WACANA LIBERALISME DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
WACANA LIBERALISME
DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(Studi Atas Pemikiran Jaringan Islam Liberal Tahun 2000-2005)
Tekan ctrl + click salah satu iklan dibawah untuk lanjut membaca
push ctrl + click one of the banners below before continue reading
push ctrl + click one of the banners below before continue reading
PROPOSAL PENELITIAN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA
KULIAH
SEMINAR PROPOSAL DISERTASI
GURU
BESAR;
PROF.DR.HM.AMIN ABDULLAH
OLEH;
MASNUN
05.3.482.
PROGRAM
DOKTOR
PASCASARJANA
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2006
WACANA LIBERALISME DALAM PEMIKIRAN HUKUM
ISLAM
(Studi Atas Pemikiran Jaringan Islam Liberal
Tahun 2000-2005)
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam[1] merupakan
doktrin Islam yang paling inti dari keseluruhan ajaran-ajaran Islam lainnya.[2] Karena
hukum Islam tidak saja dipandang sebagai suatu aturan yang membimbing prilaku amaliah
keagamaan umat muslim, tetapi juga, merupakan penjelmaan konkret kehendak Allah
di tengah-tengah masyarakat.[3] Namun demikian, hukum Islam tumbuh dan berkembang dalam berbagai
situasi dan kondisi serta aspek ruang dan waktu,[4] sebagaimana disiplin keilmuan lainnya.[5] Berkembangnya hukum Islam di masyarakat merupakan konsekwensi logis
dari pertemuannya dengan fakta-fakta sosial dan inilah kemudian yang melahirkan
epistemologi hukum Islam (fiqh).[6]
Secara sosiologis, hampir keseharian hidup masyarakat muslim
dibingkai oleh hukum Islam, karena titik berat hukum Islam adalah pada
pengaturan hidup bersama manusia dalam tataran sosialnya, yang merupakan inti
dari ajaran hukum Islam,[7]
seperti keadilan, kesederajatan, kemanusiaan dan nilai-nilai humanistik lainnya.[8]
Namun demikian, nilai-nilai fundamental Islam tersebut dalam tradisi hukum
Islam klasik mengalami stagnasi. Hal ini setidak-tidaknya dikarenakan oleh
hilangnya upaya produktivitas dalam menterjemahkan muatan ideal hukum Islam itu
sendiri. Beberapa fakta, misalnya, ketentuan hukum Islam klasik yang memandang
kaum perempuan sebagai komunitas yang lemah,[9]
tak berdaya, dilarang untuk terlibat dalam ruang publik,[10] tidak diizinkan untuk menjadi kepala pemerintahan dan sebagai hakim.[11] Ketentuan hukum seperti ini, kata Muhammad Shahrûr sebagai akibat
dari pencabutan sifat keterbukaan, elastisitas doktrin Islam sendiri dan ini merupakan
kesalahan terbesar (teori) hukum (fiqh) Islam.[12] Maka tidaklah mengherankan, kalau Amina Wadûd Muhsin mengatakan
bahwa sharî’ah historis (historical
sharî’ah) telah membuat satu situasi dimana muslim laki-laki selalu berusaha
mendominasi perempuan dan mereka menikmati monopoli kekuasaan politik.[13]
Menurut Luţfi Syaukanie, penafsiran dan pemahaman keagamaan seperti
ini jelas tidak sejalan dengan semangat dasar Islam.[14]
Lebih jauh Luţfi Syaukanie menegaskan.
Islam menganggap berbagai penafsiran dan
pemahaman Islam yang dilakukan sebagian 'ulamâ' klasik banyak yang bertentangan
dengan semangat dasar Islam. Dalam soal hak-hak perempuan misalnya ada banyak
sekali persoalan yang harus disikapi dan dimaknai ulang, seperti masalah
warisan, kesaksian, pakaian, perlindungan, perkawinan dan lain-lain.[15]
Karenanya, kata Ulil Abshar Abdalla, doktrin
hukum seperti ini harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan dan
kemanusiaan sesuai dengan karakter ajaran Islam sebagai agama yang berkembang
sejalan dengan denyut nadi perkembangan manusia.[16]
Bahkan dalam banyak hal, menurutnya, sejumlah ketentuan hukum yang dipandang
sebagai doktrin agama sesungguhnya merupakan ekspresi budaya lokal Arab.
Bentuk-bentuk budaya Arab seperti jilbab, potong tangan, qişâş, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu
hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Larangan kawin beda agama sudah
tidak relevan lagi. Karenanya seluruh produk hukum klasik yang membedakan
antara kedudukan orang Islam dan non Islam harus diamandemen berdasarkan
prinsip kesederjatan universal dalam tataran kemanusiaan.[17]
Dalam uşûl
fiqh terdapat
kecendrungan kuat untuk mepersempit penalaran terhadap
ketentuan-ketentuan hukum Islam yang dipandang pasti (qaţ’î). Ini
terbukti dengan adanya kaidah
hukum yang diusung 'ulamâ’ seperti jargon, “lâ masâgha li al-ijtihâd fîmâ naşşun
şarîhun[18] yang melarang naş-naş qaţ’î al-dalâlah untuk disentuh
nalar yang, bagaimanapun, merupakan sebuah fakta intelektual untuk membatasi
penalaran atas doktrin Islam dan hukum Islam khususnya. Penutupan ijtihâd bagaimanapun,
justru dapat mengancam Islam itu sendiri dan menjadikan doktrin Islam tidak
akan aktual lagi.[19]
Penting dicatat, pembatasan[20]
dan penutupan[21] ijtihâd bukan
merupakan perintah al-Qur’ân, karena kitab suci Islam menegaskan;
siapapun dan tak satupun teks-teks keagamaan yang menghalangi kemajuan pemikiran.
Hasan Sho'ub menjelaskan.
Kitab
Islam selalu terbuka untuk orang-orang yang beriman. Kitab tersebut selalu
merangsang ijtihâd untuk melahirkan pengetahuan. Ijtihâd secara rasional
terhadap al-Qur’ân telah ada semenjak periode Rasul. Tak satu pun teks/naş yang menghalangi kemajuan pemikiran kita. Apalagi menghalangi
kebebasan pemikiran kita. Ijtihâd telah menjadi kewajiban yang tak
terbatasi, karena al-Qur’ân sendiri memang tiada batas. [22]
Ijtihâd bagaimanapun, merupakan upaya
pembaharuan dalam memahami agama. Pengabaian atas keterbukaan ijtihâd dan
ataupun membatasinya akan berakibat pada pembacaan teks agama dipandang suci,
pemahaman agama menjadi berwajah tekstualis-literalis, dan intoleran,[23]
menggiring umat Islam ke penjara fanatisme mazhab tertentu, membelenggu
otoritas penalaran inidividu,[24]
dan terkungkung oleh masa lalu yang pikirannya dipandang tidak dapat digugat.[25]
Kecendrungan semacam ini akan berimplikasi bahaya pada pengabaian atas hak-hak
dasar kitab suci untuk dipahami berdasarkan konteks yang tersedia dalam kitab
suci tersebut.[26] Sebuah
fenomena intelektual yang Muhammad Arkoun disebutnya sebagai taqdîs al-afkâr al-dinî.[27] Fakta
seperti ini terukir dalam sejarah, dimana tradisi ke-Islaman, hukum Islam
khusunya, cendrung legal-formalistik dan stagnan.[28]
Pada tataran inilah, lalu hukum Islam bertengger pada absolutisme,[29]
dan sakralitas teks-teks, hukum Islam (fiqh) menjadi terisolasi dari
realitas kesejarahannya dan membiarkannya sebagai kumpulan aturan yang tidak
mempunyai batasan masa lalu dan cendrung mengekalkan produk pemikiran manusia
yang semestinya temporal dan liabel terhadap perubahan.[30]
Konsekwensinya, hukum Islam pada gilirannya akan kehilangan relevansinya dengan
realitas kehidupan praktis.
Kesenjangan
antara aspek teoritis dan aspek praktis semakin menguat ketika memasuki abad ke
16, dimana arus modernisasi merasuki dunia Islam, baik dalam politik (imprialisme
politik) maupun intelektual (imprialisme epistemologi)[31] atau dominasi pengetahuan dan kekuasaan (knowledge and power) Barat.[32] Karenanya, pada abad ke 19 dan 20
masalah hukum Islam dan perubahannya menjadi isu utama, ketika kaum muslimin
menanggapi pengaruh modernisasi dan pembangunan dengan melakukan transformasi
ajaran Islam dan doktrin hukumnya.[33] Transformasi
yang dimaksud adalah dengan melakukan reinterpretasi[34] atas teks-teks Islam melalui instrumen ijtihâd yang berkesinambungan[35] untuk memahami pesan Tuhan (wahyu) tidak secara literal
saja, tetapi juga melalui pencarian makna esoterisnya.[36] Kontinuitas ijtihâd dalam Islam melambangkan tingkat keharmonisan
faktual antara dimensi waĥyu dan nalar, naql dan 'aqal.
Barangkali inilah makna ucapan Coulson "meskipun hukum dalam Islam
merupakan pemberian Tuhan, tetapi manusia yang harus memformulasikannya.[37]
Dalam
merespons berbagai tantangan perubahan tersebut, muncul usaha-usaha pembahruan
Islam seperti yang disuarakan oleh Muhammad bin Abdul Wahâb (abad 18 M) dengan
gerakan purifikasinya atas inspirasi intelektual Ibn Taimîyah.[38] Sementara abad ke
19 muncul tokoh Islam yang mencoba mendamaikan al-Qur’ân dengan akal yang
dipelopori oleh Jamâluddin al-Afghânî, Muhammad Abdûh,[39] Muhammad Iqbal[40] dan lain-lain. Sedang pada abad ke 20 muncul tokoh-tokoh Islam
progresif, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Hasan Hanâfi, Nasr Hamîd Abû
Zaid, Muhammad Abid al-Jâbiri, Mahmûd Muhammad Ţoha, Abdullah Ahmed al-Na’îm,
Sa’îd al-Asmâwi,[41] dan lain-lain. Bagaimanapun, karya-karya mereka telah mempengaruhi
pemikir-pemikir Islam Indonesia
dan menjadi rujukan mereka[42] dan pada umumnya mereka dipandang sebagai pemikir liberal dan
substansialis dunia Islam.[43]
Dalam
konteks Indonesia, wacana pemikiran liberal (liberalisme) Islam muncul sekitar
1970-an terutama pada pemikiran teologi Harun Nasution dengan “Islam rasional”
dan Nurcholish Madjid melalui gagasan “sekularisasi”-nya yang menegaskan bahwa
Islam itu modern, liberal dan rasional.[44] Demikian juga dalam konteks pemikiran hukum Islam, terdapat nama-nama
seperti Ibrahim Husen melalui gagasan “aktualisasi
ajaran Islam”,[45] Munawir Sjadzali dengan ”re-aktualisasi” dan ijtihâd kemanusiaan"-nya,[46] Sahal Mahfudh[47] dalam "fiqh sosial-nya,[48] dan lain-lainnya. Munculnya karya Greg Barton yang berjudul “The Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement of
Islamic Thought In Indonesia: A Textuals
Study Examining The Writing of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib
and Abdurrahman Wahid (1995), Charles Kurzman yang berjudul “Liberal Islam: A Sourcebook
(1998), Leonard Binder dengan Islamic Libralis: A
Critque of Development Ideologies (1988), dan David Sagiv yang berjudul Fundamentalism
and Intellectual (1995).
