MENYOAL ĀDAM DALAM AL-QUR’AN DAN TEORI DARWIN (Kajian Tematik Berdasarkan Kata-kata Kunci)
MENYOAL
ĀDAM DALAM AL-QUR’AN DAN TEORI DARWIN
(Kajian
Tematik Berdasarkan Kata-kata Kunci)
tekan control + iklan dibawah ini sebelum lanjut membaca
tekan control + iklan dibawah ini sebelum lanjut membaca
ABSTRAK
"ADAM itu bukan manusia
pertama." Mendengar dan membaca kalimat tersebut, tentunya semua urat
syaraf yang di kepala umat Islam akan menegang. Sebenarnya urat syaraf kepala
tidak perlu tegang dengan tesis tersebut, karena akan menghabislan energi saja.
Bukankah yang perlu dan lebih penting serta utama lagi untuk dilakukan (aulawiyyah)
adalah Menyoal Adam dalam al-Qur'an kemudian membenturkannya dengan
teori lain seperti Darwin. Hasilnya sudah dapat dipastikan bahwa yang lebih
jelas dan kuat argumentasi atau dalilnya adalah yang akan tetap eksis dan yang
lain fayadzhabu ghutsaa-an.
Menyoal Adam dalam al-Qur'an di
sini akan menggunakan metode penafsiran tematik dengan mengambil beberapa kata
kunci. Diharapkan dengan metodologi seperti ini akan melahirkan makna dalam
wajah baru atau paling tidak, pemahaman makna akan lebih mendalam (ta'miiq
al-fahm).
Hasilnya, dari kun fayakunnya
Allah dalam penciptaan Adam terlihat bahwa persoalan Adam merupakan hak pribadi
Allah; dimana tidak dapat disamakan dengan manusia pada umumnya yang melalui
proses keterlibatan ibu dan bapak. Sedangkan proses penyempurnaan penciptaan
manusia adalah tempat untuk mendudukkan teori evolusi Darwin, namun tidak dalam
arti horisontal vertikal, tetapi hanya horisontal saja. Sehingga menganut teori
evolusi terbatas adalah jalan dan sikap bijak.
Keywords: Ādam, Jā’ilun, Khalīfah, Evolusi
*
ADI FADLI adalah dosen IAIN Mataram dan sedang mengikuti program doktor
dari tahun 2003 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
ANTARAN WACANA
Adam. Kata inilah yang memunculkan
kontroversi sebelum dan sesudah ditemukannya teori evolusi Darwin, paling tidak
pada dataran tafsir. Adam adalah nama manusia pertama yang diciptakan Tuhan
ataukah Adam merupakan kata jenis dari banyak manusia dahulu kala atau dengan
kata lain terdapat Adam-adam lain sebelum Adam yang disebut dalam al-Qur’an.
Lalu, siapakah Adam sebenarnya? Ada
banyak Adam dalam Bibel, Adam dalam Darwin, Adam dalam Mahmud Abbas al-Aqqad
dan lainnya. Oleh karenanya, tulisan ini akan berusaha menyoal Adam dalam
al-Qur’an yang berbahasa Arab (sebab al-Qur’an dengan bahasa lainnya bukan
al-Qur’an) dengan harapan dapat memberikan sedikit pengetahuan tentang Adam
untuk menuju kebenaran sejati. Setelah itu, tulisan ini hendak menyoalnya
dengan teori evolusi Darwin, adakah kesamaan atau bahkan terdapat jurang curam
yang membedakannya. Dengan ikhtiar ini, semoga dapat diambil manfaat dan
pelajaran bagi orang-orang yang cerdas akal dan hatinya.
Dalam
hal menyoal Adam dalam al-Qur’an ini akan menggunakan metode tematik (maudhū’i)
dalam bentuknya yang pertama[1]
yaitu penafsiran satu surat atau ayat al-Qur’an dengan menjelaskan
tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, dengan kata lain tema sentral surat
atau ayat tersebut, kemudian menghubungkannya dengan ayat-ayat lainnya yang
beraneka ragam dengan tema sentral tersebut. Dalam hal ini ayat yang menjadi sumber
penafsiran adalah surat al-Baqarah: 30-39 dengan mengambil beberapa kata
kunci yaitu Ādam, Jā’ilun, khalīfah. Adapun kitab-kitab tafsir yang
digunakan adalah Tafsir Ibnu Katsīr karya Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qurthubī karya Imam al-Qurthubi, Fī Zhīlālil Qur’ān karangan
Sayyid Qutb, dan Tafsir al-Misbāh karya Quraish Shihab.
PEMBAHASAN
Allah
mempunyai rahasianya tersendiri mengapa surat al-Baqarah ditempatkan pada
urutan kedua setelah Ummu al-Kitāb (surat al-Fatihah), dimana
pada surat inilah Allah membicarakan hal-hal besar di antara yang besar-besar.
Lihatlah ketika ayat pertama yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah
yang menciptakanmu dan orang sebelum kamu[2]
sangat berkaitan dengan ayat yang pertama turun yaitu iqra’
bismirabbikalladzī khalaq.[3]
Kedua ayat tersebut mempunyai satu kata kunci yaitu Tuhan Allah yang
menciptakan, dan pada hal inilah salah satu rahasia mengapa surat Iqra’
tidak ditempatkan pada urutan pertama dalam al-Qur’an.
Kejelasan
penciptaan ini (dalam surat al-Baqarah: 21) berlanjut dengan ayat setelahnya
yaitu persoalan tentang Adam.[4]
Lihatlah kata “idz” dalam QS. Al-Baqarah: 30 merupakan ism (kata
benda) dimana merupakan dhorfu zamān (menunjukkan waktu) dimana
kedudukannya adalah sebagai obyek (maf’ūlum bih) dari ayat sebelumnya
dalam surat al-Baqarah: 21. Sehingga maknanya adalah alladzī khalaqakum idz
qāla rabbuka lilmalāikati.[5]
Ādam
Lalu, dari wujud apa Adam itu ada?
