KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP
HAK-HAK
PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN
(Studi Banding Atas Hukum
Keluarga Syiria dan Tunisia)
Oleh:
Masnun Tahir, M.Ag
Tekan ctrl + click salah satu iklan untuk lanjut membaca
push ctrl + click on of the banners before continue reading
push ctrl + click on of the banners before continue reading
Abstraksi
Tulisan ini membahas masalah
kebijakan negara terutama Syiria dan Tunisia tentang hak-hak perempuan
dalam perkawinan. Pengambilan tema ini didasari oleh realitas yang berkembang
bahwa wacana tentang hak-hak perempuan masih saja menyisakan persoalan apalagi
berhadapan dengan teks-teks klasik, yang harus diakui juga masih sangat
maskulin. Begitu juga substansi tema dalam tulisan yaitu tentang hak-hak
perempuan (nafkah, perceraian, dan kasus poligami) ini merujuk pada permasalahan-permasalahan
yang sering melahirkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jika tidak dipahami
secara substanstif. Kenapa Syiria dan Tunisia?, dalam pengamatan terbatas penulis
kedua negara ini dalam mengeluarkan
legislasi tentang hukum keluarga sudah mengalami keberanjakan dari
doktrin-doktrin hukum Islam klasik, sebuah terobosan dan pengalaman yang bisa
dijadikan contoh bagi negara-negara muslim
--termasuk Indonesia--dalam
rangka mengangkat harkat dan martabat kaum hawa itu. Tulisan ini di mulai
dengan pendahuluan yang mengupas potret sedih perempuan di bawah kekuasaan
laki-laki dengan segala resikonya. Hal ini yang melahirkan pemberontakan dan
keinginan untuk melakukan reformasi hukum terutama di Syiria dan Tunisia.
Sebelum berbicara tentang substansi reformasi hukum keluarga di kedua negara
tersebut, pembahasan tentang kondisi sosial geografis dan politis kedua negara
tersebut juga di bahas. Kemudian dilanjutkan dengan perkembangan dhukum
keluarga di kedua negara tersebut.
Setelah pembahasan substansi-substansi reformasi hukum keluarga baru
analisis dengan menggunakan perbandingan dengan kitab klasik dan maslahat
ammah. Tulisan ini ditutup dengan berbagai kesimpulan dan rekomendasi.
Diharapkan dengan pembahasan ini akan menjadi rujukan dan referensi para
penggiat hukum Islam dan pengambil kebijakan hukum di negara kita untuk
menghasilkan produk hukum keluarga yang sensitif dan berkeadilan gender. Kalau
ini bisa dilakukan, penulis yakin tidak
ada lagi diskriminasi atas nama apapun termasuk atas nama Tuhan, karena Tuhan
mengajarkan al-musawah (egaliterianisme) di antara makhluknya. Dan tidak ada
salahnya kalau mengambil contoh yang positif walaupun sampai negeri Seberang
seperti Syiria dan Tunisia
sebagaimana yang menjadi pembahasan tulisan ini.
A.
Pendahuluan
Diskursus tentang hak-hak perempuan telah muncul sebagai masalah
yang sangat penting di eluruh dunia dan di segala kelompok masyarakat.
Alasannya jelas selama ribuan tahun perempuan terus menerus berada di bawah
kekuasaan laki-laki dalam suatu mayarakat patriarchal.
Demikianlah, selama berabad-abad “hukum alam” ini menetapkan perempuan sebagai
komunitas kelompok kelas dua (the second
rate communities) secara sosial, lebih rendah dari laki-laki dan harus
tunduk kepada kekuasaan laki-laki dan hegemoni mereka demi kelancaran dan
kelestarian kehidupan keluarga.
Harus diingat bahwa kitab-kitab suci agama pun tidak dapat
menghindarkan diri dari menganut sikap serupa, walaupun sebagian di antaranya
memberikan beberapa norma untuk mengatasinya. Konstruksi dan rekayasa sosial
terebut sangat meluas sehingga norma-norma kitab suci yang progresif pun
menjadi terpengaruh dan, sebagai akibatnya, diinterpretasikan sedemikian rupa
sehingga merefleksikan sikap mental yang berlaku. Demikianlaj, mayarakat yang
didominasi laki-laki serigkali bahkan mngekang norma-norma yang adil dan
egaliter yang dipersembahkan untuk kaum perempuan dalam al-Qur’an demi mengekalkan
kekuasaan mereka, yang secara komparatif bersikap liberal dalam perlakuannya
terhadap perempuan, juga mngelami nasib yang sama.[2]
Namun cerita sejarah tak berakhir di sini, awal abad XX M merupakan
babakan baru bagi dunia Islam. Fase ini ditandai dengan lepasnya satu persatu
negara Islam dari hegemoni dan imperialisme Barat. Sambil mnghirup udara segar
(setelah lama beradadalam simponi penjajahan).[3]
Negara-negara Islam yang baru ini membenahi diri dan mencoba memproduksi dan
mereformasi berbagai konstitusi dan Undang-undang yang mengatur kehidupan
bernegara, termauk pada hukum keluarga.
Dalam reformasi ini, upaya terfokus pada masalah status personal,
yang masih diatur oleh hukum Islam. Mayoritas pemerintah negara muslim
menjalankan versi hukum keluarga yang sudah dikodifikasi. Sebagian versi itu
menyimpang secara dramatis dan doktrin mazhab hukum yang telah mapan. Untuk
mengurangi keberatan kaum konservatif, reformasi sering dilakukan secara tak
langsung melalui jalur prosedural. Sebagai contoh, hukum baru yang menuntut
persyaratan bahwa pernikahan harus dicatat agar sah secara hukum, dan bahwa
pasangan harus sudah mencapai usia minimum tertentu, adalah untuk menghalangi
pernikahan dini dan perkawinan paksa. Untuk mencegah poligami dan perceraian oleh
suami, pemerintah negara muslim mensyaratkan agar perkawinan dan perceraian
tunduk pada formalitas birokratis dan kondisi tertentu. Motor pengerak
reformasi hukum keluarga adalah Turki, ketika Negara itu menerbitkan ‘Ottoman Law of Family Rights (Qanun Qarar
al-Huquq al-‘Uthmaniah)” kemudian diikuti negara lain seperti Tunisia, Mesir, yiria, Sudan dan sebagainya. Dan dalam
sejarah reformasi ini, Tunisia tercatat sebagai negara
yang paling radikal di dalam bangunan hukumnya. Undang-undang hukum keluarga negara
ini menghapuskan poligami dan memberikan hak yang sama bagi istri dan suami
dalam hal perceraian. Hukum ini, yang dalam teori didasarkan atas prinsip
Islam, dapat diberlakukan pada warga Negara Tunisia. [4]
Secara keseluruhan, substansi Undang-undang keluarga di dunia modern
ini telah beranjak dan konstruksi wacana fiqih klasik[5]
dan telah mencoba memecahkan persoalan ketimpangan hak antara laki-laki dalam
hukum keluarga Islam sehingga hak-hak perempuan dalam perkawinan (martial right) diakui.[6]
Pada masa ini negara telah memperluas basis dukungannya dengan memberikan hak
suara kepada kaum perempuan dalam proses pemisahan mereka dari anggota
keluarganya, yang secara tradisional mengontrol mereka dan megalihkan loyalitas
pokok mereka kepada negara itu sendiri.
Makalah ini hendak mendeskripsikan kebijakan negara Syiria dan Tunisia
pasca reformasi merupakan salah satu indikator penting bagi status perempuan
dalam masyarakat. Namun terhadap hak-hak perempuan dalam perkawinan (martial right) karena hak ini mer pembahasan
di dalam makalah ini tidak meliputi seluruh aspek ha-hak perempuan tetapi
terbatas pada masalah nafkah, poligami, dan perceraian. Pembahasan akan diawali
dengan melihat sepintas negara, reformasi substansial hukum keluarga, dimensi
hak-hak perkawinan perempuan dalam tiga masalah di atas serta keberanjakannya
dari banguanan fiqih klasik.
B.
Potret Negara Syiria dan Tunisia
1. Letak Geografis Syiria
Syiria dan Suriah merupakan negara Republik yang termasuk wilayah
Asia Barat, dengan luas wilayah 185. 180 KM2, dengan populasi penduduk kurang
lebih 12 Juta Jiwa (Tahun 1989) dengan kepadatan penduduk 66 jiwa per-KM2.[7]
Mayoritas penduduknya adalah kelompok etnis Arab, selebihnya adalah minoritas
etnis Kurdi, Armenia, Turki, Yahudi, Badui dan
lain-lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa yang mereka
pergunakan adalah bahasa Arab, dan telah menjadi bahasa resmi negara ini.
Sekitar 90 % penduduknya menganut agama Islam dan mayoritas menganut aliran
Sunni, sedangkan selebihnya terbagi menjadi sekte ‘Alawite, Druse, Ismailis,
dan Twelcer Shi’ia. Umat Kristen sendiri berjumlah sekitar 8,9 % dari populasi.[8]
Sejarah Syiria adalah sejarah kelam, karena telah menjadi saran
invasi negara tetangganya. Invasi pertama dilakukan oleh bangsa Amuri, Kanaan,
Aram, Yahudi, Hittit, Mesir, Asyiria, Persia, Iskandar Agung, Roma dan Arab
sampai PD I.[9]
Selama awal PD I Syiria telah menjadi bagian dari imperium Turki Usmani.