Fenomena
liberalisme[49]
Islam ini semakin ekstensif dan liberalis, dan mendapatkan tempat dikalangan
intelektual muda. Hal ini setidak-tidaknya ditandai dengan penolakan atas
pembatasan ijtihâd,[50]
atas doktrin Islam[51]
dan mereka adalah kalangan muda Nahdhatul Ulamâ’
(NU). Menurut Akhmad
Minhaji, munculnya kelompok pemikir liberal muda NU ini sebagai akibat ketidak
puasan terhadap tradisi yang berkembang di NU, maka merekapun “terpaksa keluar”
dari mainstream NU dan mengembangkan pikiran-pikirannya.[52]
Patut
dicatat, kehadiran pemikiran Islam liberal baru ini setelah reformasi bergulir dan genere dalam
peta baru pemikiran Islam yang tidak terikat oleh sekat-sekat mazhab pemikiran
keagamaan, sebuah generasi yang melampaui cara berpikir sektarian organisasi
maupun politik,[53]
yang bendera “resmi”-nya bernama Jaringan Islam Liberal, JIL,[54]
disaat terjadinya perubahan sosial-politik di Indonesia, dimana sejumlah
gerakan keagamaan garis keras seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam
(FPI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hisbut Tahrir dan lain-lainnya,
dan partai Islam menuntut pemberlakuan sharî’ah Islam,[55]
dalam proses penyelenggaraan negara sebagai bentuk aktualisasi cita-cita
gerakan mereka.[56]
Menurut Ulil Abshar Abdalla, bahwa upaya menegakkan sharî’ah Islam
adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam menghadapi masalah yang menghimpit
mereka dan menyelesaikan dengan cara rasional[57]
dan penolakan JIL ini mendapat dukungan kuat dari sejumlah pemikir Islam. Muslim
Abdurrahman, misalnya.
Apabila sharî'at Islam
diterapkan, maka yang menjadi korban, adalah; pertama, kaum perempuan. Ini karena banyaknya regulasi dalam Islam
dalam berbagai hal. Misalnya, soal pengenaan pakaian dan lain-lain, kedua, kelompok minoritas non-muslim.
Alasannya, saat ini kita sedang mencari tafsiran yang sesungguhnya kalau
syari’at Islam diterapkan dalam bentuk hidup bersama. Apakah kalau kita merujuk
ke Piagam Madinah, masih tergambar bahwa kelompok Islam berkuasa dan oleh
karenanya ada perlindungan. Sementara kelompok non-Muslim menjadi warga kelas
dua, dan ketiga, sebagaimana yang
terjadi di Sudan dan negara muslim lainnya, kalau syari’at Islam diterapkan
dengan asumsi hukum hudûd dilaksanakan secara konsisten, maka
orang-orang miskin menjadi korban peratama. [58]
Liberalitas
pemikiran keagamaan dan penegasian a-historisitas hukum Islam
memunculkan reaksi keras dari sejumlah akademisi, intelektual dan 'ulamâ’, sehingga dalam batas-batas
tertentu JIL diklaim sebagai ”Jaringan Iblis”,[59]
dan bahkan mereka dianggap sebagai perpanjangan tangan imprialisme global,[60]
yang menyesatkan.[61]
Gagasan
maupun ide-ide yang dilontarkan JIL sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang
baru dalam peta pemikiran Islam, namun karena gagasan-gagasan
yang mereka lontarkan tidak disertai dengan perangkat metodologis yang jelas
membuat sebagian orang bertanya dan bahkan dilingkupi kekhawatiran, terkesan
arbitrer dan kurang memperhatikan penarikan kesimpulan yang jelas.[62]
Selain itu, membiarkan polemik intelektual ini terus
berlanjut, memang akan melahirkan sosok JIL menjadi gerakan intelektual
keagamaan yang penuh misteri dan tidak akan pernah terlihat sosok yang
sesungguhnya. Karena itulah, akan menjadi lebih bermakna bila ditelusuri secara
mendalam dan kritis khusunya tentang hukum Islam akan dapat terungkap secara
lebih jelas terutama aspek metodologisnya dan pada
titik inilah penelitian ini menemukan signifikansinya.
B. Batasan Masalah
Secara
umum JIL mengusung isu-isu keagamaan seperti pluralisme agama, demokrasi, kebebasan
berpikir, Hak Asasi Manusia (HAM), keadilan gender, perkawinan beda agama,
kebebasan individu dalam ber-ijtihâd, pemisahan agama dengan negara, dan
deformalisasi sharî’ah dan lain-lainnya.[63]
Liberalisasi
atas doktrin-doktrin hukum Islam serta luasnya tema-tema yang diangkat JIL sebagaimana
disebutkan di atas, maka penelitian ini difokuskan pada pemikiran hukum Islam
JIL. Dari beberapa tema tersebut, penulis menentukan empat tema penting yang
secara konsisten terkait dengan disiplin pemikiran hukum Islam dan inilah
menjadi pertimbangan akademis penulis. Tema-tema dimaksud adalah,
kebebasan ber-ijtihâd, Islam dan deformalisasi sharî'ah, keadilan
gender serta perkawinan beda agama.
C.
Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian-urain yang penulis aktualisasikan di
atas, ada dua masalah yang menjadi kegelisahan akademik dalam penelitian ini; Pertama,
mengapa JIL menghendaki sebuah penafsiran yang berkontinunitas atas doktrin
hukum Islam serta apa yang menjadi landasan epistemologis penafsirannya? dan, kedua,
bagaimana metode JIL dalam menafsirkan doktrin hukum Islam ?
D. Tujuan Dan Kegunaan
Penelitian
ini bertujuan untuk; pertama, memahami landasan epistemologi penafsiran doktrin
hukum Islam yang digunakan JIL, dan kedua, menemukan bangunan
metodologis dan kerangka berpikir JIL atas doktrin hukum Islam. Sementara
kegunaannya, secara teoritis diharapkan menjadi khazanah intelektualitas
progresif dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Sedangkan dari sisi kegunaan
praktis diharapkan mampu memberikan perspektif metodologis pemikiran hukum
Islam yang non-konvensional di tengah-tengah kehidupan yang dibingkai dengan
pluralitas, baik agama, pemikiran, dan ideologi keagamaan.
E. Metode Penelitian
Penelitian terhadap gerakan
pemikiran keagamaan termasuk dalam penelitian sosial-budaya.[64]
Karenanya, dalam upaya menemukan pola pemikiran hukum Islam yang dikembangkan JIL
dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, maka dalam penelitian ini, penulis
perlu menegaskan jenis penelitian dan beberapa langkah yang harus dilakukan.
1. Jenis Penelitian
Sebagai sebuah penelitian
sosial-budaya, penelitian ini didesain dan diasumsikan sebagai jenis penelitian
kwalitatif dengan mengambil tema-tema hukum Islam, dan topiknya adalah JIL.
Dalam suatu penelitian kwalitatif, maka subyek peneliti menjadi instrumen untuk
menemukan data-data[65] yang
terkait dengan pemikiran hukum JIL.
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam tradisi penelitian
kwalitatif, biasanya menggunakan metode observasi partisipatif, wawancara
mendalam dan dokumentasi.[66] Dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Penggunaan
kedua metode ini mengingat, subyek penelitian ini adalah wacana pemikiran
keagamaan (hukum) Islam.
Metode dokumentasai akan dilakukan dengan
melacak sumber-sumber data yang terkait dengan pemikiran hukum JIL baik dalam
bentuk buku, majalah, jurnal, koran, internet dan sejenisnya yang secara
langsung berkaitan erat dengan topik bahasan dan bersumber dari komunitas JIL
sebagai data primer. Sementara data-data dari sumber lain yang memiliki
relevansi dengan pembahasan akan dijadikan sebagai data skunder. Untuk
menghindari bias interpretasi dalam penelitian ini, bagaimanapun, maka
data-data yang bersumber dari para penentang dan kontra JIL menjadi sesuatu
yang tak dapat dihindarkan.
Sedang
metode wawancara, peneliti akan menempuh wawancara tak terstruktur (wawancara
mendalam, deeph interview). Hal ini dilakukan untuk mencari imformasi
secara lebih jauh dan mendalam tentang pemikiran hukum JIL dengan mengikuti
pola snow ball sampling, yaitu pencarian data sampai menemukan titik
jenuh. Metode ini dilakukan dengan pertimbangan, bahwa imformenlah yang
memiliki otoritas dan kompetensi untuk memberikan imformasi yang diharapkan
peneliti. Dalam wawancara ini, peneliti akan mengambil beberapa orang tokoh
dari komunitas JIL yang memiliki kompetensi dengan tema-tema yang terkait
dengan pemikiran hukum Islam.
3. Teknis Analisis Data
Analisis data dalam
penelitian ini akan dilakukan setelah data-data diperoleh melalui wawancara
mendalam dan dokumentasi terkumpul. Kemudian data-data tersebut akan dianalisis
secara saling berhubungan. Dalam analisis data tentang pemikiran hukum JIL,
penulis akan menggunakan dua pendekatan yaitu sosiologis-historis[67] dan
hermeneutik-heuristik.[68] Pendekatan
sosiologis-historis dipergunakan sebagai upaya meneliti perkembangan suatu
pemikiran dengan melihat adanya pengaruh lingkungannya secara
kronologis-historis, sehingga dapat ditemukan ataupun ditangkap makna dan
maksud dari sebuah pemikiran, karena sebuah pemikiran tidak akan pernah
terlahir dari ruang hampa, terlebih lagi pemikiran hukum Islam tidak dapat
dilepaskan dengan situasi dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.[69] Dengan
kata lain, ide-ide, gagasan-gagasan, tindakan seseorang atau kelompok dapat
dilihat secara mendalam karena adanya faktor internalnya yang tertanam dalam
dirinya, tetapi juga faktor eksternalnya.
Sedangkan pendekatan hermeneutik sebagai
pisau analisis berusaha untuk memperoleh suatu pemahaman dengan melakukan
penafsiran terhadap data-data teks atau pemikiran. Dalam konteks ini, hermeneutik
dipergunakan untuk memberikan tafsir atas teks-teks keagamaan (hukum) Islam
yang ditawarkan JIL. Perndekatan ini akan diaplikasikan ketika membahas
pandangan hukum Islam JIL sebagai wacana intelektual yang muncul dari pemahaman
JIL terhadap doktrin Islam dan sekaligus sebagai respons terhadap situasi
konkrit yang mengitari dan dilihatnya. Sementara pendekatan heuristik
dipergunakan untuk menemukan suatu pemahaman baru dengan mendasarkan kepada
sejarah serta perkembangan yang terjadi dalam realitas sosial yang berkaitan
dengan permasalahan-permasalahan yang dibahas dan menjadi objek penelitian.
Dari beberapa
pendekatan yang telah disebutkan di atas dapat diharapkan akan dapat ditemukan
suatu pemahaman yang mendalam, holistik dan kritis atas pemikiran hukum Islam
yang ditawarkan oleh JIL. Karena seperti telah ditunjukkan, bahwa JIL hadir
dalam situasi perubahan sosial-politik Indonesia.
F. Definisi Konsep
Untuk menghindari
terjadinya kesalahpahaman, penafsiran dan pemaknaan terhadap beberapa istilah
kunci yang terdapat dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk dirumuskan
terma-terma berikut ini:
1.
Liberalisme adalah sebuah paradigma berpikir yang tidak terikat oleh otoritas
teks-teks literal, tetapi dicari pemaknaan yang terdalam sebagai tujuan moral
dan ideal ajaran Islam yang ditujukan sebagai upaya rasionalisasi ajaran Islam.
2.
Pemikiran keagamaan suatu istilah yang dipergunakan untuk
membedakannya dengan agama. Agama adalah produk Tuhan, sementara pemikiran keagamaan
adalah interpretasi seseorang terhadap pesan Tuhan yang tertuang dalam agama.
3.