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Adam sebagai manusia pertama[6]
langsung diciptakan dari tanah (thīn). Dalam hal ini Allah menggunakan
kata tunggal (mufrad) untuk menunjuk diri-Nya dalam persoalan ini.
Lihatlah dalam surat Shad: 71 “Innī khāliqun basyaran min thīn” juga
ayat setelahnya ayat 75: “mā mana’aka an tasjuda limā khalaqtu
biyadayya”. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penciptaan Adam, Allah tidak
melibatkan pihak lain sebagaimana kebanyakan manusia pada umumnya yaitu
keterlibatan ibu dan bapak. Sedangkan ketika membicarakan produksi manusia pada
umumnya, Allah menunjuk dirinya dalam bentuk plural (jama’), lihatlah
surat ath-Thin: 4: “laqad khalaqnal insāna fī ahsani taqwīm”. Hal
ini menunjukkan adanya keterlibatan selain Allah yaitu ibu dan bapak, dimana
akan sangat mempengaruhi bentuk fisik, fisis dan lainnya.[7]
Dua
bentuk penyampain itu (mufrad dan jama’) memberi pemahaman bahwa
al-Qur’an tidak membicarakan proses kejadian Adam secara terinci. Perhatikan
ayat 59 dari surat Ali Imran yang terjemahan maknanya: “Sesungguhnya misal
(penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
"Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia.” Namun al-Qur’an
hanya memberitakan bahwa (1) tanah merupakan bahan awal manusia, (2) kemudian
disempurnakan bahan tersebut, lalu (3) ditiupkan ruh Ilahi padanya.[8]
Kata Ādam
disebut dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali. Penyebutan kata Ādam dalam
semua ayat tersebut dalam dikelompokkan menjadi empat tema, yaitu (1) sebagai
khalifah dan rasul; (2) dalam hubungannya dengan iblis (syaithan); (3) untuk
menyebut manusia secara umum; dan (4) asal penciptaannya. Kata Ādam dalam
al-Baqarah: 31 merupakan ta’rīf dari kata khalīfah dalam ayat 30
sebelumnya, sehingga yang dimaksud dari kata khalīfah pada ayat itu
adalah Adam. Hal ini sama seperti penyebutan ar-rasūl dalam surat
al-Muzzammil: 16 dimana sebelumnya (ayat 15) disebut dalam pengertian yang umum
yaitu rasūlan.
Pengangkatan
Adam sebagai khalifah disampaikan Allah dengan bahasa yang penuh rahasia.
Penggunaan kata-kata yang mengawalinya mengandung makna tersendiri, dimana
kemudian perlu melihatnya lebih lanjut. Kata tersebut adalah kata jā’ilun.
Jā’ilun
Kata ja’l
dengan segala bentukannya mengalami pengulangan sebanyak 346 kali dalam 66
surat.[9]
Kata ini menunjuk secara umum tentang seluruh perbuatan.[10]
Dalam hal ini sebenarnya terdapat beberapa kata yang senada degan kata ja’l,
yaitu khalq, bada’, fathr, shan’, amr, nasya’, bada’. Kata-kata
tersebut senada tapi tidak seirama, dalam artian mempunyai pengertian dan
maknanya sendiri-sendiri (siyāqul kalām).
Dalam al-Baqarah: 30, kata ja’ilun
diartikan hendak menjadikan.[11]
Dalam bahasa sederhana dapat diartikan dengan kata mengangkat pada konteks ini.
Namun kata ja’l merupakan bentuk kata kerja yang membutuhkan obyek (fi’il
muta’addī) dimana mempunyai beberapa pengertian[12],
yaitu (1) jika mempunyai satu obyek, maka berarti ijad dan khalq (mengadakan
dan menciptakan) (lihat misalnya al-An’am: 1); (2) jika mempunyai dua obyek,
maka berarti mengadakan sesuatu dengan pemindahan atau perubahan dari satu
keadaan kepada keadaan yang lain, misalnya alladzī ja’ala lakumul ardha firāsyan
atau wa ja’alnal laila libāsan; (3) menjadikan atau mengadakan
sesuatu dari sesuatu (lih. An-Nahl: 72); (4) penamaan yang dusta (lih. QS.
Al-Hijr: 91, az-Zukhruf: 19); (5) menetapkan atau memutuskan untuk sesuatu yang
lain, baik benar maupun salah (lih. QS. Al-Qashash: 7).
Kata ja’l
dalam surat al-Baqarah: 30 menggunakan lafaz tunggal (mufrad), dimana
terulang sebanyak dua kali. Satunya pada ayat 1 surat Fathir: “alhamdulillahil
ladzī fāthiris samā’i wal ardhi jā’ilil malāikati rusulan…”. Kedua kata
tersebut berarti yang menjadikan karena merupakan ismu al-faa’il dan mempunyai
satu obyek, yaitu sebagai khalifah dalam al-Baqarah: 30 dan sebagai
utusan-utusan (penyampai pesan) dalam ayat 1 surat Fathir. Bedanya, satunya memakai
penegasan (taukīd) yaitu kata innī sedangkan lainnya tidak. Kedua
obyek tersebut diungkap dalam bentuk nakirah (umum) dimana berarti
mempunyai pengertian yang luas dengan suatu urusan yang besar.
Penggunaan
kata ja’l dengan segala bentukannya menunjukkan betapa besarnya manfaat
ciptaan tersebut. Sehingga kalau pengertian ini kita pakai dalam mengambil
pelajaran dalam surat al-Baqarah: 30, maka kita akan sampai pada pemahaman
bahwa obyeknya yaitu penugasan sebagai khalifah merupakan perkara besar dengan
dukungan potensi besar pula, seperti penguasaan bahasa, pengendalian nafsu,
tobat dan lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat
setelahnya.