Setelah PD I berlangsung Syiria menjadi bagian dari Koloni Prancis dan Inggris,
Syiria mencapai kemerdekaannya pada tahun 1947.[10]
Pasca kemerdekaan perpolitikan Syiria diwarnai dengan praktek
kudeta. Pada tahun 1948 kudeta militer di bawah pimpinan Hulni al-Zaim berhasil
menggulingkan pemerintahan dan menggantikan konstitusi lama dengan konstitusi
yang baru. Namun konstitusi baru produk Zaim tidak dapat diundangkan, karena
dia sendiri digulingkan oleh militer pada bulan Agustus 1949. Setelah
penggulingan itu diadakan peralihan dewan konstiuante. Dewan mengeluarkan
naskah konstituante yang baru yang telah dipersiapkan oleh 33 anggota yang dipimpin oleh Nazim al-Kudsi pada tangal 5 September 1950 dan
diundangkan pada hari yang sama oleh Presiden.[11]
Serangkaian kudeta militer terus terjadi di Tunisia sampai pada tahun 1963.
Tanggal 8 Maret 1963 sebuah kudeta militer meresmikan era pemerintahan Ba’ts.
Namun karena komposisinya sangat didominasi oleh minoritas, karena sekularisme
dank arena agemda sosialisnya, reaksi politik terhadap rezim inipun mengambil
warna sektarian. Implikasinya tantangan paling keras terhadap rezim Ba’ts
datang dari Ikhwan al-Muslimun. Pemberontakan Islam pertama terjadi di Hama pada tahun 1964 dan
menyusul pergolakan yang dilakukan kelompok sektarian lainnya pada tahun 1967.
Demonstrasi berikutnya meledak pada tahun 1973 ktika sebuah konstitusi baru Negara itu mencoba
menghilangkan Islam sebagai agama negara. Pemerintah mencoba berkompromi dengan
menambahkan pasal-pasal bahwa kepala negara adalah orang Islam dan Hukum Islam
menjadi sumber utama perundang-undangan, tetapi langkah ini tak mampu
memadamkan kritik dari kelompok Islam. Puncaknya pada tahun 1970-an rezim Ba’ts
menindas dan mengkooptasi rival-rival
politiknya yang diangap membahayakan. Segala bentuk tindakan subversif ditumpas
oleh rezim militer secara represif. Rezim tetap pada ide sekulernya yaitu
memisahkan dengan tegas antara agama dn politik. Tetapi sayang, di lain pihak
posisi agama dalam budaya dan masyarakat syiria terlalu kuat untuk dihegemoni[12]
2.
Letak geografis Tunisia
Tunisia[13], yang nama resminya Republik Tunisia,
beribu kota Tunis, terletak di Afrika Utara. Negara ini
berbatasan dengan Al-geria (Aljazair) di sebelah barat, dengan mediteranian
sebelah utara dan timur, dengan Libya
disebelah tenggara. Penduduk negara ini berjumlah 8,4 juta jiwa yang
terkonsentrasi di daerah utara. Daerah Sahe dan pusat urban seperti Qairawan
dan Gafsa dan hampir 97% beragama Islam. Kurang lebih 98% dari populasi muslim
adalah muslim sunni. Kepulauan Djerba
Harbors banyak dihuni muslim Khawarij. Etnik Tunisia terbesar adalah Arab
Barbar. Minoritas Yahudi masih ada yang tinggal sejak tahun 1957. Beberapa
penduduk Kristen tinggal di bagian timur, khususnya di daerah kota. Bahasa nasional adalah bahasa Arab,
sedangkan Perancis merupakan bahasa kedua yang dominan dipakai dalam bidang
pendidikan dan bisnis.[14]
Warna keberagmaan yang dominan dipraktekkan masyarakat Tunisia
adalah Madzhab Maliki. Madzhab ini ternyata tiodak hanya memberikan kontribusi
pada pembentukan hukum keluarga Tunisia,
lebih jauh lagi memberikan warna pada substansi perundang-undangan positif
negara itu. Namun banyak diantara berbagai dinasti yang memerintah Tunisia, baik asing maupun asli Tunisia
memiliki keyakinan yang berbeda–beda. Sebuah dinasti Syiah, Dinasti
Fathimiyyah, menumbangkan pemerintahan Aghlabiah antara 905 dan 909 serta
memerintah Tunisia pada sebagian besar abad ke-10 hingga dinasti tersebut
berpindah ke Kairo pada tahun 1073. Akan tetapi setelah itu, kaum Syiah bahkan
menjadi minoritas kecil, tetapi istimewa, termasuk dinasti Bey terakhir. Mereka
hampir semuanya (atau mengaku keturunan) bangsa Turki yang membawa madzab
Hanafi ke Tunisia dan yang pertama-tama melalui pemerintahan langsung dan
kemudian melalui sebuah sistem kedaerahan– memberi pengaruh penting di daerah
ini sejak awal abad ke-16 sampai protektorat Perancis datang.[15]
Kolonialisasi Perancis bermula ketika Perancis mengalami kesulitan ekonomi dan
mereka menyadari bahwa denxgan menaklukkan Tunisia akan dapat memecahkan
persoalan itu. Pada tahun 1881 M melakukan perjanjian Bardo (the Bardo Treaty
) yang menyatakan Tunisia
adalah daerah perlindungan Perancis. Akhir tahun 1980-an mulai melakukan
kolonialisasinya di Tunisia.
Dalam perjalanan sejarah, kemerdekaan bagi negara bekas wilayah
otonom dari imperium Turki Usmani yang memperoleh status protektorasi Perancis
ini relatif diperoleh dengan sangat mudah. Negara ini tidak pernah menderita
akibat kolonialisasi Perancis. Negara ini memperoleh kemerdekaannya pada
tahun1957 dengan presiden pertama Habib Bourguiba yang disebut-sebut sebagai “The father of his country.[16]
Untuk membangun negerinya, Bourguiba melakukan upaya-upaya
konsolidasi kekuasaan dengan dan
mengambil langkah-langkah ke depan serta menerapkan policy yang tegas.
Kebijakan-kebijakannya sangatlah radikal, gamblang mengambil sikap pro barat
dan sekuler. Di antara kebijakannya yang berhubungan dengan dimensi keagamaan
adalah menghapus pengadilan agama, menghapus kewajiban memakai jilbab bagi
wanita, upaya meninggalkan puasa ramadhan untuk meningkatkan produktifitas dan
mengganti hukum syari’ah dengan hukum sipil yang diadopsi dari Perancis. Bahkan
pada tahun 1956 rezim ini mengundangkan
hukum status perorangan yang bukan hanya berbeda secara prinsipil dengan
hukum tradisional, tetapi juga dengan hukum Perancis. Jadilah, melalui hukum
personal tersebut, Tunisia
menjadi negara yang pertama kali melarang poligami.
Sementara kebijakan yang berhubungan dengan ekonomi politik antara
lain: sejak tahun 1956-1961, rezim Tunisia secara umum memberlakukan
kebijakan ekonomi liberal. Namun beberapa kebijakan yang diambil seperti
mengambil pertanahan warga Perancis dan menempatkan kekayaan wakaf di bawah
penganwasan pemerintah ternyata tidak membuahkan hasil. Maka di bawah tekanan
para mahasiswa dan tokoh-tokoh sosialis Aljazair dan Mesir pada tahun 1962 Tunisia
mengambil orientasi sosialis. Tanah milik warga Eropa dinasionalisasikan pada
tahun 1964, kerjasama pada sektor pertanian dan manajemen pertanian digalakkan,
investasi publik dan pinjaman luar negeri menjadi basis bagi pembangunan
ekonomi. Tetapi sekali kebijakan ini mengalami kegagalan pada tahun 1969 yang
memaksanya kembalinya pada perampuran antara sektor swasta, koperasi dan sektor
publik dengan menggalakkan investasi swasta asing. Kegagalan pemerintah yang
paling mendasar adalah berkurangnya kepercayaan masyarakat akibat
ketidakjelasan ideologi di jajaran elit pemerintah. Pemerintah terkesan sangat
arogan dalam melakukan kebijakan sekularisasai yang mang-adopt gaya Mustafa al-Taturk di Turki Perguruan Masjid Zaituna
diambil alih, sekolah-sekolah agama dinegerikan, Peradilan sekuler digiatkan,
pelarangan poligami, perkawinan dan perceraian dimasukkan dalam perkara sipil,
sampai-sampai pada tahun 1960 puasa ramadhan dikecam sebagai penghambat
produktivitas. Semua kebijakan ini berada di bawah rezim Partai Neo-Destour
yang berkuasa sejak tahun1934 setelah kelompok radikal mengambil alih Partai
Neo-Destour.[17]
C.
Perkembangan Hukum Keluarga di Syiria dan Tunisia
1. Reformasi Hukum Keluarga Syiria
Sejarah hukum keluarga tidak terlepas dari aturan yang ditetapkan oleh
negara yang menguasainya yaitu Ottoman Turki sejak tahun 1917, dengan
berlandaskan pada mazhab hukum Hanafi. Selama berada di bawah Turki Usmani,
sistem hukum dan perundang-undangan yang mengalami reformasi dari waktu ke
waktu yang berlaku juga di wilayah territorial Syiria. Di antara hukum-hukum
imperial yang pernah berlaku di Syiria adalah Code Civil tahun 1876 dan Hukum
dan Hak-Hak keluarga tahun 1917. Kedatangan koloni Perancis dan Inggris setelah
PD I sangat memberi nuansa yang sangat besar terhadap perkembnagan negara itu
khususnya di bidang politk, sipil dan pidana. Meskipun demikian, nasib personal law masih tetap dipertahankan.[18]
Setelah merdeka pada tahun 1947, nasionalisasi dan reformasi
terhadap berbagai aturan dan sistem hukum dilakukan dari waktu ke waktu. Selama berlangsungnya program nasionalisasi,
sistem hukum telah dicabut dan diganti dengan hukum baru. Beberapa peraturan
baru telah ditetapkan sebagai peraturan yang bebas dari pengaruh kolonial dan
ditetapkan sebagai konstitusi nasional, antara lain Hukum Civil, Hukum Pidana
dan Hukum Dagang pada tahun 1949, dan Hukum Pidana baru pada tahun 1950 dan
Hukum Perdata baru pada tahun 1953. Sementara sebagai personal law tetp diberlakukan Hukum Famili Turki dari tahun 1917
sampai 1953 dengan nama Qanun al-Ahwal
al-Syakhshiyah atau lebih dikenal dengan The Syirian Law of Personal
Status. Undang-undang ini dianggap berlaku sejak tanggal 17 September 1953.
