. Bagi Alatas misalnya,
Islamisasi ilmu pengetahuan mengacu pada upaya mengeliminir unsur-unsur serta
konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban barat, khususnya
dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah
cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan
kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan
terhadapnya. Dalam bahasa lain, Islamisasi Ilmu Pengetahuan ala Alatas dapat
ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan
ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Lihat Syed Farid Alatas, “Agama dan
Ilmu-ilmu Sosial”’ Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an No. 2 Vol. 5
Tahun 1994.
[17] Menurut Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dimaknai
sebagai upaya pengintegrasian disiplin-disiplin ilmu modern dengan kazanah
warisan Islam. Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh
disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai tingkatan
tertinggi yang ditawarkannya. Dalam deskripsi yang lebih jelas, Islamisasi Ilmu
Pengetahuan Menurut Ismail Raji Al-Faruqi adalah “upaya mewujudkan
prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, strateginya, dan dalam apa yang dikatakan sebagai data-data,
problemnya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya”.
[18] Nurcholish Madjid, Islam:
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Paramadina,1992), hlm. 57.
[19] M.Amin Abdullah, Kata Pengantar dalam Peters dan Gaymon Bennet
(penyunting), Menjembatani Sains dan Agama (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hlm.xii
0 komentar:
coment after read! and comment with ethic!
habis baca jangan lupa comment! comment dengan etika