Khalīfah
Istilah
khalīfah pada masa sekarang identik dengan kepala negara. Hal tersebut
wajar saja karena penggunaan kata khalīfah secara formal adalah ketika
menyebut khalifah Abu Bakar dan diikuti oleh selanjutnya. Namun bisa saja kata khalīfah
itu ada sebelum turunya al-Qur’an atau dalam artian ada setua bahasa Arab
itu sendiri, karena bagaimana mungkin Allah menurunkan atau memakai ungkapan
yang tidak dipahami oleh manusia, walaupun kebenaran sebenarnya ada padanya.
Kata khalīfah dalam
al-Qur’an merupakan obyek dimana berarti tugas dan taklīf. Khalīfah adalah
bentuk mufrad (tunggal), sedang bentuk pluralnya ada dua, yaitu khalaif
dan khulafā’. Kata khalā’if terulang sebanyak empat kali dan khulafā’
sejumlah tiga kali, sedangkan kata khalīfah yaitu dalam bentuk
tunggal terulang dua kali, yaitu dalam surat al-Baqarah: 30 dan surat Shad: 26.
Semua kata tersebut berasal dari bentukan kata khalf yang berarti di
belakang. Sehingga seringkali pemaknaan dari kata khalīfah adalah
sebagai wakil, pengganti[13],
dimana yang menggantikan selalu berada di belakang. Sedangkan dalam arti yang
lain, al-Raghib al-Isfahani memberikan definisi yaitu melaksanakan sesuatu atas
nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya.[14]
Menarik
untuk diperhatikan bahwa kata khalīfah dalam bentuk tunggal terdapat
dalam dua ayat, dimana redaksinya hampir mirip, juga dalam makna dan konteks
uraian yaitu pertama, dalam konteks Adam “Innī jā’ilun fil
ardhi khalīfah” dan kedua, dalam konteks Daud (947-1000 SM) “Innā
ja’alnāka khalīfatan fil ardhi”. Tentunya kedua bentuk redaksi tersebut
bukan tanpa arti. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata khalīfah untuk
Adam digunakan kata innī yaitu dalam bentuk tunggal yang berarti akan
mengangkat, sedangkan untuk Daud digunakan bentuk plural yaitu innā yang
berarti telah menjadikan kamu. Sebagaimana dalam hal penciptaan manusia dari
tanah (innī khāliqun), Allah juga memakai redaksi sepertinya untuk
menunjuk tidak adanya keterlibatan orang lain selain Allah sendiri dalam hal
pengangkatan Adam sebagai khalifah. Hal ini dapat dipahami juga karena hal
tersebut hanya baru berupa rencana.
Berbeda halnya dengan penggunaan
kata plural (innā), dimana menunjuk kepada adanya keterlibatan selain
Allah dalam hal pengangkatan Daud sebagai khalifah yaitu masyarakat
(pengikut-pengikutnya). Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa seorang khalifah (Daud
dan semua khalifah lainnya) dituntut untuk memperhatikan kehendak rakyatnya dan
tentunya dalam bingkai kebenaran dan kebaikan.[15]
Pengangkatan seorang sebagai
khalifah tentunya disertai karena adanya potensi besar pada dirinya. Lihatlah
misalnya pengangkatan Adam, dimana sebelum ayat al-Baqarah: 30 didahului dengan
penundukan bumi dan seisinya untuk manusia (lihat ayat: 29). Hal ini menandakan
bahwa memang penciptaan kosmos lebih dahulu daripada pencitaan manusia.
Faktanya juga, Adam diajarkan nama-nama (wa ‘allama Ādamal asmā’ kullahā). Potensi
untuk menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi ini didukung oleh pengetahuan,
kesadaran diri dan lainnya.[16]
Hal ini sejalan dengan hikmah dan pengetahuan yang diajarkan Allah
kepada Daud yang telah mengalan Jalut “wa ātahullāhul mulka wal hikmata wa ‘allamahu
ma yasya’u” (QS. Al-Baqarah: 251).
Oleh karenanya, dapat dipahami
bahwa Daud diberi kekuasaan mengelola wilayah tertentu (sebagai raja Israel).
Makna ini, secara politis sama dengan penggunaan kata khulafā’ dalam
ayat-ayat al-Qur’an lainnya. Berbeda dengan kata khalā’if yang menunjuk
sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan poltik. Jelasnya bahwa
kekhalifahan dengan menggunakan bentuk jama’ tidak dapat terlaksana
tanpa adanya keterlibatan dan dukungan dari orang lain, dimana berbeda juga
dengan kata khalīfah dalam bentuk mufrad yang mempunyai pengertian
kekhalifahan oleh setiap diri.[17]
Ādam, jā’ilun, khalīfah (innī jā’ilu Ādam fil ardhi
khalīfah)
Merujuk kata sebelum khalīfah yaitu
inni jā’ilun yang artinya 'Aku akan menjadikan,' memberi isyarat bahwa
pemahaman para malaikat tentang Adam (yang dijelaskan ayat setelahnya) adalah
dalam bingkai prosesi hikmah. Dalam bahasa sederhanya, para malaikat bertanya, "apa
hikmah penciptaan Adam sebagai khalifah?" Jika hanya sebagai hamba (ābid)
maka kami adalah hamba-hamba-Mu yang selalu bertasbih dan mensucikan-Mu.[18]
Dari sinilah kemudian banyak para cendekiawan menarik kesimpulan bahwa
penciptaan manusia bukan hanya sebagai hamba saja, namun sebagai perpanjangan
tangan dari Allah yaitu sebagai khalifah.