Undang-undang ini merupakan risalah dari hasil kerja Syeikh Ali al-Tahanawi
(Qadi di Damaskus) diambil dari berbagai macam mazhab hukum yang disesuaikan
dengan situasi kondisi masyarakat Syiria. Bisa dikatakan bahwa hokum ini
mengandung eklektisisme inovatif, yangmenyeleksi aturan-aturan bukan hanya dari
mazhab Hanafi, melainkan juga dari opini-opini para faqih mazhab-mazhab kuno
dan minoritas yang terisolasi, dengan tujuan membuat hukum yang diajarkan Islam
sekaligus selaras dengan kebutuhan masyarakat kontemporer.
Usaha kodifikasi hukum keluarga Islam di Syiria dianggap paling
komprehensif, karena tidak hanya meliputi aturan-aturan tentang kecakapan
hukum, perwalian dan perwakilan tetapi juga mencakup problematika wasiat dan
hibah. Penyusunan Code ini didasarkan pada Hukum Turki Usmani Tentang Hak-hak
keluarga, Hukum Mesir tentang hukum keluarga dan waris 1920-1946 dan juga
diambil dari hasil kerja Qadi Pasha (Meir) dan Ali al-Tantawi (Damaskus). Code of Personal Status 1953 Syiria ini
memuat 308 pasal dan terdiri atas 6 buku yang muatan isinya didomonasi oleh
mazhab Hanafi. Ada
bagian-bagian tertentu yang diadopsi dari Sekte Duruz dan Kristen Syiria.[19]
Selama 22 tahun setelah pemberlakuannya, diadakan amandemen terhadap
pasal-pasal dalam 4 bab pertama Undang-undang 1953 itu, dengan UU Syiria No.
34/1975. Perubahan UU yang memodifikasi dan menambah beberapa ketentuannya
sebanyak 22 pasal ini didasarkan pada rekomendasi panitia parlemen yang
dibentuk untuk mengkaji dan merevisi UU
1953. Perubahan utama berkaitan dengan masalah poligami, mahar, nafkah, konpensasi
cerai, biaya hadhanah, dan masalah perwalian anak. Penetapan Undang-undang ini
dimaksudkan untuk melindungi hak-hak perempuan.[20]
2. Reformasi Hukum Keluarga Tunisia
Tunisia melakukan reformasi dan kodifikasi hukum keluarga pada saat setelah
negara itu memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan, beberapa
ahli hukum terkemuka Tunisia
berpikir bahwa dengan melakukan fusi terhadap mazhab Maliki dan mazhab Hanafi,
maka sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan
yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial di Tunisia. Sekelompok ahli hukum
mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi dan Maliki, dan
dipublikasikan di bawah judul Laihat
Majallat al-Ahkam al-Syar’iyyah (Draf Undang-undang Hukum Islam). Akhirnya,
pemerintah membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh Islam, Muhammad
al-Jait, guna merancang Undang-undang resmi.
Berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari Laihat dan Undang-undang Hukum Keluarga Mesir, Jordan, Syiria dan
Turki, panitia tersebut mengajukan Rancangan Undang-undang Hukum Keluarga
kepada pemerintah. Rancangan tersebut akhirnya diundangkan di bawah judul Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyah (Code of Personal Status) 1956, berisi
170 pasal 10 buku dan diundangkan ke seluruh Tuisia pada tanggal 1 Januari
1957. Namun da;lam perjalanannya, Undang-undang ini mengalami kodfikasi dan
perubahan (amandemen) beberapa kali, yaitu melalui Undang-undang No. 70/1958,
Undang-undang No. 41/1962, Undang-undang No. 1964, Undng-undang No. 77/1969,
dan terakhir menurut catatan Tahir Mahmud, mengalami amandemen pada yahun 1981
melalui Undang-undang No. 1/ 1981.[21]
Perlu dicatat, bahwa walaupun secara umum berlandaskan mazhab
Maliki, akan tetapi Undang-undang ini memasukkan pula beberapa prinsip yang
berasal dari mazhab-mazhab yang lain. Lagipula, jika dibanding dengan
negara-negara Arab lain, reformasi di bidang hukum di Tunisia lebih revolusioner.
D.
Substansi-substansi Aturan Nafkah, Poligami dan Perceraian pada
Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia.
1. Nafkah
Al-Qur’an meletakkan tanggung jawab kepada suami untuk memberi
nafkah kepada istrinya, meskipun istri mempunyai kekayaan dan pendapatan. Istri
tidak diwajibkan memberi suaminya apa yang didapatkan atas jerihnya sendiri.
Adapun sebab wajib nafkah atas suami kepada isteri adalah, karena
dengan selesainya akad yang sah, wanita menjadi terikat dengan hak suaminya,
yaitu untuk menyenangkannya, wajib taat kepadanya, harus tetap tinggal di rumah
untuk mengurus rumah tangganya, mengasuh anak-anaknya dan mendidiknya, maka
sebagai imbalan yang demikian Islam mewajibkan kepada suami untuk memberi
nafkah kepada isterinya.[22]
Nafkah suami terhadap istri selama perkawinannya itu dibangun atas
akad yang sah, terlepas istrinya muslim atau tidak, kaya atau miskin. Kewajiban
ini sudah menjadi kesepakatan para ulama.[23]
Perintah pemberian nafkah ini berdasarkan al-Qu’an, al-Sunnah, al-Qiyas,
al-Ijma’.[24]
Harus dicatat bahwa memberi nafkah meliputi sandang, papan dan
pangan. Tentang tempat tinggal, al-Qur’an mengatakan:
`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr wur £`èdr!$Òè? (#qà)ÍhÒçGÏ9 £`Íkön=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷| $yès? ßìÅÊ÷äI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ
Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.[25]
Untuk makanan dan pakaian, al-Qur’an meminta suami menyediakannya
bagi ibu dan anak-anaknya sebagaimana dijelaskan:
*
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$# 4 n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 w ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 w §!$Òè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ wur ×qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºs 3 ÷bÎ*sù #y#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã 3 ÷bÎ)ur öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan. [26]
Mengenai nafkah bagi istri dalam Undang-undang Syiria dijelaskan
bahwa nafkah diberikan kepada istri sejak akad terlaksana. Hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam bangunan fiqih klasik. Adapun ketentuan nafkah Syiria
adalah:
Pasal 65: “ Suami wajib memberikan rumah yang sama
dengannya”.
Pasal 66:“Suami setelah istrinya sembuh dari
penyakitnya hendaknya, dia tinggal bersamanya”.
Pasal 67: “Suami jika ber[oligami wajib memberikan
tempat tinggal yang sama terhadap istri-istrinya”.
Pasal 71; “Nafkah meliputi sandang, pangan dan papan
dan sejenisnya yang baik yang sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
masyarakat”.[27]
Pasal 72 ayat (1): “Suami tetap terikat dengan hal
pemberian biaya hidup kepada istri selama masih berlangsungnya perkawinan,
bahkan bila si istri merupakan pengikut agama lain atau menetap di rumah
keluarganya, kecuali bila suami memintanya untuk tinggal bersama di kediamannya
sementara sang istri menolak tanpa ada haknya.”
Pasal 72 ayat (2) Bahkan si istri mempunyai hak untuk menolak untuk
hidup bersama suaminya jika suaminya tidak mematuhi untuk membayar mahar secara
seketika atau menyediakan tempat tinggal berdasarkan aturan hukum.”[28]
Sedangkan nafkah menurut Hukum Keluarga Tunisia menerapkan prinsip-prinsip
mazhab Maliki dalam hak-hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal
ini secara rinci dalam pasal-pasal 32-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa
istri diizinkan untuk membelanjakan harta pribadinya guna biaya hidup dengan
maksud untuk meminta ganti biaya suaminya. Adapun mengenai besarnya jumlah
nafkah disesuaikan dengan kemampuan suaminya (pembayar) dan diperhatikan pula
status istriserta biaya hidup yang wajar pada saat itu, sebagaimana yang
tertera pada pasal 52.
2.
Poligami.
Salah satu persoalan fiqh
munakahah yang hingga kini masih menjadi bahan diskusi ramai dan pelik adalah
masalah poligami. Pelik terutama bagi perempuan. Islam sendiri “gara-gara”
pesan tekstual tentang pembolehan poligami dalam al-Qur'an, kerap dikecam
sebagai anti demokrasi dan HAM dalam kehidupan suami-istri karena poligami
dilihat sebagai salah satu bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum
perempuan.[29])
Tuduhan klasik bahwa al-Qur'an
memperlakukan perempuan secara tidak adil karena memperbolehkan poligami masih
saja diajukan orang. Tuduhan ini juga sering dikaitkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang juga melakukan poligami bahkan istrinya konon sampai sembilan. Menurut
Riffat Hassan masalah tersebut merupakan problem yang tak kunjung selesai.