Hukum Islam di sini adalah hukum yang merupakan hasil
interpretasi ahli hukum (fuqahâ) Islam terhadap sharî’ah.
4.
Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah suatu wadah Islam liberal
untuk mengkomunikasikan pandangan liberal mereka (komunitas Jaringan Islam Liberal,
JIL) tentang masalah-masalah sosial-keagamaan, seperti tentang pluralisme,
hak-hak kaum perempuan, kebebasan berpikir dan lain-lainnya.
G. Telaah Pustaka
Membicarakan pemikiran liberal
dalam konteks pemikiran Islam sudah cukup banyak ditulis para sarjana, baik
sarjana Islam mapun Barat. Beberapa karya dapat disebutkan, misalnya karya
Leonard Binder yang berjudul; Islamic Libralis: A Critque of Development
Ideologies,(1988) dan David Sagiv yang bertitelkan Fundamentalism and
Intellectual (1995). Kedua karya tersebut menggambarkan sebuah pertarungan
intelektual di negara-negara Islam antara Islam fundamentalis dengan Islam
liberalis. Dalam karyanya, L. Binder mencoba mengurai pemikiran liberal Islam.
Pokok penting yang diwacanakan Binder dalam karyanya adalah adanya sebuah
dialog terbuka antara dunia Islam dan dunia Barat, antara pemikiran Islam Arab
dan Barat. Binder tidak banyak mengungkapkan aspek hukum secara komprehensif
meskipun dia mengendepankan pola pemikiran liberal hukum seperti liberalisme dalam
politik Islam yang digagas oleh Ali Abdul Razîq, Ţarîq al-Bişri,[70] dan
pemikiran liberal lainnya. Binder menegaskan, bahwa Islam Liberal memahami al-Qur’ân
berkoordinasi dengan esensi waĥyu.
Bagi
muslim liberal, bahasa al-Qur’ân sederajat dengan hakikat wahyu, namun isi dan
makna pewahyuan pada dasarnya tidak bersifat harfiah-verbal. Karena
kata-kata al-Qur’ân tidak secara langsung mengungkapkan makna pewahyuan, maka
diperlukan upaya pemahaman yang berbasis pada kata-kata, namun yang tidak hanya
terbatasi oleh kata-kata, dan mencari apa yang sesungguhnya hendak diungkapkan
atau diwahyukan melalui bahasa.[71]
Sementara David Sagiv dalam
analisisnya menunjukkan, bahwa munculnya gelombang gerakan Islam fundamentalis
di Mesir merupakan reaksi balik dari kuatnya arus pemikiran liberal Mesir yang
terlalu mengagumi modernisasi dan membela westernisasi. Namun modernisasi
tersebut telah menyuburkan liberalisme dan budaya Barat yang dianggap sebagai
sarana untuk kompetensi. David Sagiv menyebutkan, beberapa pemikir seperti
Ahmad Luţfî al-Sayîd, Sa’ad Zaghlûl, dan Muhammad Husen Haikâl merupakan murid
Muhammad Abdûh, dengan cekatan dan bersemangat membela westernisasi.[72] Penting
dicatat, kehadiran para tokoh tersebut beserta karya-karya mereka telah
mendorong lahirnya gerakan pembebasan wanita dan penanggalan jilbab dan pakaian tradisional dan
lain-lain.
Kehadiran pemikiran liberal di
Mesir sebagaimana disebutkan di atas menuai perlawanan yang kemudian memunculkan
suatu gerakan balik yang disebut gerakan Islam fundamentalis yang secara tegas menolak
upaya pembebasan wanita, dan melarang mereka terjun ruang publik. Gerakan balik
ini dikomandani oleh Hasan al-Bannâ.[73] Selain
itu, Sagiv juga memperlihatkan pandangan-pandangan pemikir liberal Mesir yang
menolak proyek intelektual gerakan Islam fundamentalis yang ingin menegakkan sharî’ah
Islam di Mesir. Karya-karya tersebut sangat dipertimbangkan dalam penulisan
penelitian ini, terutama untuk melihat perkembangan pemikiran liberal Islam di
Timur Tengah. Selain dari dua tulisan yang membahas pemikiran liberal Timur
Tengah di atas, terdapat satu tulisan lain yang membahas potret pemikiran
liberal Timur Tengah adalah Luţfi Syaukanie.
Luţfi Syaukanie dalam tulisannya
mencoba membuat tipologi pemikiran Arab Islam, yang dibaginya menjadi tiga tipe
pemikiran.[74]
yang terdiri dari; pertama, transformatik.[75] Sebuah
proyek intelektual dari kelompok transformatik dengan menawarkan suatu metode
transformasi sosial. Kedua, reformistik[76]
yang menawarkan reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup
dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Dan tipe ketiga, ideal-totalistik.[77]
Proyek intelektual mereka adalah kembali kepada sumber asal yaitu al-Qur’ân dan
al-Hadîth, Islam yang dipraktekkan Nabi dan khalifahnya. Metode yang mereka
kembangkan sama dengan kaum tradisionalis.[78]
Sementara Charles Kurzman
(ed) dalam Liberal Islam: A Sourcebook yang telah merumuskan tiga bentuk
paradigma penafsiran pemikir liberal terhadap Islam; pertama, sharî’ah liberal (liberal shari’a).[79] kedua, sharî’ah yang diam (silent
shari’a),[80] dan, ketiga, sharî’ah yang ditafsirkan (shari’a interpreted).[81] Dari ketiga
paradigma interpretasi yang dipetakan Kurzman tersebut diharapkan dapat membantu
dan menghantar penulis untuk melihat potret pemikiran maupun bentuk
liberalisasi hukum Islam yang
dilontarkan JIL.
Sementara liberalisme pemikiran
keagamaan (Islam) Indonesia
telah menjadi isu intelektual yang menarik untuk dikaji. Hal ini setidak-tidak
dapat ditemukan dalam karya Greg Barton “The Emergence of Neo-Modernism: A
Progressive, Liberal Movement of Islamic Thought In Indonesia A Textuals Study Examining The Writing of
Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib and Abdurrahman Wahid (1995).
Barton menempatkan empat tokoh tersebut sebagai kelompok neo-modernis (liberal), karena
kemampuan pemikiran mereka yang memadukan cita-cita liberal progresif dengan
keimanan yang saleh. Barton telah membuat sebuah keputusan intelektual yang
meletakkan kemampuan kesarjanaan pemikir muslim Indonesia, yang disebutnya sebagai
kemampuan mengaitkan modernitas dengan khazanah klasik Islam.[82] Meskipun
Barton mengulas pemikiran hukum Islam, namun tidak dilakukan secara utuh,
sehingga yang nampak adalah selingan-selingan dan lebih pada pengaktualisasian
model berpikir liberal pemikir Islam Indonesia.
Menurut
Jalaluddin Rakhmat, kehadiran pemikiran liberal dalam hukum Islam disebabkan
oleh kegagalan kaum skriptualistik dalam menjawab tantangan zaman serta
perkembangan modernitas. Kegagalan tersebut disebabkan oleh; pertama,
dalam aqidah. Karena kaum skriptualisme menerima teks-teks al-Qur’ân dan
al-Hadith dengan apa adanya. Karenanya, mereka menolak ta’wil, mereka telah menolak telaah filosofis. Kedua,
skriptualisme menyingkirkan pengalaman mistikal dari kehidupan beragama,
ketiga, skriptualisme karena menolak wacana intelektual, mudah mendorong
orang kearah fanatisme. Mazhab yang lain dianggap menyimpang dari
al-Qur’ân dan al-Sunnah, keempat, skriptualisme terbukti tidak menjawab
berbagai masalah kontemporer, seperti masalah zakat profesi, dan kelima,
skriptualisme tidak menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang terjadi ketika
melakukan istidlâl dari naş-naş. [83] dan sebetulnya fiqh kaum pembaru mempunyai akar yang panjang dalam sejarah Islam,
pemikiran hukum Fazlur Rahman dan Ibrahim Husen menunjukkan liberalisme
pemikiran hukum yang ia sebut sebagai penjelmaan dari pemikiran rasional hukum ahl
al-ra’yi terutama mazhab Hanâfi.[84] Sementara itu, terdapat
sebuah tesis yang ditulis oleh Masnun tentang "Wacana Pembaharuan Hukum
Keluarga Islam di Indonesia: Studi Atas Gagasan Kaum Islam Liberal Tahun
1970-2000". Dalam hal ini Masnun mencoba melakukan eksplorasi
pemikiran liberal Islam Indonesia
dalam kaitannya dengan hukum keluarga dengan mengangkat beberapa pemikiran
tokoh seperti Ibrahim Husen, Munawir Syadjzali, Sahal Mahfudh.[85]
Membicarakan
pemikiran JIL dalam konteks pemikiran keagamaan Islam Indonesia, memang cukup menarik
perhatian dan telah menjadi isu-isu yang menyedot perhatian baik kalangan
kampus, cendekiawan dan bahkan ulamâ’.
Terdapat beberapa karya yang secara khusus membidik JIL. Sejauh ini ada
beberapa buku yang telah membahas JIL, misalnya karya yang ditulis Hartono
Ahmad Jaiz yang berjudul Bahaya Islam Liberal (2002), dan Aliran dan
Paham Sesat di Indonesia (2002). Fauzan al-Anshori menulis sebuah buku yang
berjudul Melawan Konspirasi Jaringan Islam Liberal (2003), Adian Armas,
dengan judul, Pengaruh Kristen-Orientalisme Terhadap Islam Liberal Dialog
Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal (2003). Adian Husaini dan
Nuim Hidayat yang berjudul, Islam Liberal Sejarah, Konsepsi Penyimpangan dan
Jawabannya (2002). Lutfi Bashari menulis Islam Liberal
Musuh Besar Islam (2003). Buku-buku tersebut secara umum merupakan bentuk
kritik terhadap model pembacaan JIL terhadap Islam yang mereka anggap sebagai
kekeliruan dan penyimpangan pasti atas ketentuan al-Qur’ân, al-Sunnah
dan ijtihâd 'ulamâ’. Dan yang menonjol dari karya-karya mereka adalah
bantahan-bantahan atas pemikiran keagamaan JIL dan Islam Liberal lainnya karena
telah menundukkan al-Qur’ân atas akal.[86] Menurut
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, kehadiran kelompok liberal Indonesia adalah untuk menghancurkan
“Islam fundamentalis” dan penghancuran sharî’ah Islam.[87]
Dari
perspektif ini, karya-karya tersebut dapat dikatakan sebagai reaksi intelektual
atas kehadiran pemikiran liberal yang diusung JIL. Karya lain yang menulis
tentang JIL diedit Zulmanni, yang bertitelkan Islam Liberal dan Fundamental:
Sebuah Pertarungan (2003). Namun, karya tersebut hanya mengulas kontroversi
seputar gagasan dan pemikiran Ulil Abshar Abdalla dan Jaringannya. Karya
tersebut dapat disebut sebagai sebuah antologi wacana pemikiran tentang JIL dan
Islam Fundamental. Dari keseluruhan tulisan-tulisan tersebut, yang tampak
adalah pertarungan wacana. Zuly Qadir menulis sebuah karya yang secara khusus
mengulas perkembangan pemikiran Liberal Indonesia termasuk JIL, Islam
Liberal: Paradigma Baru, Wacana Dan Aksi Islam Indonesia (2003). Zuly Qadir
hanya menjelaskan perkembangan pemikiran Islam liberal di Indonesia termasuk
sejarah kelahiran dan gagasan-gagasan JIL yang ia sebut sebagai gerakan
intelektual yang tidak terikat oleh sekat-sekat mazhab pemikiran tertentu.[88] Meski
demikian, tulisan-tulisan tersebut juga tidak menyentuh aspek substansial
pemikiran hukum JIL.