Dari mana malaikat mendapat
pengetahuan bahwa manusia akan merusak dan saling mengucurkan darah. Dari
hadits yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas bahwa dahulunya jin 200 ribu tahun
sebelum adanya manusia menghuni bumi, dimana mareka merusak dan saling
membunuh.[19]
Sebenarnya pertanyaan para malaikat itu adalah hal yang wajar, dimana pengetahuan
mereka hanya sebatas pengetahuan yang diberi oleh Allah saja, berbeda dengan
manusia yang disertai dengan akal, fitrah. Faktanya adalah pengakuan mereka
akan ketidaktahuannya pada ayat 33 setelahnya, juga dalam surat at-Tahrim: 6: “Tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Ayat
setelah 30 surat al-Baqarah dapat dikatakan sebagai sebab atau prosesi
penurunan Adam dan istrinya ke muka bumi. Hal ini merupakan perwujudan dari
kehendak Allah yang akan menjadikannya sebagai khalifah. Lalu, mengapa mesti pertentangan
itu, godaan dari syaitan (iblis)? Sayyid Qutb memberi jawaban bahwa hal itu
dilakukan adalah untuk memunculkan potensi manusia dalam dirinya, sebagai
latihan dalam menghadapi godaan, merasakan akibatnya, menelan penyesalan,
mengerti siapa musuhnya, dan sesudah itu berlindung ke tempat yang aman. Karena
dengan pengalaman-pengalaman inilah (sebagaimana halnya Isra’ Mi’raj Nabi
Muhammad saw) akan menuntun manusia dalam menjalankan tugas kekhalifahannya.[20]
Selanjutnya,
jika kita melihat keterkaitan konteks ayat al-Baqarah: 30 tersebut dengan
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, maka kita akan dapat (paling tidak
menggambarkan walaupun tidak sepenuhnya benar) memberi persepsi bahwa manusia
sebelum tugas kekhalifahannya diberikan atau ditundukkan baginya bumi serta
segenap isinya, lalu kemudian pada akhir ayat disebutkan penegasan untuk
menegakkan kebenaran yang telah ditetapkan oleh Allah dan tidak mencampurinya
dengan kebatilan, mendirikan shalat (hubungan dengan Allah), menunaikan zakat
(hubungan dengan sesama) dan mengelola bumi (hubungan dengan alam).
Keterkaitan
ayat-ayat tersebut sama halnya juga dalam Shad: 26 yaitu pengangkatan Daud
sebagai khalifah. Yaitu diawali dengan perselisihan dua orang kemudian meminta
Daud untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak cukup itu
saja, namun ditambah dengan “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus”. Konteks
ayat tersebut kemudian diakhiri dengan perintah penegakan hukum secara benar
(menurut hukum Allah) dan tidak mengikuti hawa nafsu.
Kedua
konteks keterkaitan ayat tentang Adam dan Daud tersebut memberikan gambaran
potensi dan bagaimana seorang khalifah itu menggunakannya. Muhammad Bagir Sadr
memberi arti kekhalifahan dimana mempunyai tiga unsur yang saling terkait,
yaitu (1) manusia (khalifah); (2) alam raya (ardh); dan (3) hubungan manusia
dengan alam dan segala isinya, termasuk hubungan manusia dengan manusia.
Quraish Shihab lalu menambahkan dua unsur lagi dari ketiga unsur tersebut,
yaitu (1) penganugerahan dari Allah (innī jā’ilun fil ardhi khalīfah), dan
(2) penawaran dari-Nya yang disambut dengan penerimaan oleh menusia, lihat
surat al-Ahzab: 72): “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. [21]
Kezaliman,
kebodohan, merusak, saling membunuh marupakan kata-kata yang merangkai ungkapan
tugas kekhalifahan tersebut. Kata tersebut memberi pemahaman bahwa tidak semua
manusia berbuat seperti itu, tentu ada yang baik, juga ada yang melakukan
perbuatan merusak tersebut. Sebenarnya, ketika manusia sebagai khalifah, maka
mestinya ia adalah majikan bagi yang lainnya, bukannya sebaliknya materi yang
menuntun manusia. Juga sebagai khalifah, manusia memegang kendali, merekalah
yang membuat perubahan, menata bentuk bumi, memodifikasinya dan menentukan arah
tujuannya. Sayyid Qutb mengatakan bahwa “perjanjian untuk menjadi khalifah di
muka bumi, dilaksanakan dengan penerimaannya terhadap petunjuk Allah dan keterikatannya
dengan manhaj-Nya di dalam kehidupan.”[22]
Allah berfirman yang arti maknanya: “kemudian jika datang petunjuk-Ku
kepadamu, maka siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran
atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
TEORI EVOLUSI DARWIN
Semua organisme, yang meliputi seluruh tumbuhan dan
hewan yang ada dan pernah ada, berkembang dari beberapa atau bahkan satu bentuk
yang sangat sederhana, melalui proses penurunan dengan modifikasi.[23]
“Manusia berasal dari binatang,
jelasnya dari kera.”
Itulah bahasa kasar teori evolusi yang dikumandangkan oleh Charles Darwin. Sebenanya
Darwin (1809-182) bukanlah orang yang pertama menyuarakan tentang teori evolusi
manusia. Ada banyak orang sebelumnya, seperti Lamarck (1774-1829).