Namun perlu dicatat, dalam al-Qur'an hanya ada satu ayat yaitu an-Nisa:3 yang
berbicara poligami.[30] Akan tetapi ayat
tersebut sering diartikan secara “keliru” oleh kebanyakan mufasir, untuk tidak
mengatakan semuanya. Dalam al-Qur'an maupun dalam keseharian nabi Muhammad SAW,
memelihara anak yatim dan anak yang terlantar selalu mendapat perhatian besar
dan dianggap sangat penting. Izin poligami dalam al-Qur'an sesungguhnya
berkaitan erat dengan maslah tersebut. Jika kita mau membaca tentang ayat
poligami tersebut, sebetulnya focus utamanya adalah masalah penyantunan anak
yatim. Jadi yang dimaksud “pernikahan” dalam ayat tersebut adalah menikahi ibu
anak yatim. Penafsiran ini tidak diragukan lagi, karena ayat ini turun ketika
banyak terjadi perang dan banyak laki-laki meninggal sehingga banyak janda dan
anak-anak yatim. Oleh sebab itu, sebenarnya pesan moral al-Qur'an tntang
masalah ini: 1) agar anak yatim dipelihara dan disantuni; 2) ayat ini berbicara
tentang keadilan, sehingga dapat disimpulkan bahwa poligami sebenarnya hanya
dibolehkan dalam kondisi sulit seperti itu.[31]
Ajaran
Islam memang membolehkan laki-laki mengawini empat perempuan sekaligus, tetapi hanya jika ia mampu berlaku
adil, kalau tidak maka Islam melarang. Fain khiftum ala alla ta’dilu
fawahidatan, dcmikian Allah mewanti-wanti di ujung ayat “kesukaan"
kaum lelaki itu. Menariknya, di situ Allah menggunakan kalimat 'adalah,
bukan qistum. Tekanannya tentu adalah keadilan kualitatif yang hakiki,
semisal perasaan cinta, kasih, dan rasa sayang yang tak bisa diukur secara
matematis. Sementara konseptualisasi 'keadilan'
dalam wacana poligami oleh para fuqaha umumnya cenderung dimaknai
kuantitatif. Terukur, misalnya keadilan dalam menjatah giliran hari dan
pemerataan nafkah. Mereka rata-rata mengabaikan aspek-aspek keadilan kualitatif
itu.
Ada yang terasa hilang
memang dalam wacana fiqh tentang poligami, terutama ketika perbincangan hanya
memfokus pada kebolehannya beserta segala rasionalisasi di baliknya. Model penafsiran monolitik memang sangat sering
ditunjukkan para ulama klasik dalam wacana fiqh. Hingga tingkat tertentu gaya itu pula yang diikuti
para ulama belakangan.
Berkaitan dengan poligami Nabi,
menurut Riffat sebenarnya juga demikian kondisinya. Beliau pertama menikah
dengan Khadijah ketika berusia 25 tahun dan itulah perkawinan terpenting. Nabi
Muhammad SAW tidak menikah lagi sampai umur 50 tahun. Jadi selama masa suburnya
beliau monogami dan menikah hanya sekali. Kalau demikian, menurut hemat
penulis, secara tegas dapat dikatakan bahwa pernikan Nabi SAW yang poligami
tersebut bukan hanya memperturutkan nafsu seksnya, akan tetapi lebih pada
penyantunan janda-janda dan anak yatim. Di samping itu, dalam poligami Nabi ada
hikmah yang bersifat edukatif, psikologis, ekonomis dan bahkan politis. Sebab
secara logika, jika Nabi SAW menginginkan tuntutan seksnya, mestinya beliau
menikahi gadis-gadis yang masih muda dan perawan. Tetapi mengapa hal itu tidak
dilakukan oleh beliau?
Poligami senantiasa menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan.
Ia tidak hanya menjadi obyek perbincangan dunia Islam, tetapi juga barat. Barat
sering mengangkat isu poligami sebagai alat untuk mendeskreditkan Islam.[32]
Mereka menganggap poligamilah menjadi salah satu sebab kemunduran dan
keterbelakangan dunia Islam. Sementara di dunia Islam, akibat pengaruh barat
pasca kolonal, muncul diskursus apakah konsep poligami dalam al-Qur’an (QS: 4:
3) berlaku secara normatif atau kontekstual. Implikasinya, di dunia Islam
terjadi polarisasi di dalam menentukan kebijakan tentang poligami.
Menurut Tahir Mahmood setidaknya ada enam bentuk kontrol terhadap
poligami, pertama; menekankan ketentuan berlaku adil sebagaimana ditetapkan di
dalam al-Qur’an, kedua; memberi hak kepada istri untuk menyertakan pernyataan
anti poligami dalam surat perjanjian perkawinan, ketiga; harus memperoleh izin
lembaga peradilan, keempat; hak menjelaskan dan mengontrol dari lembaga
perkawinan kepada pihak yang akan berpoligami, kelima; benar-benar melarang
poligami, dan keenam; memberikan sanksi pidana bagi pelanggar aturan poligami.[33]
Untuk negara Syiria ketentuan tentang poligami tdak jauh berbeda
dengan pandangan para imam mazhab yang membolehkan poligami. Hanya saja Syiria
yang dominan menganut mazhab Hanafi ini mengatur masalah poligami ini dalam
Undang-undang tahun 1975 pasal 17 yang menyatakan bahwa “hakim mempunyai wewenang
penuh untuk tidak mengizinkan seorang suami beristri lebih dari seorang istri
jika terbukti tiak mampu berbuat adil dan tidak mampu menafkahinya”. Jadi
walaupun diizinkan tetapi tidak segampang yang dibayangkan, harus melalui
persyaratan-persyaratan yang ketat dan harus ada izin dari pengadilan.
Sementara dalam poligami sebagaimana telah disebutkan pada
pendahuluan, Tunisia
merupakan negara Islam satu-satunya yang melarang poligami. Mewarik untuk
dieksplorasi dan dicermati lebih dalam tentang fenomena ini. Bagaimana
Undang-undang mengatur masalah poligami ini. Masalah poligami ini diatur pada
pasal 18 Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia pada ayat (1) yang
berbunyi: “Bahwa beristri lebih dari seorang adalah dilarang dan apabila
seorang pria yang telah menikah dan pernikahannya belum putus secara hukum
lantas menikah lagi, maka pria tersebut diancam dengan hukuman penjara selama
satu tahun atau denda setinggi-tingginya 240.000 Malim atau dengan
kedua-duanya.”[34]
Kalau demikian kenyataannya lantas apa yang menjadi alasan
pemerintah Tunisia
memberlakukan larangan poligami? Untuk menjawab pertanyaan mendasar tersebut,
menarik untuk dikemukakan di sini apa yang pernah dilontarkan oleh John L.
Esposito. Menurutnya ada dua alasan pemerintah Tunisia melarang poligami, yaitu:
A.
Poligami, sebagaimana halnya
perbudakan merupakan institusi yang selamanya tidak bisa diterima oleh
mayoritas umat manusia, dan
B.
Ideal al-Qur’an tentang perkawinan adalah
monogami.[35]
Dalam analisanya lebih lanjut ia mengatakan bahwa pandangan Muhammad
Abduh tentang tafsir ayat poligami nampaknya telah dijadikan rujukan oleh
pemerintah Tunisia.
Ayat yang dijadikan dasar bagi pelarangan ini adalah Surat al-Nisa’ ayat 3. Di mana ayat ini
memberi gambaran bahwa yang menjadi idela Islam adalah monogamy, karena adil
yang menjadi syarat utama bagi poligami adalah sesuatu yang tidak mungkin dapat
direalisasikan oleh manusia.
Menurut Abduh poligami adalah tindakan yang haram, yang ahanya
mungkin dilakukan oleh seorang suami dalam hal-hal tertentu. Misalnya istri
tidak bisa melahirkan. Syarat adil dalam pandangan Abduh terbagi menjadi tiga
kondisi, yaitu pertama, kebolehan poligami sesuai dengan tuntutan zaman waktu
itu. Kedua, syarat adil merupakan syarat yang sangat berat, khususnya dalam
pembagian cinta dan hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan batin. Hal ini
ditegaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Lebih lanjut Abduh mengatakan bahwa, poligami merupakan sesuatu
perbuatan yang haram jika tujuannya hanya untuk kesenangan (sex) semata. Karena
untuk kepuasan sex inilah manusia tidak pernah merasa puas, dan kalau dituruti
secara terus menerus manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Perilaku orang
Arab proto Islam dalam poligami sering dilakukan sebagai simbol kekuatan dan
kejantanan.[36]
3. Perceraian
Percerian diperbolehkan dalam Islam karena pernikahan dianggap
sebagai sebuah kontrak, yang dapat diputuskan bak karena kehendak keduanya atau
karena kehendak salah satu pihaknya. Bertentangan dengan kepercayaan umum,
Islam juga memperblehkan perempuan mempunyai hak cerai. Seorang perempuan dapat
membatalkan pernikahannya dalam bentuk perceraian yang dikenal dengan khulu’.[37]
Walaupun Islam membolehkan, tetapi ketentuan ini nampaknya ambigu.
Talak dan umumnya putusan perkawinan walaupun dihalalkan, tetapi merupakan hal
yang tidak disukai oleh Allah. Sebagai ajaran moral ilahiyyah, Islam sangat
tidak menyukai perceraian. Secara moral, perceraian adalah sebuah pengingkaran.