Kamaruzzaman
Bustaman Ahmad dalam bukunya yang berjudul Islam Historis Dinamika Studi
Islam di Indonesia (2002) dan Wajah Baru Islam di Indonesia (2004).
Dalam bagian tulisannya membahas kemunculan anak-anak muda NU yang berwajah
liberal. Menurutnya, generasi muda NU liberal sebagai generasi muda yang
“dilindungi” oleh Gus Dur. Beberapa pemikiran mereka terkadang berbenturan
dengan generasi tua NU, namun mereka memilih jalur defensif.[89] Secara
umum, keseluruhan karya-karya tersebut tidak membahas pemikiran hukum JIL. Disisi
lain, penulis juga menemukan beberapa tulisan yang menyoroti JIL. Tulisan
tersebut antara lain adalah tulisan Teuku Kemal Fasya yang berjudul Mengamati
Islam Liberal. Menurutnya, gerakan Islam Liberal yang berkembang
akhir-akhir ini terlihat menyerupai gerakan politis yang mengosongkan sesuatu
yang sacred dari pemeluk agama malah menjadikan agama tidak dikenali
lagi.[90] Sementara
tulisan Haidar Bagir yang berjudul Islib Butuh Metodologi. Dalam
analisisnya, kalangan Islam Liberal lebih menunjukkan ber-Islib-ria daripada
merumuskan kerangka metodologi,[91] merupakan
kritik atas JIL yang hanya berwacana dan tidak menunjukkan kerangka metodologis
pemikiran keagamaan mereka.
Sementara itu, Ratno
Lokito melihat apa yang dilakukan oleh JIL sebenarnya adalah berusaha
meletakkan dan membuat distingsi antara ajaran yang profan dan yang sakral
dalam hukum Islam. Bahwa dalam Islam bukan tidak mungkin terdapat unsur budaya
yang sangat mempengaruhi hukum Islam. Berkenaan dengan shari'ah sebagai
salah satu inti ajaran Islam, sebetulnya Jaringan Islam Liberal ingin
merefleksikan kembali pendapat bahwa institusi hukum dalan Islam senantiasa
bertalian dengan tradisi tempatan masyarakat.[92]
Berbeda dengan Ratno
Lukito, Ahmad Gaus AF, menyatakan bahwa pemikiran apapun bentuknya dan
pandangan yang dikedepankan JIL misalnya, harus dilihat sebagai sebuah respons
terhadap suatu kondisi yang sedang terjadi. Demikian juga pemikiran yang
terlahir dari Jaringan Islam Liberal, yang sesungguhnya menampilkan dan
menunjukkan bahwa sebuah pemikiran merupakan tuntutan semangat zaman dan karena
itu, sebuah ancaman atas sebuah pemikiran adalah kemunduran. Ancaman serius
bagi setiap pemikiran keagamaan adalah kemandekan, kebuntuan dan ketiadaan
semangat inovasi. Kondisi semacam ini akan menyebabkan agama kehilangan
relevansinya dengan zaman dam masyarakat yang terus berubah. Pemikiran
keagamaan dalam bentuk tafsir, teologi, dan lebih-lebih hukum (fiqh),
bagaimanapun, merupakan hasil interaksi dengan semangat zamannya.[93]
Terdapat dua tulisan yang secara khusus menyoroti ijtihâd Islam
liberal, Ahmad Zahro menulis dengan judul “ijtihâd” Jaringan Islam Liberal.
Menurut Ahmad Zahro, sebuah ijtihâd tidak dapat dibatalkan oleh ijtihâd lain. Namun,
sebuah ijtihâd yang hendak dilakukan seharusnya mengikuti persyaratan
ijtihâd yang telah ada. Zahro sangat mengkhawatirkan, kalau JIL kemudian
meliberalkan ijtihâd, dalam pengertian tidak nemandang perlu adanya
persyaratan ijtihâd yang rumit.[94] Menurut Muhammad Nasih, ijtihâd Islam liberal adalah ijtihâd yang
memandang dan menekankan pada aspek religio-etik, bukan hanya pada makna-makna
literal teks-teks keagamaan.[95] Suatu cara berpikir yang berdasarkan pada semangat dasar Islam
sebagaimana telah ditunjukkan oleh ‘Umar bin Khaţţâb.[96] Identitas Islam liberal mempunyai geneologi yang panjang, yaitu ‘Umar
bin Khaţţâb, karenanya dalam memahami Islam, Islam liberal mendasarkan diri
pada pencapaian makna yang terdalam dalam semangat al-Qur’ân sebagaimana
dicontohkan ‘Umar bin Khaţţâb[97], sebagaimana juga Islam literal lainnya. Demikian ditegaskan Ahmad
Sahal.[98] Dengan demikian, posisi penelitian ini merupakan penelitian pertama
tentang pemikiran hukum JIL.
Sedangkan
karya-karya yang dijadikan rujukan dalam penulisan ini adalah karya-karya dari
komunitas JIL. Penulis mengakui, karya-karya tersebut sebagian besar masih
dalam bentuk makalah seperti Islam Liberal tulisan Muhammad Nasih, Islib
Butuh Metodologi tulisan Hamid Basyaib, Menegaskan Humanisme Islam oleh
Noviriantoni, Menghindari “Bibliolatri” Tentang Pentingnya Penyegaran Islam,
Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Waĥyu Progresif, Membakar Rumah Tuhan,
karya Ulil Abshar Abdalla, Hijabisasi Perempuan Dalam Ruang Publik, tulisan
Nong Daral Mahmuda, dan beberapa karya lain dari aktvis JIL, seperti Sharî’ah
Islam Liberal Pandangan Muslim Liberal, Burhanuddin (ed), Wajah Liberal
Islam di Indonesia, dan beberapa karya
lainnya, yang secara langsung terkait dengan pemikiran aktivis JIL,
seperti Pengaruh Keristen-Orientalis
Terhadap Islam Liberal : Dialog Interaktif Dengan Aktivis Jaringan Islam
Liberal, karya Adian Armas, Fiqh Lintas Agama dan lain-lainnya.
H. Kerangka Teoritik
Dalam diskursus pemikiran,
pemikiran keagamaan (Islam) di atas permukaan muncul seiring dengan isu
kebangkitan Islam. Sekalipun pada kenyataannya tidak terlepas dari tantangan.
Liberalisme pemikiran keagamaan juga mengalami hal yang sama. Karenanya, ia
terkadang berada pada posisi yang dipertentangkan. Meskipun demikian,
liberalisme tidak selamanya mengandung makna pejoratif, tetapi sebagai
sebuah model berpikir bebas dan terbuka yang tidak terikat oleh teks-teks
literal. Dalam terminologi L. Sills David liberalisme sebagai sebuah model
berpikir dan berekspresi yang merefleksikan suatu model berpikir yang tidak
terikat oleh ketentuan otoritas.[99]
Menurut sebuah teori, suatu
kegiatan intelektual yang memancar dari suatu kegelisahan tidak dapat
dipisahkan dari problematika yang melingkupinya.[100] Dengan
kata lain, sebuah konstruksi pemikiran yang muncul harus dipandang sebagai
respons dan dealektika pemikiran dengan berbagai fenomena yang berkembang di
masyarakat.[101]
Dalam bahasa Joachaim Wach, bahwa sebuah pemikiran terlebih lagi pemikiran
keagamaan tidak dapat dilepaskan dari beberapa konteks, konteks waktu, konteks
ruang, konteks sejarah, konteks sosial, konteks budaya, konteks psikologis dan
konteks agama.[102] Dalam
perspektif ini, penulis akan menggunakan konteks sosial dan konteks agama.
Penggunaan dua konteks ini
didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa kedua konteks tersebut memiliki
relevansi dengan tema-tema yang dibahas dalam penelitian ini, terlebih lagi JIL
sebagai sebuah gerakan intelektual keagamaan muncul dalam situasi perubahan
sosial-politik dan mengerasnya tuntutan formalisasi sharî'ah yang
didukung oleh sejumlah gerakan Islam fundamentalis.
Munculnya berbagai bentuk
pemikiran, termasuk pemikiran dalam hukum Islam, bagaimanapun, mensyaratkan
adanya penalaran dan penalaran itu tidaklah keluar dari sebuah ruang hampa, dan
bahwa ijtihâd dilakukan dalam upaya menggali hukum dari sumber hukumnya
untuk memperoleh jawaban terhadap suatu masalah yang muncul dalam masyarakat.
Dalam konteks inilah, maka suatu ijtihâd harus diletakkan dalam kerangka upaya
untuk menemukan ke-maslahatan yang tetuang dalam suatu hukum.
Itulah sebabnya, tawaran ijtihâd
apa pun yang bisa menjamin terwujudnya ke-maslahatan kemanusiaan dalam
hukum Islam adalah sah, dan umat Islam terikat untuk mengambilnya dan
merealisasikannya.[103] Hukum
Islam yang ditetapkan pada masa lalu ditetapkan berdasarkan pada kemaslahatan
pada ketika itu. Sedangkan masa sekarang, penetapan hukum berdasarkan pada
kemaslahatan masa sekarang. Sebab, kemaslahatan telah mengalami perubahan. Dan
itulah barangkali makna penting qa’idah fiqh yang menyatakan,
لاينكر تغيير الأ حكام بتغير الأزمان
والأمكان والأحوال[104]
Dalam
rangka menyelesaikan problem modernitas dalam hukum Islam paling tidak terdapat
tiga kecendrungan arus pemikiran hukum dikalangan umat Islam, pertama,
aliran ortodoksi, aliran ini secara eksplisit menolak segala bentuk pembaharuan
hukum Islam. Aliran ini berargumen, bahwa hukum Islam telah mampu menghadapi
realitas apapun, dan realitaslah yang harus tunduk kepada hukum. Dalam konteks
ini, aliran ini melihat hukum Islam sebagai sebuah keputusan Tuhan yang, trans-historis,
teocentris, tidak mengalami perubahan sedikitpun. Karenanya, hukum tersebut
harus diterima secara pasti tanpa melalui pertimbangan rasional (ta’abbudi).[105] Oleh sebab itu, aktualisasi rasional tidak memiliki otoritas
apapun, akal tidak memiliki daya untuk menterjemahkannya dan tidak terpengaruh
oleh suatu perubahan apapun.
Kedua, aliran yang melihat
hukum Islam sebagai sesuatu yang menyimpan dan memiliki hikmah (tujuan).
Karenanya, akal dapat memainkan peranan dalam menterjemahkan hukum itu sindiri.
Namun demikian, perubahan terhadap hukum Islam hanya pada wilayah-wilayah hukum
berkategori zannîy. Aliran ini sering disebut sebagai aliran
reaktualisasi. Dengan kata lain, kemampuan akal hanya terbatas pada penafsiran naş-naş
yang mengandung makna ambigui. Dalam menangkap hukum Islam, paradigma yang
digunakan adalah setiap hukum itu mempunyai maksud dan tujuan. Paradigma
seperti ini sering disebut sebagai ta’aqquli,[106]dan
ketiga, aliran sekuler, aliran beranggapan bahwa hukum Islam tidak siap
untuk menerima perubahan, karenanya harus diganti dengan hukum Barat.[107] Diantara
ketiga aliran ini, muncul suatu aliran yang tidak masuk dalam kategori aliran
ketiga. Namun aliran ini secara tegas mengkritik aliran yang kedua yang dipandangnya
sebagai telah gagal mendamaikan hukum Islam dan tantangan modernitas. Namun,
aliran ini sama sekali tidak ingin jatuh kepada aliran sekularistik maupun
aliran pertama yang sama sekali tidak memperdulikan realitas dengan problem
modernitas hukum Islam. Beberapa pemikir yang termasuk dalam aliran ini dapat
disebutkan nama-nama seperti Mahmud Muhammad Ţhoha, Abdullah Ahmad al-Na’îm,
dua pemikir ini banyak dijadikan refren kalangan Islam Liberal.
I. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini
direncanakan dalam enam bangunan bab, yang terdiri dari; pendahuluan, sebagai
bab pertama, sebuah rencana sistematika yang mencoba memberikan
diskripsi tentang bangunan hukum Islam yang hendak dibangun oleh JIL, serta
landasan metodologis yang ditawarkan, sehingga pembaca dengan segera dapat
menangkap pesan intelektual yang terdapat dalam karya peneltian ilmiah ini.
Sementara bab kedua, menampilkan potret pemikiran liberal dalam sejarah
guna mendapat imformasi tentang adanya paham liberalisme dalam pemikiran
keagamaan Islam dan sekaligus juga untuk menemukan keterkaitan roh intelektual
Jaringan Islam Liberal dengan pemikiran Liberal Islam lainnya. Bab ketiga,
dalam bab ini tawaran yang diajukan potret dari setting historis intelektual
JIL. Dalam bab ini diharapkan dapat dilihat pengaruh sosial-politik yang
mendorong kelahiran JIL.
Bab keempat,
mencoba melihat sisi liberalisasi terhadap beberapa tema pemikiran hukum JIL,
dari tema-tema tersebut akan dapat ditangkap tingkat liberalitas JIL dalam
menafsirkan hukum Islam, bab kelima, berisi tentang ijtihâd sebagai
instrumen penalaran dan liberalisasi hukum Islam, dan bab keenam,
penutup yang berisi kesimpulan dan saran serta rekomenmdasi bagi pencarian
sebuah teori baru dalam pemikiran hukum Islam yang, kiranya patut dipertimbangkan
dan berguna sebagai landasan untuk membangun hukum yang berwawasan
non-konvensional.
RANCANGAN DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Batasan dan Ruang Lingkup Masalah
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
E. Telaah Pustaka
F. Kerangka Teoretik
G. Metode Penelitian
H. Sistematika Pembahasan
BAB II: LIBERALISME PEMIKIRAN ISLAM DALAM SEJARAH
A. Pemikiran Liberal Dalam Islam
B. Transformasi Pemikiran Liberal Islam Ke Indonesia
C. Potret Pemikiran Liberal Islam Indonesia
BAB III: HISTORISITAS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
A Sejarah Kelahiran Jaringan Islam Liberal
B. Jaringan Islam
Liberal dan Pergumulan Intelektual Keagamaan di Indonesia
C. Jaringan Islam
Liberal: Potret Baru Islam Liberal Indonesia
BAB IV: LANDASAN EPISTEMOLOGI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM JIL
A. Argumen Teologis dan Sosiologis Pemikiran Hukum Islam JIL
B. Dasar-Dasar Teoritis
C. Metodologi Pemikiran
BAB V: TEMA-TEMA GAGASAN LIBERALISASI HUKUM ISLAM JIL
A. Islam dan Kebesan Ijtihad
B. Islam dan Deformalisasi Syari’ah
C. Islam dan Keadilan Gender
D. Perkawinan Beda Agama
BAB VI: PERSPEKTIF KRITIS TERHADAP LIBERALISME PEMIKIRAN HUKUM JIL
A. Respon Terhadap Ide-Ide Liberalisme Pemikiran Hukum JIL
B. Masa Depan Liberalisme Pemikiran Hukum Islam JIL
BAB VII: PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran-Saran dan Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA
Abdalla, Ulil
Abshar, “Liberalisme dan Fundamentalisme Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”,
dalam Talk Show Dan Seminar Nasional
Mengadili Islam Liberal, diselenggarakan oleh Pesanteren Mahasiswa
al-Nur dan Harian Bangsa, Jumat, 28 Pebruari, 2003.
---------. “Menyegarkan
Kembali Pemahaman Islam”, dalam Kompas, 18 November, 2002.
---------. Membakar Rumah Tuhan Pergulatan Agama Privat dan Publik,
Bandung: Rosda,
2000.
Abdullah, Amin,
"Keimanan Universal Di Tengah Pluralisme Budaya", dalam, Ulumul
Qur'an, No.1, Vol.VII, Jakarta,
1993.
---------. "Religious
Humanism Versus Sculer Humanism Toward a New Spritual Humanism", dalam, Makalah,
disampaikan pada International Seminar on Islam and Humanism: Universal
Kritis of Humanity And the Future of Religiousity, Semarang Indonesia,
IAIN Walisongo, 2-8 November 2000.
---------. Studi Agama: Normativitas Atau Historisitas? Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Abdurrahman, Muslim, “Korban Pertama Dari
Penerapan sharî’at adalah Perempuan”, dalam, Jawa Pos, 16 September, 2001
AF. Ahmad
Gaus,”How Liberal Can You Go?”, dalam, Zulmanni, Islam Liberal dan Fundamental Sebuah Pertarungan, Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003.
Ahmad, Kamaruzzaman
Bustaman, Islam Historis Dinamika
Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta :
Galang Press,2002.
---------. Wajah
Baru Islam di Indonesia, Yogyakarta:
UII Pres, 2004.
al-Jabîri,
Muhammad Abid, Iskâliyat al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’âşir, Bairût: Markaz Dirasah
al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989.
Amal, Taufiq Adnan, Islam
dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1992.
al-Mâliki, Ahmad al-Şâwi, Hâsiyah
al-'Allâmah al-Şâwi 'Ala
Tafsîr al-Jalâlain, I, Ttp: Dâr al-Fikr, tt.
al-Na’îm,
Abdullah Ahmed, “Toward an Islamic Reformation: Islamic Law in History and
Society Today, dalam, Nourani Uthman (ed), Shari’a Law and The Modern
Nation-State A Malaysian Symposium, Malaysia, Kualalumpur : SIS (Berhad)
Forum, 1994.
al-Nabhani, Muhammad Faruq, al-Ittijah al-Jāma’i Fi al-Tashri’
al-Iqtişād al-Islamy, Ttp.: Muassasah al-Risâlah, tt.
al-Şabûni, Muhammad 'Ali, Şafwat al-Tafâsîr,I, Bairût: Dâr al-Fikr, 1976.
al-Shairazi, Abû Ishâq, al-Luma’
Fi Uşûl al-Fiqh, Libanon: Dâr al-Kutub, 475 H.
Ash-Shiddieqy, Hasbi,
Syari’ah Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
---------. Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
al-Qurthubi,
Sumanto KH. Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia,
Yogyakarta: Cermin, 1999.
al-Zuhaili, Wahbah,
al-Fiqh al-Islam Wa Adillathu,VI, Damshîq: Dâr al-Fikr, 1989
---------. Uşûl
al-Fiqh al-Islâmy,Vol.2. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986.
Azhar,
Muhammad, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neo-Modernisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Bagir,
Haidar, “Islib Butuh Metodologi”, dalam,
Republika, Rabu, 22 Maret 2002.
Basyaib, Hamid, ”Islib Butuh Metodologi:
Tanggapan Untuk Haidar Bagir”, dalam, Republika, 23-Maret, 2003.
Coulson, Noul J. A History of Islamic Law,
Edinburgh: The University Press, tt.
---------. Conflict
and Tensions in Islamic Jurisprudence, Chicago: The University
of Chicago Press, 1969
el-Fadl, Khaled Abou, Atas Nama Tuhan Dari Fikih
Otoriter ke Fikih Otoritatif, (terj). R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta. Serambi, 2004.
---------. Cita
dan Fakta: Islam Puritanisme Versus Pluralisme, (terj). Heru Prasetia Bandung: Mizan Arsy, 2003.
---------. Melawan
"Tentara Tuhan" Yang Berwenang dan Yangf Sewenang-wenang Dalam Wacana
Islam, (terj). Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Esposito, John
L. Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, (terj) Alawiyah Abdurrahman,
Bandung:
Mizan,1996.
Fasya, Teuku
Kemal, “Mengamati Islam Liberal”, dalam, Kompas, Rabu, 27
Maret 2002.
Fauzi,
Ilyas Supena dan M. Dekonstruksi
dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta:
Gema Media, 2002.
Hallaq, Wael B.
Sejarah Teori Hukum Islam, (terj), E. Kusnadininggrat dan Abdul
Haris bin Wahid, (Jakarta:
Grafindo Persada, 2001.
Hidayat, Adian
Husaini dan Nuim, Islam Liberal Sejarah, Konsepsi Penyimpangan dan
Jawabannya, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Hidayat,
Kamaruddin, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam J.Hendrik Meuleman (peny),
Tradisi Kemodernan dan Meta Modernisme, Yogyakarta: LKiS, 1996.
http/www.Islamlib.com/id/
php “Tentang Jaringan Islam Liberal” diakses pada 27 Februari, 2004.
http/www.islamlib.com/id/page.page.php?page=aticle&id
diakses pada 27 Februari, 2004.
Ibn al-Qaiyîm, I’lâm
al-Muwâqî’in ‘An Rab al-‘Âlamîn, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999.
Iqbal,
Muhammad, Membangun Kembali Alam Pikiran Islam, Jakarta: Bulan Bintang 1966.
Jaiz,
Hartono Ahmad, Aliran Dan Paham Sesat Di Indonesia, Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 2003.
---------.
Bahaya Islam Liberal, Jakarta:
Pustaka al-Kausar, 2002.
Kamali, Muhammad Hasim, Principles of Islamic
Jurisprudence, Cambridge:
Islamic Texts Society, 1991.
Kamaruddin, Kamaruddin dan Tjuparmah, Kamus
Istilah Karya Ilmiah, Jakarta:
Bumi Aksara, 2000.
Kamîl, Musâ, al-Madkhal
Ila Tashrî’ al-Islāmy, (Bairût: Muassasah al-Risâlah, tt.
Kathîr, Abû
al-Fida Ibn, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm,II, Kairo: Dâr al-Fikr, tt.
Khallâf, Abdul
Wahâb, Maşâdir al-Tashrî’ Fîmâ La Naşşa Fih, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1972.
Kurzman, Charles (Ed). Islam
Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, (terj),
Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Jakarta:
Paramadina, 2001.
L. Sills,
David, (ed),“Liberalism”, dalam, International Encyclopedia of Sosial
Science,Vol.9, New York
: The Mac Millan Company, 1968.
Liddle, R.
William, ”Skriptualisme Media Dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik
Islam Masa Orde Baru”, dalam, Ulumul Qur’an, No.3, 1993.
Lukito, Ratno,
“Memahami Kontroversi Tulisan Ulil Abshar Abdalla”, dalam, Zulmanni, Islam Liberal dan Fundamental Sebuah Pertarungan, Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003.
M. Zein, Satria Effendi, “Munawir Sjadzali dan
Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam, Muhammad Waĥyuni Nafis dkk, Kontekstualisasi
Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Jakarta:
Paramadina, 1995.
Madjid,
Nurcholish, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.
Mahfudh, M.
Sahal, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta:
LKiS, 1994.
Mas’udi, Masdar
Farid, “Meletakkan Kembali Maslahah Sebagai Acuan Sharî’ah”, dalam Ulumul
Qur’an, No.3. Vol.VI, 1995.
---------.
“Pemikiran Fiqih: Formalitas atau Maslahat?" dalam, Majalah Bangkit,
No.2 Januari-Februari,1993.
Masnun, Wacana
Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi Atas Gagasan Kaum Islam
Liberal Tahun 1970-2000,
Yogyakarta: IAIN SUKA, 2002.
Minhaji,
Akhmad, “Menatap Masa Depan Hukum Perkawinan Islam”, dalam Makalah,
IAIN-SUKA, Yogyakarta, 22-23 September, 1997.