Evolusi
atau evolution berarti perkembangan, dimana dalam terminologi ilmu
sejarah diartikan sebagai perkembangan sosial, ekonomis, politis, yang berjalan
sedikit demi sedikit, tanpa unsur paksaan.[24]
Sedangkan dalam istilah ilmu alam diartikan sebagai perkembangan beransur-ansur
dari benda yang sederhana menuju benda yang lebih sempurna.[25]
Istilah yang terakhir inilah makna
evolusi yang banyak dipakai. Dalam arti ini pula evolusi yang dimaksud oleh
Lemarck yaitu kehidupan berkembang dari tumbuh-tumbuhan menuju binatang, dan
dari binatang menuju manusia. Datanglah setelahnya Charles Darwin dengan
bukunya The Origin of Species (1859) mengatakan bahwa semua jenis
binatang berasal dari satu sel purba. Pandangannya ini diperkuat dengan
ditemukannya Manusia Neanderthal tahun 1856.[26]
Berbeda halnya dengan pendapat Ernst Heinrich Haeckel yang mempopulerkan teori
Darwin bahwa sel-sel purba itu diciptakan oleh Tuhan.[27]
Lebih heboh lagi ketika ia
menerapkan teorinya, dimana binatang yang paling maju adalah kera, dengan
mengalami proses struggle of life, sedikit demi sedikit mengalami
perubahan menuju jenisnya yang paling sempurna. Sederhananya dapat dikatakan
bahwa binatang (kera) menjadi manusia. Lain lagi halnya dengan Jacque Monod
yang menyatakan dalam bukunya Le Hasard et Necessite (Kebetulan dan
Keharusan) pada tahun 1970 bahwa evolusi manusia berjalan atas dasar
‘kebetulan’ yang disatukan dengan unsur ‘keharusan’.[28]
Proses struggle of life ini
dijelaskan oleh Darwin dalam bukunya On The Origin of Species[29]
sebagaimana yang dikutip oleh Bucaille:
“Maka, karena semakin banyak individu yang dilahirkan
bukannya yang mungkin bisa bertahan hidup, pastilah terjadi perjuangan untuk
mempertahankan eksistensi antara satu individu dan individu lain dari spesies
yang sama, atau individu lain dari spesies yang berbeda, atau kondisi-kondisi
fisis kehidupan… karena itu, dapatkah diangga mustahil, setelah kita lihat
bahwa variasi-variasi yang bermanfaat bagi manusia telah benar-benar terjadi,
bahwa variasi-variasi lain yang bagaimanapun bermanfaat bagi tiap makhluk dalam
perjuangan hidupnya yang keras dan kompleks, kadang-kadang terjadi dalam jangka
masa beribu-ribu generasi? Jika hal semacam itu terjadi, dapatkah kita
meragukan (mengingat bahwa lebih banyak lagi individu yang dilahirkan
dibandingkan yang dapat bertahan hidup) bahwa individu-individu yang memiliki
kelebihan, sekecil apa pun, atas yang lain-lainnya, akan mendapatkan kesempatan
terbesar untuk bertahan hidup dan melahirkan keturunan mereka? Di lain pihak,
kita mungkin merasa pasti bahwa setiap variasi yang tidak menguntungkan walau
sedikit akan mendatangkan kehancuran. Terlestarinya variasi-variasi yang
menguntungkan dan tertolaknya variasi-variasi yang tak menguntungkan, saya
namakan Seleksi Alam.”
Lebih
jelas dan ringkasnya, T. Jacob mengungkap beberapa hal pokok tentang teori
evolusi, yaitu sebagai berikut:[30]
bahwa evolusi tidak berasal dari biologi, tetapi dari humaniora dan sudah
dipakai jauh sebelum Darwin. Dalam biologi, pemakaian istilah evolusi mulai pada
abada XVII, banyak teori evolusi yang sudah ada, namun yang terkenal adalah
oleh Lamarck dan Darwin, dimana kedua teorinya pun berevolusi sehingga muncul
neo-Lamarckisme dan neo-Darwinisme. Teori evolusi yang umum dipakai sekarang
adalah teori biologi atau synthesis, yang mulai bersemi pada paruh pertama abad
ini dan dikukuhkan pada pertengahan abad ini, oleh beberapa ahli genetika,
peleontologi, taxonomi dan lainnya.
Teori
Darwin dikemukakan bersama dengan teori Wallace pada tahun 1858, dengan tekanan
utama pada seleksi alam. Darwin terpengaruh oleh Malthus dan Spencer, dan
mungkin juga oleh Linneaus. Tidak ada disebut-sebut tentang evolusi manusia
dalam Origin of Species. Debat Wilberforce – T. H. Huxley memperngaruhi
penolakan dan penerimaan teori Darwin. Perlu diingat bahwa pada masa Darwin
genetika belum ada dan ia belum mengetahui adanya fosil manusia.
Dalam
teori synthesis, evolusi diartikan perubahan frekuensi gena dari generasi ke
generasi. Perubahan ini disebabkan oleh empat faktor evolusi. Dari jenis
evolusi, mikro evolusi merupakan fakta, dapat dilihat dan dieksprementasi.
Spiesiasi juga ada fakta-faktanya, tatapi makro dan mega evolusi merupakan
teori yang didirikan di atas bukti-bukti paleontologis, bukti-bukti tidak
langsung dan ekstrapolasi mikro evolusi. Teori Darwin juga dipengaruhi oleh
semangat masa dan tingkat ilmu pengetahuan pada umumnya. Beberapa aspek teori
Darwin suvival of the fittest. Mekanismenya ada yang dibantah sekarang atau
disesuaikan dengan tingkat ilmu pengetahuan dan semangat masa.
Pertentangan
antara ilmu pengetahuan dan agama dahulu turut memegang peranan dalam
berkembangnya teori tentang evolusi manusia. Karena soal ini menyangkut
manusia, maka ia bermuatan emosi. Dalam menerangkan asal-usul manusia, Darwin
memakai model primatnir – manusia dan mata rantai yang tidak ada. Teori evolusi
sekarang ditentang oleh penemuan baru dalam genetika dan paleontologi, teori
kreasi, Michurinisme dan lain-lain. Sedangkan teori evolusi manusia sekarang
didasarkan atas penemuan paleoanthropologi, genetika dan ekologi, primatologi
dan ethologi, arkeologi dan ethnografi, serta kronometri.
Teori
evolusi, seperti juga ilmu-ilmu lain adalah cara berpikir untuk menerangkan
gejala dan peristiwa alam dan hayat serta mencoba memprediksinya. Karena fakta
yang tidak lengkap maka kebenaran yang pasti tidak diketahui. Pemahaman evolusi
dan mekanismenya yang mendalam sangat mengesankan dan menyadarkan manusia akan
kemahabesaran Tuhan.