Akan tetapi, sadar bahwa tidak mungkin perceraian sama sekali dihindari dalam
kehidupan yang nisbi ini, maka dengan penuh penyesalan, demi alasan yang sangat
khusus, Islam pun terpaksa menerima kemungkinan terjadinya.[38] Ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW.
yang penuh ambiguitas:
أبغض الحلال عند الله الطلاق[39]
Ambiguitas ini pada dasarnya dimaksudkan
untuk mempersulit peluang terjadinya perceraian, kecuali dalam keadaan terpaksa
atau ada qarinah yang dijustifikasi oleh syara’. Masih dalam konteks
pemeliharaan harmonisasi ikatan perkawinan, Islam kemudian memberikan peluang
restrukturisasi ikatan yang telah terkoyak oleh talak melalui prosedur rujuk.
Rujuk adalah pemulihan perkawinan dengan cara suami mengambil kembali bekas
istri kepada ikatan perkawinan semasa iddah berlangsung.
Dalam masalah talaq ini hukum
Islam memperlakukan perempuan jauh lebih baik, lebih manusiawi dan lebih
berprikeadilan etimbang doktrin agama dan kebudayaan lain. Dengan ungkapan
lain, Anderson
mencatat, sebelum kedatangan Islam, wanita tidak mempunyai wewenang untuk
mentalaq dan juga tidak mempunyai hak untuk menceraikan dirinya dari suaminya,
kecuali suami memberikan hak talaq itu (talaq tafwid). Dengan kedatangan
Islam, terjadilah perubahan dalam konsep talaq. Perubahan tersebut bertujuan
untuk membatasi hak talaq suami, dan selanjutnya memberikan hak kepada istri
untuk mendapatkan hak talaq berdasarkan pada pertimbangan yang logis dan bukan
bersifat sepihak.[40]
Dalam upaya mereformasi bidang hukum keluarga, banyak negara Islam
yang tetap mempertahankan hak suami untuk menceraikan istrinya sembari memberi
kebebasan yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk meminta cerai dalam
kasus kekerasan, tidak diberi nafkah dan ditinggal pergi.
Dalam kasus talaq ini, Undang-undang Hukum Keluarga Syiria melakukan
perubahan yang berhubungan dengan pemberian hak kepda istri untuk mengajukan
perceraian, konpensasi atas talaq yang sepihak dan mengenai talaq tiga. Di
dalam Undang-Undang ini dijelaskan:
Pasal 30 perceraian hanya jatuh jika diucapkan di
depan pengadilan
Pasal 90: Talaq tidak akan jatuh jika tanpa niat
Pasal 92: Jika talaq itu diucapkan dengan berbilang
baik secara eksplisit maupun implisit, maka yang jatuh adalah satu
Pasal 117: Kalau pengadilan menimbang bahwa suami
menceraikan istrinya karena alas an ang tidak logis, maka si istri mempunyai
hak untuk menolak, ang dengan itu dia bisa jadi si suami harus membayar yang
konpensasi bagi si istri tidak melebihi tiga tahun nafkah, ditambah nafkah yang
dibayar selama iddah.
Pasal 129: Jika suami menghilang tanpa alasan yang
jelas atau dipenjara lebih dari tiga tahun, istrinya dapat -setelah habis masa
setahun dari hari hilangnya atau dipenjara- untuk meminta perceraian sekalipun
ada milik suami yang tersedia untuk nafkah.[41]
Adapun menurut Undang-Undang Keluarga Tunisia,
maka ketentuan mengenai talaq adalah sebagai berikut:
a.
Perceraian
Di Tunisia perceraian yang disampaikan secara sepihak tidak dapat
berakibat jatuhnya talaq. Sekarang
perceraian dapat berlaku secara pasti dan efektif hanya diputuskan oleh
pengadilan.[42]
Demikian pula pengadilan dapat memutuskan perkawinan yang diajukan
oleh istri dengan alas an suami gagal dalam memberi nafkah, atau karena kedua
belah pihak telah sepakat untuk mengakhiri perkawinan mereka. Pengadilan juga
bisa memutuskan terjadinya perceraian apabila salah satu pihak secara sepihak
bermaksud untuk bercerai, dengan konsekwensi bahwa pihak yang mengajukan
gugatan cerai diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lain. Keputusan
terjadinya perceraian hanya bisa diberikan dalam kondisi apabila upaya
perdamaian pasangan suami istri tersebut gagal dicapai.
b. Talak Tiga
Pasal 19 Undang-undang 1956 menyatakan bahwa seorang pria dilarang
untuk merujuk istrinya yang telah ditalak tiga (talaq ba’in kubra).
Sebelumnya, pasal 14 menyebutkan bahwa talak tiga sebagai halangan yang
bersifat permanen untuk pernikahan.[43]
E.
Analisis atas Kebijakan
Negara terhadap Hak-hak Perempuan dan Keberanjakannya dari Fiqih Klasik
Reformasi yang mempengaruhi hukum Islam pada abad XIX dan XX lebih
berwawasan jauh ke depan dibandingkan dengan yang dilakukan sebelumnya.
Dorongan reformasi datang dari internal tradisi Islam itu sendiri, seperti para
spesialis hukum Islam yang mencoba memperbaharui hukum-hukum dalam hubungannya dengan kebutuhan sosial dn
prilaku yang berubah, maupun dari eksternal seperti pemimpin politik yang
mencoba memaksakan perubahahan yang dirancang untuk menghapus gambaran kuno
yang menghalangi program modernisasi pemerintah.
Dalam usaha reformasi hukum Islam (termasuk hukum keluarga) telah
mengakomodasi isu-isu modernisme seperti kesetaraan gender. Kaitannya dengan
kajian makalah ini, telah terjadi pembaharuan yang bermaksud menaikkan
kedudukan kaum perempuan.
Secara umum dalam rangka melakukan pembaharuan, dunia Islam
mempunyai pengalaman yang sangat beragam mulai dari yang paling “ekstrim kanan”
sampai yang ekstrim kiri”. Abdullahi Ahmed An-Naim[44]
secara lebih rinci menjelaskan teknik-teknik pembaruan, terutama dalam bidang
hukum keluarga antara lain: melalui takhsis al-Qadha’ (hak penguasa untuk
memutuskan dan menguatkan keputusan pengadilan), takhayyur (menyeleksi berbagai
pendapat mazhab secara eklektik seperti Sudan), re-interpretasi atas kebebasan
pria dalam melakukan perceraian dan poligami seperti di Tunisia) dan siyasah
syar’iyyah (kebijakan penguasa untuk menetapkan aturan-aturan administratif
yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syari’ah).[45]
Berikut analisis hasil dari reformasi yang dilakukan oleh Tunisia dan Syiria dalam rangka
mengangkat harkat dan martabat perempuan.
1. Nafkah
Di dalam perkawinan, wanita ditempatkan pada kedudukan yang
terhormat, dia diperlukan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak kemanusiaan
yang sempurna. Selain mempunyai hak mahar, dia juga mempunyai hak nafkah yang
pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab suami. Namun ketentuan ini tidaklah
kaku karena di dalam kasus-kasus tertentu Hukum Islam tidak dilarang kepada
istri membantu suaminya dalam mencari nafkah.
Dalam kasus Negara Syiria dan Tunisia, Undang-undang Hukum
Keluarga kedua negara ini telah melakukan begitu mendetail masalah nafkah ini.
Lingkup pembiayaan nafkah tidak hanya terbatas pada sandang, pangan dan papan
melainkan juga meliputi biaya-biaya pengobatan. Bahkan perbedaan agama istri
tidak menjadi penghalang akan wajibnya nafkah ini. Selain itu juga istri
mempunyai hak menolak untuk mendampingi
suami jika suami mengabaikan kewajiban ini. Dan lebih ekstrim lagi bahwa
pengabaian kewajiban ini bisa menjadi salah satu alasan istri untuk memohon
perceraian.
Dalam masalah ini, kedua negara ini telah melakukan terobosan yang
signifikan dalam memberikan wewenang kepada istri untuk menuntut hak nafkahnya yang begitu
luas. Hal ini berbeda dengan pandangan
para ulama mazhab di mana biaya apengobatan bukan menjadi tanggung jawab
suaminya. Menurut mereka, ongkos atau biaya pengobatan mrnjadi tanggungannya
sendiri atau keluarganya, karena obat-obatan tidaklah dinggap sebagai kebutuhan
pokok, mereka menganalogkannya dengan makanan cuci mulut. Makanan jenis ini
tidk harus ada atau disediakan.[46]
Hal ini disebabkan karena kondisi masyarakat pada waktu itu secara umum tidak
memerlukan pengobtan seperti sekrang ini. Akan tetapi, dewasa ini kebutuhan
masyarakat terhadap kesehatan telah menjadi bagian dari kebutuhan pokok. Wahbah
al-Zuhaili-ahli fiqih kontemporer dari Syiria– menolak pandangan para ulama
empat mazhab di atas. Menurutnya nafkah untuk kesehatan adalah termasuk
kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami. Pemberian nafkah kesehatan merupakan
bentuk dari mu’asyarah bi al-Ma’ruf. Katanya: Bukanlah mu’asyarah bi
al-ma’ruf namanya, kalau suami dalam keadaan istrinya sehat dapat
bersenang-senang (istimta’), tetapi manakala ia sakit, lalu
mengembalikannya kepada keluarganya. Ilustrasi Wahbah ini selaras dengan aturan
di Syiria, Tunisia bahkan Mesir.[47]
Inilah saya kira pendapat dan kebijakan terhadap istri yang lebih
maslahah dan lebih relevan dengan tuntutan perkembangan sosial. Agama tentu
saja menyetujui pandangan ini, karena gama memang hadir untuk memberikan
kemashlahatan dan keadilan bagi seluruh umat manusia (laki-laki dan perempuan).