---------. “Supremasi
Hukum dalam Masyarakat Madani (Perspektif Sejarah Hukum Islam)”, dalam, Unisia,
No.41, 2000.
Misrawi,
Zuhairi, “Dekonstruksi Sharî’ah: Jalan Menuju Desakralisasi, Re-Interpretasi
dan Depolitisasi”, dalam, Tashwir Afkar, Edisi No.12, 2002.
---------.
“Menyoal Tradisi Untuk Liberalisasi”, dalam, Kompas, Jumat, 26 September 2003.
Mudzhar, Atho’,
“Fiqh Dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam, Budhy Munawar Rachman (ed), Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta:
Paramadina, 1995.
Muhsin, Amina
Wadud, “ The Qur’an, Shari’a and the Citizenship Rights of Muslim Women in the
Umma”, dalam Nourani Uthman (ed), Shari’a Law and The
Modern Nation-State A Malaysian Symposium, Malaysia, Kualalumpur: SIS (Berhad)
Forum, 1994.
Mulyana, Deddy,
Metodologi Penelitian Kwalitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya, Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2001.
Muzaffar, Chandra "Reformation of shari'a or Contesting
the Historical Role of the Ulama?" dalam, Nourani Uthman (ed), Shari’a
Law and The Modern Nation-State A Malaysian Symposium, Malaysia,
Kualalumpur: SIS (Berhad) Forum, 1994.
Nafis, Muhammad
Waĥyuni, Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir
Sjadzali, MA, Jakarta: Paramadina, 1995.
Nasih, Muhammad, Islam Liberal" dalam Suara
Merdeka, 28 Juni 2002.
Nasr, Sayed
Husen, Petunjuk Bagi Pemuda Muslim di Dunia Modern, Bandung
: Mizan, 1993.
---------.
Ideals and Realities of Islam,
London: Unwin
Paperbacks, 1979.
Nasution,
Harun, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,
1991.
Olessen, Osta, Islam And Politics in Afganistan,
British: Curzon Press, 1996.
Pangabean, Syamsul Rizal, "Makna Muhkam dan
Mutasyabih", dalam Ulumul Qur'an, no VII, Jakarta, 1990.
Qadir, Zuly, Islam Liberal: Paradigma Baru
wacana dan Aksi Islam Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
R. Haryono, Airlangga Pribadi dan M. Yudhie, Post
Islam Liberal, Bekasi: Bagus Press, 2002
Rachman, Budhy
Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001.
Rachmat, Jalaluddin "Tinjauan Kritis Atas Sejarah
Fiqih: Dari Fiqih al-Khulafa al-Rasyidin Hingga Mazhab Liberalis", dalam,
Budhy Munawar Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin islam Dalam Sejarah,
Jakarta:
Paramadina, 1995.
---------. Ijtihâd
Dalam Sorotan, Bandung:
Mizan, 1998.
Ramadan, Sa'id,
Islamic Law Its Scope and Equity, Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of
Malaysia, tt.
Sagiv,
David, Islam Otensitas Liberalisme,
(terj) A. Suaedy, Yogyakarta: LKiS, 1995.
Sahal, Ahmad,
“'Umar bin Khaţţâb dan Islam Liberal”, dalam, Luţfi Syaukanie (penyunting), Wajah
Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: JIL-TUK, 2002.
Sardar,
Ziauddin (ed), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
---------. Jihad
Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, Surabaya: Risalah Gusti,
1998.
Schatch, Joseph,
An Introduction To Islamic Law, London: Calender, 1996
Shahrûr,
Muhammad, al-Kitâb wa al-Qur’ân Qirâh Mu’âsirah, Damsyiq: Dâr al-Ahâli li
al-Nasr wa al-Tauzi’, 1997.
Shimogaki,
Kazuo, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Atas
Pemikiran Hasan Hanafi, (terj), Imam Aziz, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Sho'ub, Hasan, Islam dan Revolusi Pemikiran
Dialog Kreatif Dan Kemanusiaan,
(terj). Lukman Hakiem, Surabaya: Risalah Gusti, 1997.
Soleh, Khudhori, (ed) "Tipologi Pemikiran Islam
Kontemporer", dalam, Pemikiran Islam Kontemporer,
Yogyakarta: Jendela, 2003.
Sjadzali,
Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997
Sutanto, Hasan,
Hermeneutik, Prinsip dan Metode Penafsiran al-Kitab, Malang: Seminari al-Kitab Asia
Tenggara, 1989.
Syamsudin, Din, “Islam Liberal:
Liberalisme Berbaju Islam”, dalam, Zulmanni (Ed). Islam Liberal dan Fundamental Sebuah Pertarungan, Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2003.
Syarifuddin HA,
Kurniawan Zein dan, Islam Yes, Sharî’ah Islam No. Jakarta: Paramadina, 2001.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1997.
Syaukanie, Luţfi, "Tipologi dan Wacana Pemikir Arab
Kontemporer", dalam Paramadina, No.1, Vol. 1 Juli-Desember, 1998.
---------. (peny),
“Islam Liberal: Pandangan Partisipan”, dalam, Wajah Liberal Islam di
Indonesia, Jakarta
: JIL-TUK,2002.
---------.
“Islam Liberal Pandangan Partisan”, dalam Eko Endartomo (ed), Wajah
Liberal Islam di Indonesia, Jakarta:
JIL dan TUK, 2002.
Tabroni, Imam
Suprayogo dan, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Rosdakarya, 2001.
Wach, Joachaim Ilmu
Perbandingan Agama (ab). Djam’annuri, Jakarta: Rajawali Press, 1994.
Zahro, Ahmad,
“Ijtihad” Jaringan Islam Liberal”, dalam, Makalah yang disampaikan dalam
seminar nasional yang bertema Islam Liberal: Sebuah Tafsir Yang
Kebablasan? Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Harian Bangsa
di Graha Pena Surabaya pada 18
April 2002.
Zaid, Nasr
Hamîd Abû, al-Takfîr Fi Zamân al-Tafkîr,
Kairo: Sina’i Li al-Nasr, 1995.
Zaîdan, Abdul
Karîm, al-Madkhal Ila al-Tashri’ al-Islâm, Bairût:
Muassasah al-Risâlah, 1986.
Zulmanni (ed), Islam Liberal dan Fundamental Sebuah Pertarungan,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003.
[1]Istilah hukum Islam, fiqh, dan
bahkan sharî’ah kini telah menjadi istilah yang identik dalam
penggunaannya dewasa ini, meskipun istilah-istilah tersebut berbeda dari sudut
historis dan makna literalnya. Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan
Modernitas : Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung:
Mizan, 1992), 33. Lebih jauh, lihat. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), Idem. Syari’ah
Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966),3.
[3]Sayed Husen Nasr, Ideals
and Realities of Islam, (London: Unwin Paperbacks, 1979), 93
[4]Idem, Petunjuk
Bagi Pemuda Muslim di Dunia Modern,
(Bandung : Mizan, 1993), 56
[5]Bandingkan.
Amin Abdullah "Keimanan Universal Di Tengah Pluralisme Budaya",
dalam, Ulumul Qur'an, No.1, Vol.VII, Jakarta, (1993),91
[6]Lihat. Musâ Kamîl, al-Madkhal
Ila Tashrî’ al-Islâmy, (Bairût: Muassasah al-Risâlah, tt), 89 Dan lihat.
Abû Ishâq al-Shairazî,
al-Luma’
Fi Uşûl al-Fiqh, (Libanon: Dâr al-Kutub, 475 H),6
[7]Lihat. Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995),
247
[8]Bandingkan. Amin Abdullah "Religious Humanism Versus Sculer
Humanism Toward a New Spritual Humanism", dalam, Makalah, disampaikan
pada International Seminar on Islam and Humanism: Universal Kritis of
Humanity And the Future of Religiousity, Semarang Indonesia, IAIN
Walisongo, 2-8 November 2000.
[9]Menurut Muhammad 'Ali al-Şabûni,
superioritas kaum laki-laki atas perempuan didasarkan pada ayat al-Qur'ân surat
al-Nisâ
(4:34). Alasannnya adalah,
pertama, bahwa laki-laki memiliki kelebihan dan, kedua, lak-laki
memberikan nafkah kepada perempuan. Secara lebih jauh, sebagian besar mufassir
ketika mengelaborasi ayat 4:34
di atas mereka mengatakan, karena faktor akal, intelegensia dan kemampuan
mengatur adalah lebih tinggi dan kuat kaum laki-laki. Atas dasar inilah, para
Nabi dari kaum laki-laki. Lihat. Muhammad
'Ali al-Şabûni, Şafwat al-Tafâsîr,I (Bairût: Dâr al-Fikr, 1976),274. Lihat pula,
Ahmad al-Şâwi
al-Mâliki, Hâsiyah al-'Allâmah al-Şâwi 'Ala Tafsîr al-Jalâlain, I, (Ttp: Dâr al-Fikr,
tt),218
[10]Abdullah Ahmed
al-Na’îm, “Toward an Islamic Reformation: Islamic Law in History and Society
Today, dalam, Nourani Uthman (ed), Shari’a Law and The Modern
Nation-State A Malaysian Symposium, (Malaysia, Kualalumpur : SIS
(Berhad) Forum, 1994), 17
[11]Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islam Wa Adillathu,VI, (Damshîq: Dâr al-Fikr, 1989), 693. Lihat juga. Abû al-Fida Ibn Kathîr, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azîm,II, (Kairo: Dâr
al-Fikr, tt),275
[12]Muhammad Shahrûr,
al-Kitâb
wa al-Qur’ân Qirâh Mu’âsirah, (Damshîq: Dâr al-Ahâli li al-Nasr wa
al-Tauzî’, 1997), 473
[13]Amina Wadud Muhsin, “
The Qur’an, Shari’a and the Citizenship Rights of Muslim Women in the Umma”,
dalam Nourani Uthman (ed), Shari’a Law and, 78
[14]Luţfi Syaukanie,
“Islam Liberal Pandangan Partisan”, dalam Eko Endartomo (ed), Wajah
Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta:
JIL dan TUK, 2002), xxvi
[16]Ulil Abshar Abdalla,
“Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, dalam, Kompas, 18 November, 2002, 4. Idem, dalam Zulmanni (ed), Islam
Liberal dan Fundamental Sebuah Pertarungan, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003), 4-5
[17]Ibid
[18]Abdul Wahâb Khallâf, Maşâdir
al-Tashrî’ Fîmâ La Naşşa Fih, (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1972), 216, Lihat.
Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal Ila al-Tashri’ al-Islām, (Bairût:
Muassasah al-Risâlah, 1986), 95. Lihat. Wahbah al-Zuhaily, Uşûl al-Fiqh
al-Islâmy,Vol.2. (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986),1054
[19]http;/www.islamlib.com/id/page.page.php?page=aticle&id=266 diakses
pada 27 Februari, 2004. Lihat pula. Muhammad Nasih, “Islam Liberal”, dalam Suara
Merdeka, 28 Juni (2002),4
[20]Bahwa dengan gelar founding father dalam ilmu uşûl fiqh yang disandang al-Shâfi'i,
pemikirannyya ikut memberikan warna dan corak pemikiran uşûliyûn berikutnya, termasuk dalam
masalah pembuatan limitasi ijtihâd. Selain itu, juga karena ilmu kalam.
Pengaruh ini tampak dalam masih kuatnya pembahasan uşûl fiqh tentang baik dan buruk (hasan-qubh),
dimana akal diperdebatkan apakah dia mampu mengetahui baik-buruknya perbuatan
secara mandiri. Formalisme ini berakibat pada penghindaran akal secara lebih
banyak, akibatnya pemikiranpun mengalami kelesuan dan bahkan kaku. Lebih jauh
lihat. Ilyas Supena dan M. Fauzi Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum
Islam, (Yogyakarta: Gema Media,
2002),224-226
[21]Penutupan ijtihâd (penalaran hukum) merupakan bukti dari
sebuah contoh yang menonjol dari sikap otoritarianisme intelektual. Lihat.
Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif, (terj). R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta. Serambi, 2004), 210
[22]Hasan Sho'ub, Islam dan Revolusi Pemikiran Dialog
Kreatif Dan Kemanusiaan, (terj).
Lukman Hakiem, (Surabaya: Risalah Gusti,
1997),31
[23]Khaled Abou el-Fadl, Cita dan Fakta: Islam Puritanisme Versus
Pluralisme, (terj). Heru Prasetia (Bandung: Mizan Arsy, 2003), 34
[24]Ziauddin Sardar (ed),
Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, (terj), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),124
[25]Akhmad Minhaji,
“Menatap Masa Depan Hukum Perkawinan Islam”, dalam Makalah,
IAIN-SUKA, Yogyakarta, 22-23 September, (1997),3
Lihat pula. Chandra Muzaffar, "Reformation of shari'a or Contesting the
Historical Role of the Ulama?" dalam, Nourani Uthman (ed), Shari’a
Law and, 23
[26]Lebih jauh, lihat. Syamsul Rizal Pangaben, "Makna Muhkam
dan Mutasyabih", dalam Ulumul Qur'an, no VII, Jakarta,
1990, 35.
[27]Lihat. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas Atau
Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 108
[28]John L. Esposito, Ancaman
Islam Mitos Atau Realitas, (terj) Alawiyah Abdurrahman, (Bandung:
Mizan,1996),46
[29]el-Fadl, Cita dan Fakta, 21, Idem, Melawan
"Tentara Tuhan" Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang Dalam Wacana
Islam, (terj). Kurniawan Abdullah, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003),54
[30]Atho’ Mudzhar, “Fiqh
Dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam, Budhy Munawar Rachman (ed), Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995),372-373
[31]Ziauddin Sardar, Jihad
Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1998),16
[32]Kazuo Shimogaki, Kiri
Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Atas Pemikiran Hasan
Hanafi, (terj), Imam Aziz, (Yogyakarta: LKiS, 1994),16
[33]John L. Esposito, Ancaman Islam, 46
[34]Muhammad Hasim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence,
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1991), 366. Lihat. Hasan Sho'ub, Islam
dan…31
[35]Noul J. Coulson, A
History of Islamic Law, (Edinburgh:
The University Press, tt.), 202
[36]Menurut Jalaluddin Rachmat, pemahaman keagamaan yang menekankan pada
aspek esoteris merupakan ciri khas kaum liberalis yaitu upaya untuk menangkap
esensi wahyu; makna wahyu diluar arti lahiriyah dari kata-kata. Mereka bersedia
meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan maknna dalam dari konteks.
Jalaluddin rachmat, "Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqih: Dari Fiqih
al-Khulafa al-Rasyidin Hingga Mazhab Liberalis", dalam, Budhy Munawar
Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin islam Dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 1995), 288-289.
[37]Noul J. Coulson, Conflict and Tensions in Islamic
Jurisprudence, (Chicago: The University of Chicago Press, 1969), 12
[38]Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), 23
[39]Lihat. Wael B.
Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, (terj), E. Kusnadiningrat dan
Abdul Haris bin Wahid, (Jakarta:
Grafindo Persada, 2001), 317 Lihat pula. David Sagiv, Islam Otensitas
Liberalisme, (terj) A. Suaedy, (Yogyakarta: LKiS, 1995), 28
[40]Lihat. Muhammad
Iqbal, Membangun Kembali Alam Pikiran Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang 1966), 172. Lihat Saîd Ramadan, Islamic
Law Its Scope and Equity, (Kuala
Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, tt),79
Lihat pula. N.J. Coulson, A History of, 202
[41]Lihat. Haidar Bagir,”Islib Butuh Metodologi”, dalam Republika, Rabu 22 Maret 2002,4
[42]Meskipun intelektual liberal ini ada di Indonesia, namun kiblat
pemikiran mereka ke pemikir-pemikir dari Mesir, Maroko, Iran, dan Prancis yang
membedakan pemikiran mereka dengan Nurcholis Madjid. Lihat. Zuly Qadir, Islam
Liberal: Paradigma Baru wacana dan Aksi Islam Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 130
[43]Secara umum, corak pemikiran kaum neo-modernis,
liberal (substansialis) adalah; pertama, menekankan pada pemahaman yang
berorientasi pada semangat kandungan al-Qur’ân, bukan literal perintah al-Qur’ân,
kedua, ketentuan-ketentuan al-Qur’ân, al-Hadîth, yang dipandang
universal (qaţ’i) harus ditafsirkan oleh generasi selanjutnya sesuai
dengan kondisi dan waktu. Dan terhadap mazhab fiqh harus terbuka
terhadap pemahaman modern, dan ketiga, kaum muslimin harus membuka
dialog, toleran terhadap kaum muslim dan non-muslim. Merekapun kemudian menggambarkan prinsip-prinsip
tersebut dengan terma-terma: sekularisasi, desakralisasi, reaktualisasi dan
pribumisasi
R. William Liddle, ”Skriptualisme Media Dakwah : Satu Bentuk Pemikiran dan Aksi
Politik Islam Masa Orde Baru”, dalam, Ulumul Qur’an, No.3,
(1993),54
[44]Budhy Munawar
Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina,
2001),426.
[45]Lihat. Jalaluddin
Rahmat, Ijtihâd Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1998). Idem. “Tinjauan Kritis Atas Sejarah
Fiqh: Dari Fiqh Al-Khulafa’ Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme”, dalam,
Budhy Munawar Rachman, (ed), Kontekstualisasi Doktrin, 299
[46]Munawir Sjadzali, Ijtihâd
Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997). Nurcholish Madjid, “Prof. Dr.
Munawir Sjadazali, Antara Diplomasi dan Tugas Kiyai”, dalam, Muhammad Wahyuni
Nafis dkk, Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir
Sjadzali, MA, (Jakarta: Paramadina, 1995), 171-172
[48]Wacana fiqih sosial
dapat dimaknai sebagai bagian integral dari program riset neo-modernisme Islam
Indonesia
yang mengambil spesifikasi di bidang hukum Islam. Bahkan, sosok KH. Sahal
Mahfudh yang merintis fiqih sosial telah "melampaui" tokoh
neo-modernisme lain. Lihat. Sumanto al-Qurthubi, KH. Sahal Mahfudh Era
Baru Fiqih Indonesia,
(Yogyakarta: Cermin, 1999), 173-174.
[49]Liberalisme (pemikiran)
Islam merupakan suatu upaya untuk membebaskan diri dari tafsir tradisional
mengenai Islam yang jumud, membelenggu dan tidak tanggap terhadap modernitas.
Ulil Abshar Abdalla, Membakar Rumah
Tuhan Pergulatan Agama Privat dan Publik, (Bandung:
Rosda, 2000), 158
[50]Muhammad Nasih, Islam Liberal" dalam Suara Merdeka, 28
Juni 2002,2
[51]Zuhairi Misrawi,
“Dekonstruksi Sharî’ah: Jalan Menuju Desakralisasi, Re-Interpretasi dan
Depolitisasi”, dalam, Tashwir Afkar, Edisi No.12, (2002),20.
Formalisasi khazanah keagamaan yang dibangun 'ulamâ' klasik telah menjadikan
ketergantungan pada "otensitas" dan "orisinalitas" teks dan
menengelamkan nilai-nilai universal Islam, seperti; egalitarianisme,
rasionalisme, pluralisme. Idem, “Menyoal Tradisi
Untuk Liberalisasi”, dalam, Kompas, Jumat, 26 September 2003, 6
[52]Minhaji, “Supremasi
Hukum dalam Masyarakat Madani (Perspektif Sejarah Hukum Islam)”, dalam, Unisia,
No.41, (2000), 250. Salah satu gugatan mereka adalah melakukan penafsiran atas
doktrin ASWAJA. Dalam tradisi NU. terdapat suatu doktrin yang dikenal dengan doktrin
Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (ASWAJA) sebagai ajaran yang taken for
granted oleh kalangan tradisionalis, terutama oleh para kiyai NU. Bagi intelektual
muda NU, bahwa doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah tidak mampu menjawab
problem yang dihadapi warga NU dan perubahan zaman yang begitu cepat. Karena
itu, diperlukan upaya menafsirkan, melintasi dan melompat dari ASWAJA. Salah
satu anak kandung sayap post-tradisionalis adalah Islam liberal. Aliran
ini mencoba menafsirkan tradisi dan mengolerasikannnya dengan demokrasi, HAM,
pluralisme dan gender. Menurut mazhab ini, Islam adalah ajaran yang terbuka atas
isu-isu kontemporer yang datang dari luar tradisi Islam. Upaya untuk
mensenyawakan antara Islam dan isu-isu kemoderenan sebenarnya ingin
menghadirkan Islam yang toleran, inklusif dan pluralis untuk menjawab
kecendrungan fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme. Dan ini adalah anak
kandung NU yang paling kontroversial. Zuhairi Misrawi, “Menyoal Tradisi Untuk
Liberalisasi”, dalam, Kompas, Jumat, 26 September 2003, 6
[53]Zuly Qadir, Islam
Liberal, 97
[54]Hamid Basyaib,”Islib Butuh Metodologi:
Tanggapan Untuk Haidar Bagir”, dalam, Republika, 23-Maret 2003.
Kehadiran JIL sebagai sebuah komunitas
intelektual mendapat dukungan dari sejumlah pemikir Islam, antara lain; Muslim
Abdurrahman, Nurcholish Madjid, Masdar F. Mas’udi, Goenawan Mohammad,
Jalaluddin Rahmat, Nasaruddin Umar, Kamaruddin Hidayat, Arief Budiman, Said
Agil Siraj, Azyumardi Azra dan lain-lainnya. Lihat. Luţfi Bashari, Musuh Besar,
94-95.
[55]Lihat. Kurniawan Zein
dan Sarifuddin HA, Islam Yes, Sharî’ah Islam No.
(Jakarta:
Paramadina, 2001), 54
[56]Lihat. Osta Olessen, Islam And Politics in Afganistan,
(British: Curzon Press, 1996),238
[57]Ulil Abshar Abdalla,
“Liberalisme dan Fundamentalisme Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, dalam Talk Show Dan Seminar Nasional Mengadili
Islam Liberal, diselenggarakan oleh Pesanteren Mahasiswa al-Nur dan
Harian Bangsa, Jumat, 28 Pebruari, 2003,4
[58]Muslim Abdurrahman, “Korban Pertama Dari
Penerapan sharî’at adalah Perempuan”, dalam, Jawa Pos, 16 September, 2001, 4.
Lihat pula. Fauzan al-Shori, Melawan,161-162
[59]Fauzan al-Anshori, Melawan, 5
[60]Din Syamsudin, “Islam Liberal: Liberalisme Berbaju Islam”, dalam,
Zulmanni (Ed). Islam Liberal, 214-218.
[61]Baca. Hartono Ahmad
Jaiz, Bahaya Islam Liberal, (Jakarta:
Pustaka al-Kausar, 2002), Idem, Aliran Dan Paham Sesat Di
Indonesia, (Jakarta:
Pustaka al-Kausar, 2003).
[63]http/www.Islamlib.com/id/
php “Tentang Jaringan Islam Liberal” diakses pada 27 Februari, 2004
[64]Lihat. Atho' Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan
Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),60-80
[65]Imam Suprayogo dan Tabroni,
Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung: Rosdakarya, 2001),134
[66]Deddy Mulyana, Metodologi
Penelitian Kwalitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya,
(Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2001), 162-201
[67]Penulis menggunakan data historis sebagai pelengkap dalam kajian
fenomenologis maupun sosiologis agama. Lihat. Airlangga Pribadi dan M. Yudhie
R. Haryono, Post Islam Liberal, (Bekasi: Bagus Press, 2002),
167.