ADAM: DI ANTARA AL-QUR’AN DAN DARWIN
Sebenarnya
teori yang diungkap oleh Darwin dan kawan-kawan bukannya tidak menuai kritikan
yang tajam dan terpercaya secara ilmiah. Namun gema di telinga kita masih
terasa keras bahwa hanya teori Darwin masih berlaku dan berjalan di setiap
sudut lorong-lorong desa kecil kita. Oleh karenanya bias dari gema tersebutlah
yang perlu diketahui lebih lanjut.
Ketika kebenaran ilmiah harus
diakui identitasnya –walaupun relatif-, maka semua orang termasuk agama dituntut
untuk membuat pernyataan sikap. Dalam menyikapi teori evolusi Darwin ini, ada
tiga sikap yang muncul, yaitu pertama, menerima teori evolusi, kedua,
moderat yaitu menganut teori evolusi terbatas, dan ketiga, menolak
sama sekali.
Mungkin sikap moderat adalah jalan
tengah, dimana secara garis besar mengakui bahwa tumbuh-tumbuhan atau binatang
atau manusia, selama ribuan dan jutaan tahun, benar-benar mengalami perubahan
yang tidak sedikit. Namun tetap menolak adanya penyebrangan tingkatan makhluk
yang satu menuju tingkatan makhluk lainnya. Artinya dari tumbuh-tumbuhan menuju
binatang dan dari binatang menuju manusia. Perubahan yang dimaksud adalah
terbatas hanya pada dataran tingkatannya saja, artinya secara horizontal, dan
bukannya vertikal.[31]
Terlepas dari kontroversi dan sanggahan terhadap teori
Darwin, mempersoalkan konsep Adam dalam al-Qur’an ke dalam teori Darwin
sebenarnya tidaklah atau kurang pas, karena bagaikan menggabungkan antara
keimanan dengan ketidakimanan terhadap Tuhan. Di satu sisi, Adam dipahami
sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah dari tanah, sedangkan pada
sisi lain, manusia dalam bentuknya yang sekarang tercipta dari proses yang
panjang, ribuan, jutaan dan bahkan miliyaran tahun dari sesuatu yang pernah ada
sebelumnya yaitu tumbuhan menjadi hewan dan hewan menjadi manusia.
Terdapat
kesatuan pandangan bahwa sebelum manusia diciptakan atau tercipta telah ada di
muka bumi tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dari hal inilah kemudian muncul perbedaan
melihat realitas, antara yang imani dan atheis. Namun sebenarnya prosesi
penciptaan Adam terdiri dari tiga tingkatan sebagaimana yaitu dari tanah yang
kemudian disempurnakan dan ditiupkan ruh ilahi padanya.
Proses kedua (penyempurnaan) dari
penciptaan manusia itulah yang sering menjadi permasalahan. Al-Farabi (783-950
M), Ibnu Maskawaih (w. 1030 M), Muhammad bin Syakir al-Kutubi (1287-1363 M),
Ibnu Khaldun (1332-1406 M) merupakan di antara deretan ulama muslim yang
berpendapat bahwa manusia diciptakan melalui fase atau evolusi tertentu dan
bahwa ciptaan Allah mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu. Kesimpulan ini jauh
ada sebelum lahir teori Darwin (1804-1872 M), dimana pendapat ini tidak
sepenuhnya sama dalam rincian teori evulusi yang dirumuskan Darwin.[32]
Muhammad Abduh dan Abbas al-Aqqad[33],
ulama Mesir dan ilmuwan menambahkan bahwa jika teori evolusi Darwin nyata
kebenarannya secara ilmiah, maka tidak ada alasan bagi kaum Muslim untuk tidak menerimanya.
Namun hal yang jelas perlu diingat juga, kebenaran ilmiah akan terus berkembang
menuju kebenaran mutlak.
Secara jelas memang Darwin tidak
pernah menyebutkan tentang evolusi manusia, dan ia tidak pernah serius
mendefinisikan arti ‘spesies’ dalam teorinya, bahkan tidak juga dalam daftar
kata-kata sulit yang ada pada penutup buku On the Origin of Spesies,[34]
dan apalagi akan menyebut kata-kata Adam, lebih lagi Adam sebagai manusia
pertama. Namun walaupun begitu, sikap moderat yaitu menganut teori evolusi
terbatas mungkin bisa dijadikan jalan terbaik dalam menyatukan kedua pendapat
yang berbeda tersebut yaitu antara al-Qur’an dan teori Darwin. Dalam ilustrasi
di bawah ini,[35]
kiranya dapat menggambarkan teori evolusi terbatas yang hanya mengakui
mutasi dalam arti horisontal dan tidak ada evolusi dalam artian yang vertikal.
Teori evolusi mutlak, mengajarkan adanya evolusi dalam arti horisontal
maupun vertikal. Ada penyebrangan antara tingkatan makhluk.
PENUTUP
Adam
diciptakan dari tanah dengan lafaz Tuhan Allah kun fayakūn, dimana tidak
dijelaskan di dalam al-Qur’an bagaimana detail proses kejadiannya sebagaimana
kebanyakan manusia lainnya yang lahir dari rahim seorang ibu. Penciptaan Adam tidak
melibatkan siapapun selain Allah sebagai manusia pertama untuk tugas besar yang
tidak mampun dipikul oleh langit dan bumi yaitu sebagai khalifah disamping
sebagai hamba.
Karena
khalifah adalah tugas besar, maka Adam sebagai manusia diberikan bumi beserta
isinya, juga diilhamkan baginya kemampuan berkomunikasi yaitu berbahasa.
Sedangkan godaan dan lainnya adalah sebagai motivator yang menggerakaktifkan
potensi lain dalam diri Adam untuk selalu melaksanakan kekhalifahan dalam
bingkai-Nya.