2. Poligami
Masalah poligami, meskipun Islam membolehkannya,[48]
tetapi oleh kaum wanita, seiring dengan meningkatnya kesadaran kaum wanita akan
hak dan martabat status mereka, oleh kaum wanita dipandang sebagai suatu upaya
eksploitasi wanita demi kebutuhan biologis kaum adam. Sementara bagi kaum adam
pada umumnya, poligami adalah sesuatu yang legal dan telah dipraktekkan oleh
Nabi. Meskipun Nabi mempraktekkannya, tetapi dalam perkembangannya, tidak semua
ulama berpendapat seragam, sebagian mereka ada yang menolak kebolehannya.[49]
Dalam Islam semua mazhab pemikiran menyatakan bahwa al-Qur’an
mengizinkan poligami, sepanjang syarat adil itu terpenuhi. Namun bagi Negara
Syiria walaupun membolehkan tetapi dengan memperketat persyaratan dan itu
sangat tergantung pada izin dari pengadilan sebagaimana dijelaskan dalam pasal
17 di atas. Hal ini ada keberanjakan dari pemikiran mazhab klasik yang notabene
membolehkan meskipun pembolehan tersebut ditambah dengan syarat harus yang
tidak mungin terpenuhi, keadilan dalam kasih saying, perasaan cinta dan
sebagainya.[50]
Lain halnya dengan Tunisia,
Negara ini secara radikal telah melarang praktek poligami ini. Larangan ini
sebagaimana hal lain yang dibicarakan di atas, dipandang sebagai akibat dari
pengaruh kolonial barat. Para ahli hukum Islam Tunisia sebenarnya menyandarkan
pandangannya pada al-Qur’an dan sumber-sumber hukum dasar lainnya dalam
melarang poligami. Meskipun demikian, barangkali ada benarnya juga apabila
keinginan mereka untuk melakukan uji ulang atas ijtihad terdahulu dala
persoalan ini dipengaruhi oleh pengaruh eksternal Barat. Bahkan, dengan
analisis tradisional sekalipun, ada pendekatan hukum yang memungkinkan wanita
menolak poligami dalam perkawinannya sendiri.[51]
Langkah Syiria dan Tunisia
ini dianggap paling berani dan telah mengalami keberanjakan dari doktrin mazhab
Maliki dan Syafi’i yang memberikan kebebasan yang luas bagi laki-laki untuk
berpoligami. Syaratnya hanya dua, yaitu adil dan maksimal empat orang istri.
Tidak ada persyaratan apapun lagi selain dua hal itu.
Jadi dalam masalah poligami, Tunisia telah memberikan pengaruh
yang sangat signifikan dalam mengangkat dan memelihara derajat kaum perempuan
dari tindakan kesewenag-wenagan kaum laki-laki. Sebab poligami pada hakikatnya
merupakan bentuk penghinaan terhadap perempuan. Sebab, mana ada perempuan yang
rela dan bersedia dimadu-sebagaimana halnya laki-laki, mana ada yang rela dan
bersedia dimadu. Karena poligami menimbulkan kerawanan terhadap pelecehan
hak-hak kaum perempuan.[52]
Untuk kepentingan hak-hak kaum wanita agar sedikit mungkin terhindar
dari kedudukan sebagai obyek pemuas sex
kaum lelaki, maka dalam hal boleh tidaknya seorang lelaki berpoligami di Syiria
harus minta izin terlebih dahulu kepada istri dan pengadilan. Dengan kata lain,
campur tangan hakim tidak bisa disepelekan dalam menegakkan hak-hak kaum wanita
dalam relasinya dengan kaum lelaki. Mengapa hal ini diperlukan?
A.K. Brohi, menguti pendapat Brifault, menjelasan bahwa antara
“kekuasaan” dan “keadilan” itu saling mempengaruhi. Semangat etika zaman
modern, harus dicatat, berada dia atas segala apa yang telah dicirikan oleh
hide-ide keadilan, kejujuran, permainan yang jujur daripada apengingkaran,
pengorbanan diri, dan pemerasan emosi yang menandai moralitas periode
keagamaan.[53]
3. Perceraian
Umumnya hukum syari’at, peraturan yang berkaitan dengan cerai lebih
memihak pada kepentingan pria. Seorang pria mempunyai hak untuk menceraikan
istrinya tanpa sebab, ia cukup mengatakan : “aku cerai engkau” tiga kali di
depan para saksi, yang merupakan tanda fomal untuk mengkhiri hubungan
perkawinan.
Sebaliknya, wanita tidak mempunyai hak untuk menceraikan dengan cara
yang sama, tetapi mereka berhak menuntut dua jenis perceraian: Satu dengan
membayar sejumlah uang, dan yang lain karena pelecehan dan penghinaan kepada
istri dan keluarganya yaitu lewat khulu’ dan tafriq. Namun bentuk cerai seperti
ini hanya diizinkan dalam kondisi ya ng sangat khusus, seperti adanya alasan
bahwa suami ternyata impotent atau suami melarikan diri. Undang-undang modern
di beberapa anegara telah memodifikasi dan sedikit memperluas wilayah yang
karenanya wanita dpat mengajukan cerai dengan alasan: dilukai, konflik, cacat
fisik pada suami, tidak diberi nafkah, suami hilang atau dipenjara.
Fenomena ini erjadi pada hukum keluarga Syiria adan Tunisia,
kedudukan suami dan istri adalah sama dalam perceraian, perceraian sepihak
tidak jatuh dan harus diucapkan di muka apengadilan dan pernikahan yang
diucapkan tiga kali sekaligus (talaq al-Battah) hanya dihitung satu.[54]
Hal ini berbeda dengan ketentuan mazhab klasik, karena dalam mazhab
Maliki; Talaq bisa jatuh hanya dengan mengucapkan “Talaktuki” tanpa
harus ada campur tangan dari pihak hakim.[55]
Bahkan menurut Malik juga, talak yang dijatuhkan suami karena keliru, lupa dan
main-main adalah sah. Sementara Mazhab Hanafi menyatakan bahwa setiap talaq
yang dijatuhkan oleh suami dinyatakan sah kecuali anak kecil, orang gila, atau
orang idiot.[56]
Apabila dilihat ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam
perundang-undangan Syiria dan Tunisia,
maka akan tampak titik keberanjakannya dari fiqih klasik yaitu setiap Negara
berusaha untuk mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini berbeda dengan
ketentuan dalam fiqih klasik yang lebih cenderung mempermudah terjadinya
perceraian dan mengabaikan ahak-hak perempuan.[57]
Keberanjakan yang cukup signifikan adalah pemberdayaan lembaga
pengadilan dalam perceraian. Hal ini merupakan salah satu pembaharuan yang
terpenting dalam wacana hukum keluarga Islam. Sebab, dalam fiqih lasik, dengan
mengacu secara scriptural kepada teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah, suami
adalah “pihak yang menceraikan” (mutalliq), sedangkan istri adalah
“pihak yang diceraikan” (mutallaq). Istri hanya diberiakan hak gugat
cerai, namun, itupun masih disyaratkan ada persetujuan suami dan biaya tebusan
(‘iwad). Bahkan dalam mazhab Hanafi yang dikenal rasional, istri tidak
mempunyai hak untuk menggugat cerai, apapun alasannya.[58]
Hal lain yang perlu mendapat perhatian kaitannya dengan perceraian,
terutama di Tunisia
adalah larangan permanen bagi laki-laki untuk menikahi kembali perempuan yang
telah dicerikan sebanyak tiga kali. Nampak jelas, ketentuan ini telah
meninggalkan mazhab Syafi’i yang mengabsahkan pernikahan “sementara” yang
bertujuan menghalalkan berkumpulnya kembali laki-laki pertama dengan mantan
istrinya (nikah tahlil).
Keberanjakan dan perubahan menuju tata cara perceraian yang
manusiawi yang mengakui hak-hak kaum perempuan ini didasarkan pada spirit
al-Qur’an yang menyuruh suami untuk menceraikan istrinya dengan cara yang baik
dan adil.[59]
F.
KESIMPULAN
Diskriminasi, marginalisasi
dan subordinasi hak kaum perempuan di lingkungan setiap komunitas peradaban
manusia berlangsung tanpa ada perubahan yang berarti hingga awal abad ke-20,
namun sejak saat itu sejumlah ikhtiar untuk memodifikasi hukum status personal
dilakukan di berbagai wilayah.
Sebelum awal abad ke-20, negara membiarkan kontrol terhadap kaum
perempuan dan keluarga berada di tangan kelompok-kelompok keluarga patriarkhal.
Berbeda dengan tindakan yang sangat intervensionis dalam hukum perdata,
komersial, dan pidana Islam, negara menolak usaha yang beresiko tinggi, yakni
mencampuri peraturan-peraturan status personal, inti terdalam dari identitas
muslim (maskulin). Kontrol patriarkhal terhadap prilaku kaum perempuan dan unit
keluarga adalah hal pokok bagi konstruksi identitas ini Namun, pada akhirnya,
keengganan Negara mulai meluntur, paling tidak karena tekanan yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok prempuan di bawah kepemimpinan perempuan-perempuan
terkemuka seperti Mesir dan seluruh
kesultanan ‘Utsmaniyyah.
Seiring dengan derasnya arus modernisasi yan terutama dimulai awal
abad XX yang dibarengi dengan adanya usaha reformasi huku keluarga di dunia
Islam, maka secara bertahap perempuan mulai mendapatkan hak-haknya baik hak
domestik maupun publik.