[68]Secara bahasa, kata hermeneutik
berasal dari bahasa Yunani hermeneue yang dalam bahasa Inggeris
diterjemahkan menjadi hermenutics (to interpret) yang berarti
menginterpretasikan, menjelaskan, menafsirkan dan menerjemahkan. Hasan Sutanto,
Hermeneutik, Prinsip dan Metode Penafsiran al-Kitab, (Malang:
Seminari al-Kitab Asia Tenggara, 1989),1 Sedangkan heuristik
merupakan suatu teori yang menemukan cara untuk memecahkan masalah
berdasarkan ilmu pengetahuan. Kamaruddin dan Tjuparmah Kamaruddin, Kamus
Istilah Karya Ilmiah, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2000), 81
[69]Lihat. al-Na’îm, “Toward
an Islamic Reformation: Islamic Law in History and Society Today”, dalam,
Norani Uthman (ed), Shari’a Law,9
[70]Binder, Islam
Liberal, 191
[71]Ibid.5-6
[72]David Sagiv. Islam
Otensitas, 27-28
[73]Ibid.
[74]Luţfi Syaukanie, "Tipologi dan Wacana Pemikir Arab Kontemporer", dalam Paramadina,
No.1, Vol. 1 Juli-Desember, 1998,63-65
[75]Tipologi ini mewakili
pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses transformasi pemikir
Arab-muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional
ilmiah. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Kristen seperti Shibli Shumayl,
Farah Antun dan Salmah Musa. Kelompok
ini kini masih dilanjutkan pemikir-pemikir yang berorientasi pada Marxisme
seperti Thayib Tayzini, Abdullah Laroui dan Mahdi Amil, disamping pemikir
liberal lainnya seperti Fûad Zakariyya, Adonis, Zakî Nadjib Mahmûd, Adil Daher
dan Qunstantine Zurayq. Ibid.
[76]Kelompok reformistik
dibagi menjadi dua kecendrungan pemikiran, pertama, yang memakai metode
pendekatan rekonstruktif yang melihat tradisi dengan pembangunan kembali,
yang berarti suatu tradisi masyarakat (agama) tetap hidup dan bisa terus
diterima, maka ia harus dibangun kembali secara baru (‘i’adh buniyat min jadîd).
Termasuk kelompok ini adalah Jamâluddin al-Afghâny, Muhammad Abdûh dan
al-Kawakibi. Diera kontemporer yang tergolong reformistik adalah pemikir
seperti Hasan Hanafi, Muhammad Imarah, Muhammad Ahmad Khalafallah, Hasan Sho’ub
dan Muhammad Nuwayhi. Kelompok kedua, cendrung menggunakan metode dekonstruktif.
Pemikir garda depan kelompok ini adalah Muhammad Arkoun dan Muhammad Abid
al-Jâbiri. Meskipun kelompok reformistik ini menggunakan dua pendekatan
yang berbeda, namun mereka mempunyai tujuan dan cita-cita yang sama, meskipun
metode penyampaian dan treatment of tha problem mereka berbeda. Yaitu
memperbaharui tradisi utuk menjawab perkembangan zaman. Ibid.
[77]Pemikir kelompok ini
seperti Muhammad al-Gazali, Sayyîd Quţub, Anwar Jundi, Muhammad Quţub, Sa’id Hawa dan pemikir-pemikir yang
berorientasi gerakan Islam politik. Ibid.
[78]Ibid. Lihat pula, Khudhori Soleh (ed) "Tipologi Pemikiran Islam
Kontemporer", dalam, Pemikiran Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: Jendela, 2003), xv-xxii
[79]Liberal sharî’ah (sharî'a liberal). Paradigma ini
menyatakan bahwa Sharî’ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika
dipahami secara tepat. Ali Bullaq
menyatakan, Piagam Madinah (Madina
Document) dimana Rasulullah menjamin hak-hak non-muslim untuk hidup dibawah
pemerintahan muslim, menghadirkan sebuah contoh bagaimana Sharî’ah memecahkan
masalah-masalah kontemporer secara
liberal. Bahkan Abdel Kadier Aloui secara tegas menyatakan, bahwa Sharî’ah
membangun kebebasan berfikir. Charles Kurzman (Ed), Islam Liberal: Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isu-isu Global, (terj), Bahrul Ulum dan Heri
Junaidi, (Jakarta: Paramadina, 2001),xxxiii
[80]Sharî’ah diam (silent sharî’a). Paradigma ini menyatakan, jika Islam tidak
“menyebutkan” sesuatu hal ini menunjukkan satu dari dua hal; apakah hal ini
tidak disebutkan dalam sumber-sumber tradisional manapun atau kaum muslimin
tidak pernah mempraktekkan. Tidak menyebutkan sesuatu berarti sesuatu tu
dibolehkan. Pengecualian terhadap yang pertama
ini hanya berlaku dalam masalah ibadah.
Dalam kasus kedua, merupakan hal yang
tempat. Demikian tegas Muhanmmad Salîm
al-Awwa. Ditempat yang sama, Muhammad Alamiah, bahwa kaum muslimin seharusnya
tanggap terhadap perubahan dan perkembangan setiap waktu dan Sa’id al-Asmâwi
menyatakan, sharî’ah Tuhan sebagai
terangkum dalam al-Qur’ân dan Sunnah tidak mengikat manusia dalam
hal-hal mu’amalah, kecuali hanya
memberikan beberapa prinsip-prinsip umum sebagai pedoman dan sejumlah kecil
perintah. Sharî’ah jarang
mempersoalkan dirinya secara terperinci. Pembatasan Sharî’ah untuk memperluas
prinsip-prinsip dan kebisuannya dalam ruang-ruang yang lain disebabkan oleh
kebijaksanaan dan rahmat Tuhan. Fakta bahwa Sharî’ah itu diam dalam
masalah-masalah tersebut, dan kita seharusnya mencamkan dalam pikiran kita,
bahwa sebagaimana dikatakan al-Qur'ân "Tuhan tidak pernah lupa"
berarti hanya pelaksanaan perintah-perintah Sharî’ah yang umum atas perincian
kehidupan manusia yang beraneka ragam dan pertentangan mengenai masalah-masalah
baru menurut ketentuan kemaslahatan umum (maslahah) telah diserahkan pada
kebijaksanaan bangunan kesadaran kaum muslimin. Idem, xxxiv-xxxv.
[81]Sharî’ah yang
ditafsirkan (Sharî’ah Interpreted). Sebuah
paradigma penafsiran Islam yang paling liberal. Paradigma ini menegaskan bahwa Sharî’ah
merupakan hal yang berdimensi Ilahiyah.
Sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan
kekeliruan. Muhammad Bahrul Ulum, menyatakan perbedaan pandangan, dan metode
sepenuhnya diakui, sehingga seseorang tidak bisa mencabut pendirian-pendirian
orang lain. Ibid. xxxviii-xxxix Charles
Kurzman (Ed), Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global,
(terj), Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, (Jakarta: Paramadina,
2001),xxxiii
[82]Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di
Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib dan Abdurrahman Wahid, (terj), (Jakarta: Paramadina,1999),12
[83]Jalaluddin Rakhmat,
“Tinjauan Kritis", dalam. Budhy
Munawar Rachman (ed), Kontekstualisasi, 288-289
[84]Ibid.
[85]Masnun, Wacana
Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi Atas Gagasan Kaum Islam
Liberal Tahun 1970-2000 , (Yogyakarta:
IAIN SUKA, 2002 Tidak diterbitkan).
[86]Anshori, Melawan
Konspirasi JIL,1
[87]Adian Husaini dan
Nuim Hidayat, Islam Liberal Sejarah, Konsepsi Penyimpangan dan Jawabannya
(Jakarta: Gema Insani Press, 2002). 129
[88]Zuly Qadir, Islam
Liberal, 152
[89]Kamaruzzaman Bustaman
Ahmad, Islam Historis Dinamika Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Galang Press,2002),59. Idem, Wajah
Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
UII Pres, 2004),62
[90]Teuku Kemal Fasya,
“Mengamati Islam Liberal”, dalam, Kompas, Rabu, 27 Maret
2002
[91]Haidar Bagir, “Islib
Butuh Metodologi”, dalam, Republika, Rabu, 22 Maret 2002
[92]Ratno Lukito,
“Memahami Kontroversi Tulisan Ulil Abshar Abdalla”, dalam, Zulmanni, Islam
Liberal, 37
[93]Ahmad Gaus AF.,”How
Liberal Can You Go?”, dalam, Ibid, 45
[94]Ahmad Zahro, “Ijtihâd”
Jaringan Islam Liberal”, dalam, Makalah yang disampaikan dalam seminar nasional
yang bertema Islam Liberal: Sebuah Tafsir Yang Kebablasan? Yang
diselenggarakan oleh Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Harian
Bangsa di Graha Pena Surabaya pada 18 April 2002,4
[95]Muhammad Nasih, Islam Liberal" dalam Suara Merdeka, 28
Juni 2002,2
[96]Luţfi Syaukanie (penyunting), “Islam Liberal:
Pandangan Partisipan”, dalam, Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta : JIL-TUK,2002),
xxvi
[97]Lihat. Muhammad Farûq al-Nabhani, al-Ittijâh al-Jamâ’i Fi al-Tashrî’
al-Iqtişâd al-Islamy, (Ttp.: Muassasah al-Risâlah, tt.),432.
[98]Ahmad Sahal, “'Umar
bin Khaţţâb dan Islam Liberal”, dalam, Luţfi Syaukanie (penyunting), Islam
Liberal . 5
[99]David L. Sills, (Ed),“Liberalism”, dalam, International
Encyclopedia of Social Science,Vol.9, (New
York: The Mac Millan Company, 1968), 276
[100]Nasr Hamîd Abû Zaid, al-Takfîr
Fi Zamân al-Tafkîr, (Kairo: Sina’i Li al-Nasr, 1995),128-132
[101]Muhammad Abid al-Jâbiri,
Iskâliyat
al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’âşir, (Bairût: Markaz Dirasah al-Wihdah
al-‘Arabiyah, 1989), 13
[102]Joachaim Wach, Ilmu
Perbandingan Agama (ab). Djam’annuri, (Jakarta: Rajawali Press,
1994),83
[103]Masdar Farid Mas’udi,
“Meletakkan Kembali Maslahah Sebagai Acuan Sharî’ah”, dalam Ulumul Qur’an,
No.3. Vol.VI, 1995, 94 Ibid, “Pemikiran Fiqih: Formalitas atau Maslahat?
Dalam, Majalah Bangkit, No.2 Januari-Februari,1993,11
[104]Ibn al-Qaiyîm, I’lâm
al-Muwâqî’in ‘An Rab al-‘Âlamîn, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1999),11
[105]Paradigma ta'abbudi menegaskan, bahwa setiap ketentuan yang
tertuang dalam al-Qur'ân dan
hadîth yang şahih harus dipandang sebagai ketentuan hukum yang harus diterima,
tanpa mempertimbangkan nalar.
[106]Paradigma ta'aqquli menyatakan, bahwa dibalik ketentuan hukum
selalu ada makna lain. Dan karenanya, meskipun sebuah ketentuan naş menetapkan status hukumnya, tetapi, bila tujuan hukumnya telah
tercapai, maka hukum itu sendiri telah tercapai pula.
[107]Satria Effendi
M.Zein, “Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam
dalam, Muhammad Wahyuni Nafis dkk, Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta : Paramadina, 1995),
288-289
0 komentar:
coment after read! and comment with ethic!
habis baca jangan lupa comment! comment dengan etika