Khalifah,
secara umum adalah siapa yang diberi kekuasaan mengelola suatu wilayah, baik
terbatas maupun luas. Karena khalifah berpotensi untuk melakukan kesalahan
akibat mengikuti hawa nafsu, maka Allah memperingatinya untuk tetap berjalan
dalam aturan-Nya. Logisnya, jika yang memberi jabatan khalifah adalah Allah,
maka harus mengikuti hukum-Nya yang mutlak benarnya dan jika yang mengangkat
itu adalah masyarakat, maka harus pula mengikuti kehendaknya dalam kebenaran
dan kebaikan, karena manusia hanya mempunyai kebenaran relatif.
Menempatkan
konsep Adam dalam al-Qur’an ke dalam teori Darwin merupakan permasalahan
keimanan dan ketidakimanan. Namun terlepas dari itu, menganut teori evolusi
terbatas merupakan jalan dan sikap bijak. Proses penyempurnaan penciptaan
manusia adalah tempat untuk mendudukkan teori evolusi Darwin, namun tidak dalam
arti horisontal vertikal, tetapi hanya horisontal saja.
Akhirnya,
perlu adanya proses pemahaman (tafhim) oleh ulama kepada umat tentang
sebuah kebenaran, karena sifat taqlid, nunut pada masyarakat pada
umumnya masih sangat tinggi. Juga perlu disampaikan di sini bahwa susunan surat
dan ayat-ayat dalam al-Qur’an sungguh sangat sistematis. Hal ini sekaligus sebagai
sanggahan bagi pendapat yang menyatakan al-Qur’an itu tidak sistematis. Apapun
kesimpulan dari semua pembahasan ini hanya merupakan sebuah penafsiran manusia
dengan segala keterbatasannya terhadap Realitas Mutlak. Yang memahami benar dan
betul firman-Nya adalah Allah Tuhan semesta alam itu sendiri. Penafsiran tidak
pernah berhenti pada satu titik, ia akan terus berlanjut sejalan dengan
berubahnya ruang dan waktu. Semoga bermanfaaat. Amien.
DAFTAR BACAAN
A.
Husain, The First Man, India: New Era Publisher, 1988.
Al-Qurthubi,
“Tafsir al-Qurthubi” dalam CD Program
al-Qur’an
A.W.
Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, edisi
kedua.
Bey
Arifin, Rangkaian Cerita dalam al-Qur’an, Bandung: PT al-Ma’arif, tt.
Cyril
Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), (terj. Ghufron A. Mas’adi),
(Jakarta: PT Rja Grafindo Persada, 2002), cet. Ke-3.
CD Program I’rabul Qur’an
Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002, cet. Ke-2.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Yayasan Penyelenggaran Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, 1971.
Machnun Husein (penyunting), Asal-usul Manusia
dalam Polemik, Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983.
Maurice Bucaille, Asal-usul Manusia Menurut Bibel,
Al-Qur’an Sains, Bandung: Mizan, 1998, cet. Ke-12.
Muhammad Fuad Abd al-Baqiy, Mu’jam al-Mufahras
li-alfāz al-Qur’ān al-Karīm, Beirut: Dar al-Fikr, 1987
Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
al-Qur’an, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.
Osman Bakar (ed.) Evolusi Ruhani: Kritik Perenialis
atas Teori Darwin, Bandung: Mizan, 1996.
Al-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradāt Alfāz
al-Qur’ān, Beirut: Dar al-Fikr, 1972
Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam
Pemikiran Sains dan al-Qur’an, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997, cet.
Ke-2.
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an jilid 1, (terj.
As’ad Yasin, et. al.), Jakarta: GIP, 2000, cet. Ke-1.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 1999, cet. Ke-19.
____________, Wawasan al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 2000, cet. Ke-10
[1] Sedangkan bentuk yang kedua adalah
dengan menentukan tema tertentu, baru kemudian mengumpulkan semua ayat-ayat
dalam al-Qur’an yang berhubungan dengan tema tersebut dan sedapat mungkin
mengurutkannya berdasar masa turunnya dengan memperhatikan historisitasnya,
kemudian menjelaskan makna ayat-ayat tersebut sambil melihat keterkaitan ayat
satu dengan lainnya, lalu diambil pengertian umum tentang tema tersebut. lih.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), cet.
Ke-19, 114-118, 156.
[2] Qs.
Al-Baqarah (2): 21
[3] Qs.
Al-Alaq (96): 1-5
[4] Qs.
Al-Baqarah (2): 30
[5]
Al-Qurthubi, “Tafsir
al-Qurthubi” dalam CD Program al-Qur’an,
[6] Lihatlah, al-Qur’an banyak
menggunakan kata Bani Adam, Dzurriyat Adam untuk menunjuk manusia, disamping kata basyar, ins, nas, unas.
[7] Quraish Shihab, Wawasan
al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), cet. ke-10, 280-281.
[8] Lih. QS. Al-Hijr (15): 28-29, Qs.
Shad (38): 71-72.
[9] Muhammad
Fuad Abd al-Baqiy, Mu’jam al-Mufahras li-alfaz al-Qur’an al-Karim, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1987), 170-175.
[10] Al-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam
Mufradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), 92.
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaran Penterjemah/Pentafsir
al-Qur’an, 1971), 13.
[12] Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan
Alam dalam Pemikiran Sains dan al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1997), cet. ke-2, 93-101.
[13] Lih. Dawam Raharjo, Ensiklopedi
al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta:
Paramadina, 2002), cet. Ke-2, 347.
[14] Quraish
Shihab, Membumikan...., 157.
[16] Lih. Sayyid Qutb, Tafsir fi
Zhilalil Qur’an jilid 1, (terj. As’ad Yasin, et. al.), (Jakarta:
GIP, 2000), cet. ke-1, 70-72.
[17] Lih. Quraish Shihab, Membumikan….
157-158.
[18] Ibnu Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”
dalam CD Program al-Qur’an.
[19] Ibid.
[20] Sayyid Qutb, Tafsir…, 70.