Terlepas dari perdebatan apakah proses reformasi itu merupakan
implikasi dari gejolak internal maupun desakan eksternal, tetapi reformasi
Undang-undang Keluarga muslim termsuk Syiria dan Tunisia telah mengalami kemajuan.
Secara substansial kebijakan negara terhadap perempuan jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan substansi bangunan fiqih klasik. Dengan demikian usaha
interpretasi dan transformasi huku keluarga yang selaras dengan kebutuhan
masyarakat yang menjadi habitatnya mutlak diperlukan. Bukankah produk
fiqih-fiqih klasik merupakan hasil dialektika antara ulama dengan tuntutan
zamannya? Munculnya qaul qadim dan qaul jaded dari ualama
sekaliber Imam Syafi’i merupakan indikasi kuat bahwaa hukum Islam dibentuk dan
membentuk masyarakat.
Terakhir terkait dengan usaha reformasi nasib kaum perempuan (istri)
di Indonesia
sudah waktunya dipikirkan konsep hukum perkawinan yang berkeadilan gender.
Usaha ini tidak cukup hanya dengan slogan dan symbol-simbol kesetaraan, tetapi
mencakup dataran substansi perundang-undangan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward
an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Rights and International Law,
(terj.) Ahmad Suaedy, Dekonstruksi
Syari’ah I, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 190.
Abu Zahrah, Al-Ahwal al-Syakhshiyyah, ttp.
Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1957.
Abu Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Sarh
Manhaj al-Tullab, Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.
Ahamd Faiz, Dustur al-Usrah fi Zilal Al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-Risalah,
1983.
Ala’eddin Kharofa, Al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Bagdad: Mathba’ah al-Aniy, 1962.
Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam
Islam, Terj. Farid Wajdi dan Cici Farkha, Yogyakarta:
LSPAA, 1994.
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara
Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1998.
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, t.t.
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid fi Nihayah
al-Muqtashid, Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam,
terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1999.
B.
Lewis, CH. Pellat dan J.
Schacht, The Encyclopedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1983.
Jawab Mughniyyah, Al-Fiqh ‘ala Madzahib
al-Khamsah,terj, Afif Muhammad, Jakarta:
Basrie Press 1994.
John Ober Voll, Islam: Continuity and Change in
the Modern World, England; Westview, 1982.
Jhon L. Esposito, The Oxford
Encyclopdia of the Modern Islamic World, New York:
Oxford University Press, 195.
Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari’ah (Yogyakarta: LkiS,2003)
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di
Dunia Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 2005).
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara;
Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta:
LkiS, 2001)
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan,
Bandung: Mizan,
2000.
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami,
Jakarta; LKAJ,
1999.
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan (Yogyakarta: Tazzafa, 2005).
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara (Jakarta: INIS,2002).
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut:
Dar al-Fikr, `1977.
Syarbini, Iqna fi Hilli al-Faz Abi Shuja’, Indonesia;
Dar al-Ihya al-Kutb a-‘Arabiyyah, t.t.
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries,
New Delhi: Academy of Law
and Religion, 1987.
.-------------------, Family Law in The Muslim
World, Bombay:
N.M. Tripathi PVT. LTD., 1972.
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh wa Adillatuhu,
Damaskus: ar al-Fikr, 1989
Riwayat
Hidup Penulis
Nama :
Masnun Tahir, M.Ag
TTL :
Dasan Baru, Lombok Tengah, 27 Agustus 1975
Pekerjaan :
Dosen Tetap STIT Nurul Hakim, Kediri Lombok Barat, NTB
Pangkat/Gol. : Asisten Ahli/III B
Alamat :
Dasan Baru, Barabali, Lombok Tengah NTB.
Jenjang Pendidikan :
-
1982-1987 SDN Lendang Terong
-
1987-1990 MTS di Pon. Pes
“Uswatun Hasanah” Lombok Tengah
-
1990-1993 MAN.PK Mataram NTB
-
1994-1999 Fak.Syari’ah(PM) UIN Sunan Kalijaga
-
2000-2002 Pascasarjana S2 UIN Sunan Kalijaga
-
2005-….. Pascasarjana S3 UIN Sunan Kalijaga
Pengalaman Organisasi:
- Koord. Humas “IKAMANSA” Mataram-Yogyakarta 1994-1996
- Koord. Humas “Jamaah Ibnu Abbas IAIN Su-Ka” 1994-1996.
- Ketua Korp. “FORDINDA” PMII Rayon Fak. Syari’ah 1995-1996.
- Koord. Humas PMII Rayon Fak. Syari’ah 1995-1996.
- Koord. Humas “KOSPEHI” Fak. Syari’ah 1996-1997.
- Divisi Humas “Mading LACAK” Fak.Syari’ah 1996-1997.
- Ketua HMJ-PM Fak. Syari’ah 1996-1998.
- Pengurus BPM Fak. Syari’ah 1996-1998.
- Pengurus SMI IAIN Sunan Kalijaga 1996-1998.
- LITBANG PMII Kom. IAIN Sunan Kalijaga 1997-1998.
- Pengurus FORMASI Orwil DIY 1997-1998.
- Koord. Divisi Kerohanian Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Lombok (KPML) Yogyakarta 1995-1997.
- Ketua Umum Dewan Tanfiziyah Ikatan Alumni Pondok Pesantren Uswatun Hasanah (IKAPPUH) Batukliang, Lombok Tengah, NTB, 2000-Sekarang
- Ketua Umum DPAC-PKB Batukliang (2002-2007)
- Wakil Ketua PW-GP Ansor NTB (2004-2006)
- MABINCAB PMII Cab. Mataram 2004-20006
- Direktur Pendidikan Yayasan Pon.Pes Uswatun Hasanah (2004-Sekarang)
- Konsultan beberapa pesantren (Darul Atfal, Batukliang Utara, Qudwatun Hasanah, Nurul Hidayah, Sabilal Muhtadin NW, Islahul Anam NTB)
- Wakil Katib Syuriah PWNU NTB (2007-2012)
- Pembina LDMI IAIN Mataram
Prestasi
Akademik:
- Lulusan Terbaik I SDN Lendang Terong tahun 1987.
- Juara Umum I Lomba Cerdas Cermas P4 Tingkat Kec. Batukliang tahun 1989.
- Lulusan terbaik II KKM MTS Se-Kab. Lombok Tengah tahun 1990.
- Lulusan Terbaik I EBTA di Pondok Pesantren Uswatun Hasanah 1990.
- Lulusan Terbaik VI KKM MANSA Mataram 1993.
- Juara II Lomba Debat P4 IAIN Sunan Kalijaga Yogkarta 1995.
- Juara I LKTI (Lomba Karya Tulis Imiah) untuk DIY & Jawa Tengah Fak. Syari’ah 1998.
- Juara II Lomba Debat “Bukan Basa Basi” A Mild untuk DIY & Jawa Tengah Kategori Mahasiswa 1999.
- Wisudawan Terbaik dengan Comloude (3,79) Fak. Syari’ah, tahun 2002
- Wisudawan Terbaik dengan Comloude (3,72) Fak. Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2002
Karya Tulis Ilmiah :
-
Pemikiran TM.Hasbi
Ash-Shiddiqie Tentang Sumber Hukum Islam (Skripsi S1).
-
Wacana Pemikiran Pembaharuan
Hukum Keluarga Islam Di Indonesia: Studi Atas
Gagasan Kaum Islam Liberal Tahun 1970-2000, (Tesis S2)
-
Titi Singgung An-Naim dalam
Membelah Belantara Dogma Syari’ah (Suara Muhammadiyah, 1997).
-
Resensi Buku Tradisionalisme
Radikal (Banjarmasin Post, 1998).
-
Makna Strategis Ibadah Haji
(Buletin Amal Bakti, Depag NTB, 2004)
-
Paradigma Pemikiran
Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia: Sebuah Telaah Historis Politis (Jurnal
Istinbath IAIN Mataram, Januar-Juni 2004)
-
Faktor Kerelaan Istri Dalam
Rujuk; Perspektif Keadilan Gender (Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Januari-Juni
2004)
-
Pergeseran Paradigma Pemikiran
Fiqh Tuan Guru ((Penelitian Kolektif
IAIN Mataram 2005)
-
Perspektif Baru Fiqh Lintas
Agama (Jurnal El-Huda STAIIQH Bagu, Nopember 2005)
-
Dasar-dasar Pemikiran
Pembaharuan Liberalisme Hukum Islam di Indonesia (Jurnal Istinbath IAIN Mataram,
Desember 2005)
-
Pencarian Otentisitas Islam
Liberal di Indonesia ((Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Januari-Juni 2006)
-
Metodologi Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia (Jurnal Hermenia Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga, Januari-Juni
2006)
-
Paradigma
Baru Fiqh Muamalah di Indonesia (Penelitian Kolektif IAIN Mataram 2006)
-
Moralitas Agama atau Keagamaan
(Jurnal Tasamuh IAIN Mataram, Juni-Desember 2006)
-
Analisis Jender dalam Studi
Islam (Jurnal al-Qawwam, IAIN Mataram 2007).
-
Wacana Pemikiran Pembaharuan
Hukum Keluarga Islam Di Indonesia: Studi Atas
Gagasan Kaum Islam Liberal Tahun 1970-2000 (Antologi Tesis LKIM IAIN
Mataram)
-
Munawir Sadzali dan Pemikiran
Politik Islam di Indonesia (Yogyakarta:
Politea Press, 2007)
-
Islam dan Hubungan Antar Agama;
Pedoman Bagi Para Da’I (Yogyakarta: LKiS,
2007)
[1] Masnun Tahir, M.Ag: Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT)
Nurul Hakim, Kediri Lombok
Barat, NTB
[2] Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj.