[21] Quraish Shihab, Membumikan…, 158-162.
[22] Sayyid Qutb, Tafsir…, 71.
[23] Lihat
Osman Bakar, Evolusi Ruhani: Kritik Perenialis atas Teori Darwin, (Bandung:
Mizan, 1996), 9.
[24] Franz Dahler dan Julius Chandra, Asal
dan Tujuan Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), cet. ke-12. 21.
[25] Ibid.
[26] Maurice Bucaille, Asal-usul
Manusia Menurut Bibel, Al-Qur’an Sains, (Bandung: Mizan, 1998), cet. Ke-12.
9-10. lih. Machnun Husein (penyunting), Asal-usul Manusia dalam Polemik, (Yogyakarta:
Yogyakarta Offset, 1983), 3.
[27] Franz Dahler dan Julius Chandra, Asal…,
23. Maurice Bucaille, Asal-usul…, 40-42; 54-55.
[29] Judul lengkapnya adalah On The
Origin of Species By Means of Natural Selection or The Favoured Races in The
Struggle for life, London, 1859.
[30] Dinukil dari T. Jacob, “Beberapa Hal
Pokok tentang Teori Evolusi” dalam Machnun Husein (penyunting), Asal-usul
Manusia dalam Polemik, (Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983), 219-220.
[31] Ibid., 24-28.
[32] Quraish Shihab, Wawasan…, 280-281.
[33]Muhammad
Abduh (1849-1905) adalah tokoh pembaharu di Mesir. Abduh studi di Paris
kemudian bergaul dengan Jamaluddin al-Afghani, lalu mendirikan gerakan politik
keagamaan Urwatul Wutsqa dan menerbitkan majalah al-Manar (menara).
Ia pernah menjabat sebagai dewan majlis agung Universitas al-Azhar. Lih. Cyril
Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), (terj. Ghufron A. Mas’adi),
(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), cet. ke-3.
6. Sedangkan Mahmud Abbas al-Aqqad merupakan seorang ilmuan dan ulama Mesir.
Pendapatnya tersebut di atas dikutip oleh Qurasih Shihab dalam bukunya yang
berjudul al-Insan fi al-Qur’an. Lih. Quraish Shihab, Wawasan...,
281.
[34] Maurice Bucaille, Asal-usul…, 55.
[35] Lihat Franz Dahler dan Julius
Chandra, Asal…, 28.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Assalamualaikum wr.wb,
ReplyDeleteAllah berfirman pada surat Al Baqarah ayat 30.
Dan ingatlah tatkala Tuhanmu berkata kepada para Malaikat:’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi . Mereka bekata:’Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman:”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui ” (QS.Al-Baqarah: 30).
saya ingin memberikan tanggapan sedikit mengenai asal-usul penciptaan manusia melalui firman Allah ini ,ayat demi ayat secara singkat.
seperti kita ketahui bahawa kata khalifah merujuk kepada kepimpinan.
Allah hendak menciptakan seorang pemimpin(khalifah) di muka bumi,tetapi para malaikat memperotes dengan mengatakan bahwa khalifah(pemimpin) tersebut akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi.
apakah yg diketahui oleh para malaikat sehingga mereka memperotes?
yaitu apabila Allah menciptakan seorang pemimpin di muka bumi, sudah tentu Allah hendak ingin menciptakan seorang makhluk yg nyata, yaitu makhluk yg dapat hidup di bumi dan dapat menikmati hasil usahanya sendiri dari bumi dan semua kebutuhannya dari bumi.
makhluk ini sudah tentu mempunyai nafsu yaitu nafsu makan ,bekerja dan tentunya berkembang biak.Makhluk nyata ini(khalifah) sudah tentu sangat berbeda dengan para malaikat yg tidak mempunyai nafsu,tugas mereka hanya bertasbih,memuji dan mensucikan Allah saja,tetapi Allah telah mententeramkan kegelisahan mereka dengan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu keteahui”.
Jadi apakah yg tidak diketahui oleh para malaikat?(lihatlah ayat 33, surat al baqarah dengan hurup besar).
firman Allah Al Baqarah ayat 31
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! ( Surat Al Baqarah Ayat 31)
dan ayat 32.
Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Surat Al Baqarah Ayat 32)
Dengan kedua ayat ini sangat jelas bahwa Allah telah menciptakan seorang khalifah(pemimpin) yg berbentuk manusia yg sangat cerdas.
Dengan ayat 33 pada surat Al Baqarah, firman Allah,
Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “BUKANKAH SUDAH KU-KATAKAN KEPADAMU, BAHWA SESUNGGUHNYA AKU MENGETAHUI RAHASIA LANGIT DAN BUMI DAN MENGETAHUI APA YANG KAMU LAHIRKAN DAN APA YANG KAMU SEMBUNYIKAN?” (Surat Al Baqarah Ayat 33).
Adam adalah khalifah(pemimpin ) seorang manusia pertama yg berakal cerdas.
sebelum adam hanya ada tumbuhan dan hewan-hewan saja pada zamannya.
mengenai teori darwin yg mengatakan bahwa manusia berasal dari monyet adalah tidak benar.
Sebenarnya yg membuat kegelisahan para malaikat bukanlah perbuatan nabi adam dan siti Hawa yg akan merusak dan menumpahkan darah dimuka bumi Allah ini ,karena Allah menciptakan Adam secara langsung dengan kalimat(kun fayakun),Adam adalah seorang yg suci, tetapi yg membuat para malaikat gelisah adalah perbuatan yg akan di lakukan oleh keturunan adam dan hawa ini,seperti firman Allah pada surat as sajdah ayat 8. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
buktinya pembunuhan pertama telah dilakukan oleh anak nabi Adam dan Hawa.
wassalamualaikum wr.wb,
sayyid.
maaf surat al insaan ayat 2, bukan surat as sajdah ayat 8.
ReplyDeletesayyid