Farid Wajdi dan Cici Farkha (Yogyakarta: LSPA, 1994), hlm. 3.
[3] Joseph Conrad membahasakan
dengan sangat nyata baginya setiap jelajah daerah baru (termasuk dunia Islam)
yang dilakukan barat adalah memberi sinar ruang yang gelap gulita.
[4] Pembahasan panjang tentang penerapan hukum keluarga Islam dan
pembaharuannya dapat dibaca pada karya Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga
Islam di Dunia Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 2005), hlm. 160-183. Juga Khoiruddin Nasution, Hukum
Perkawinan (Yogyakarta: Tazzafa, 2005).
[5] Keberanjakan ini dilihat sebagai bukti bagi terjadinya reformasi
hukum Islam yang radikal dalam bidang hukum keluarga. M. Atho Mudzhar, Membaca
Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberas, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1998), hlm. 12-13.
[6] Tahir Mahmood, Personal aw in Islamic Countries, (New Delhi:
Academy of Law and Religion, 1987), hlm.
[7] Ensiklopedi Indonesia,(Jakarta: Intermasa, 190)
artikel “Suriah”, hlm. 217. Juga Tahir Mahmood, Personal., hlm. 139.
[8] David Commins, “Syiria” dalam John L. Esposito, The Oxford
Encyclopedia of the Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 195),
Vol. IV. Hlm. 156.
[9] Ensiklopedi Indonesia.,hlm.
222.
[10] Tahir Mahmood, Personal.., hlm. 139.
[11] B. Lewis, CH. Pellat dan J. Schacht, The
Enciclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1983), Vol. III, hlm. 661.
[12] John L. Esposito, Ensiklopedi.., hlm. 272-273.
[13] Orang-orang Tunisia bersukubangsa Roman,
Vandal, Ara dan sebagian bergaris keturunan Berbr. Informasi lebih lanjut lihat
http://www.arab.net/tunisia
contents.html.
[14] Reeva S. Simon dkk. (Ed.), Encyclopedia of Modern Middle East, (New York: USA, 1996), hlm. 1974-1976.
[15] John P. Entelis, “Tunisia”
dalam John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic
Worlad, (New York: Oxford University Press, 1995), Vol. IV, hlm.235.
[16] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufron A.
Mas’adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 235. Juga John Ober Voll,
Islam: Continuity and Change in the
Modern World, (England: Westview Press, 1982), hlm. 99.
[17] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial..,hlm. 235-237.
[18] Tahir Mahmood, Personal…,hlm. 139.
[19] IIbid.
[20] Ibid., hlm. 141.
[21] Ibid., hlm. 152-154.
[22] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1977), II, hlm. 148.
[23] ‘Abdurrahman al-Jaziri, Kitab
al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut:
Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 190), IV, hlm. 485.
[24] Abu Zahrah, Al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (ttp, Dar al-Fikr
al-‘Arabi, 1957), hlm. 269. Juga M. JawabMughniyyah, Al-Fiqh al-Mazahib al-Khamsah,
terj. Afif Muhammad (Jakarta: Basrie Press, 1994), II, hlm. 112.
[25] Q.S. A th-Thalaq; 6.
[26] Q.S. Al-Baqarah; 233.
[27] Ala’eddin Kharofa, Al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (Baghdad:
Mathba’ah al-Aniy, 1962), I, hlm. 311-314.
[28] Tahir Mahmood, Personal.., hlm. 145. Lihat juga Ala’eddin
Kharofa, Al-Ahwal.., hlm. 302.
`[29]
Padahal Islam bukanlah agama yang pertama kali memperkenalkan poligami
sebagaimana yang dituduhkan barat. Akan tetapi poligami merupakan fenomena yang
telah lama dikenal dalam tradisi agama seperti Kristen, Yahudi dan Hindu. Safia
Iqbal, Woman and Islamic Law (New Delhi: Adam Publisher, 1994), II, hlm
96-97
[30] kelompok Syi’ah dan Dzohiriyah menafsirkan kata matsna wa tsulatsa wa
ruba’ lebih dari empat orang, karena waw pada ayat ini tidak berarti “atau”
melainkan berarti sibol penambahan bahkan ada yang mengatakan simbol perkalian
sehingga batas maksimum istri bisa lebih dari empat. Jadi rumusannya adalah:
2+3+4=9., karena huruf waw diartikan dengan tambah. Angka sembilan ini
dihubungkan dengan jumlah istri Nabi. Ada lagi yang berpendapat lebih banyak
dari itu, yaitu dg menggunakan rumus 2+2=4, 3+3=6, 4+4=8, sehingga menjadi
4+6+8=18. ada pula yang menggunakan rumus 2x3x4=24. bahkan ada yang tidak
membatasi batas maksimumnya karena kata “fankihu ma thaba lakum minannisa
” adalah lafadz yang berlaku mutlak, sedangkan angka sesudahnya bukanlah
pembatas (muqayyad) melainkan hanya keterangan untuk menghilangkan
kebingungan karena mukhatab yang mungkin menyangka bahwa menikahi lebih
dari satu orang adalah tidak dibolehkan. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah
(Beirut: Dar al-Fikr, 1983), II, hlm 96-97.
[31] Ibid….
[32] Mereka mengklaim bahwa Islamlah yang membawa ajaran tentang
poligami, bahkan ada yang secara ekstrem berpendapat bahwa jka bukan karena
Islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Sebuah pandangan yang
keliru, karena yang benar adalah bahwa masyarakat manusia di berbagai belahan
dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami. Lihat Musdah Mulia, Pandangan
Islam Tentang Poligami, (Jakarta: LKAJ, 1999), hlm. 3. Bandingkan dengan
Ahmad Faiz, Dustur al-Usrah fi Zilal al-Qur’an, (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1983), hlm. 178.
[33] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (New
Delhi: The Indian Law Institute, 1972) hlm. 272-275.
[34] Tahir Mahmood, Personal.., hlm. 157.
[35] John L. Esposito, Womewn in Muslim Family Law, (New York:
Syracuse University Press 1982), hlm. 92.
[36] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 104. Lihat Juga Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara (Jakarta: INIS,2002).
[37] Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan..., hlm. 185.
[38] Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan, 2000),
hlm. 177.
[39] Ibn Majāh, Sunan Ibn Majāh (Beirut: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, tt), I,
hlm. 650.
[40] Khoiruddin Nasution, “
Emansipasi Wanita: Dari Konsep Talak sampai Persamaan Hal. Makalah disampaikan
pada Diskusi Ilmiah Dosen Tetap Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Tanggal
14 0ktober, 1995, hlm. 5.
[41] Tahir Mahmood, Personal.., hlm. 147.
[42] Tahir Mahmood, Family…,
hlm. 109.
[43] Ibid. hlm. 102.
[44] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation; Civil
Liberties, Human Rights and International Law, (terj.) Ahmad Suaedy,
Dekonstruksi Syari’ah I (Yogyakarta:
LKiS, 1994).
[45] Baca Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara; Kritik Atas
Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta:
LkiS, 2001), hlm. 89-91.
[46] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adilatuh, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1989), X, hlm. 7380.
[47] Ibid. hlm.7831.
[48] Abdul Nasir Taufiq al-‘Attar, Taaddud al-Zaujat fi al-Syari’ah
al-Islamiyyah, (ttp: tnp, t.t), hlm. 43.
[49] Khiruddin Nasution, Riba…, hlm. 83.
[50] Jawad Mughniyah, Al-Fiqh.., hlm. 34.
[51] Dalam istilah Mahmud
Muhammad Thaha poligami merupakan bukan
ajaran Islam. Lihat Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari’ah (Yogyakarta: LkiS,2003), hl.167170.
[52] Musdah Mulia, Pandangan.., hlm. 50. Lihat Juga Nasr Hamid
Abu Zayd, Dekonstruksi Gender (Yogyakarta: Samha,2003), terutama tentang perempuan dan hukum kelurga: contoh
wacana legislasi di Tunisia.
[53] A.K. Brohi, “ Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Barat dan
Islam”, dalam Hak Asasi Manusia dalam
Islam, terj. Badri Yatim, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 56.
[54] Mengenai talak tiga
sekaligus ini telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama karena di
dalam sejarah prakteknya ada. Pada masa Nabi, Abu Bakar dan 2 tahun masa
khalifah Umar yang dihitung adalah satu, setelah itu terjadi maka yang berlaku
adalah jatuh tiga sekaligus. Menurut Ulama empat Mazhab, maka jatuh tiga,
sementara kalangan Syi’ah menghitungnya satu. Lihat Abu Zahrah, Al-Ahwal
al-Syakhshiyyah…, hlm. 356. Juga Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah…,
hlm. 233.
[55] Ibn Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid fi Nihayat al-Muqtasid, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), II, hlm. 45.
[56] Jawad al-Mughniyyah, Al-Fiqhu…,
hlm. 164.
[57] Informasi lebih lanjut
tentang hal ini baca Abu Shuja’, Matn al-Taqrib,(Indonesia: Dar Ihya al-Kutb
al-‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 47. Juga Al-Syarbini, Iqna fi Hilli al-Faz Abi
Shuja’, (Indonesia:
Toha Putra, t.t.), hlm. 438. Al-Sayyid Sabiq, Fiqh…, hlm. 212
[58] Al-Jaziri, Al- Fiqh…, hlm. 248-290. Al-Syarbini, Al-Iqna…, hlm. 145-153.
Abu Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Sarh Manhaj al-Tulab, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.), II, 72-90.
[59] Al-Baqarah; 231.
0 komentar:
coment after read! and comment with ethic!
habis baca jangan lupa comment! comment dengan etika