Metodologi Fiqh Sosial M.A. Sahal Mahfudh
Metodologi Fiqh Sosial M.A. Sahal Mahfudh
Tekan ctrl + click salah satu iklan dibawah untuk lanjut membaca
push ctrl + click one of the banners below before continue reading
push ctrl + click one of the banners below before continue reading
A. Latar Belakang Masalah
Dalam konstruk masyarakat kita masih terdapat suatu tradisi yang tidak
mudah dihilangkan yaitu percampuran antara hukum Islam (fiqh) dan budaya lokal
atau nuansa sosial yang berkembang di daerah tertentu. Dalam hal ini budaya
lokal diartikan lebih spesifik kepada permasalahan sosial yang terjadi, karena
dampak yang jelas terjadi dari adanya budaya lokal tersebut adalah pengaruh
yang kuat terhadap bentukan karakter sosial masyarakat yang mendiami tempat
tertentu.
Hal itulah yang menjadi kegelisahan para ahli fiqh di kalangan Indonesia
dalam menemukan suatu alternatif hukum yang lebih fleksibel dan kontekstual.
Fiqh yang dibawa dan disampaikan dari Nabi, kemudian diteruskan para sahabat,
tabiin, kemudian para ulama terasa masih begitu kaku dan tidak selalu sesuai
dengan kondisi sosial dan geografis daerah tertentu. Fiqh dipahami oleh
masyarakat sebagai sesuatu yang sangat formal, sehingga tidak jarang masyarakat
merasa terbatasi ruang sosialnya.
Pada perkembangannya, belum ada suatu metodologi (manhaj) yang memahami
syari'at secara tuntas dan tepat, untuk mengatasi segala permasalahan sosial
yang terus berubah. Fiqh sosial yang dimunculkan oleh Sahal Mahfudh merupakan
salah satu proses ijtihad untuk mengatasi kompleksitas sosial tersebut.[1] Berangkat dari pemikiran
ulama-ulama terdahulu, baik dari konteks metodologis maupun dari kumpulan hukum
yang dihasilkan (qauli).[2] Oleh karena itu, mendorong
penyusun untuk menganalisis konsep metodologi yang diterapkan dalam fiqh sosial
tersebut dan hal-hal yang berkaitan erat dengan permasalahan fiqh sosial.
B.
Sejarah Perkembangan Fiqh Hingga Kemunculan Fiqh Sosial di Indonesia
Pada tahap awal perkembangan fiqh[3] terdapat perbedaan
pendapat mengenai asal-usul keputusan yang berasal dari Nabi atau para sahabat
yang meneruskannya apakah itu asli atau palsu. Hal itu tidak bisa langsung
dipastikan karena minimnya data yang obyektif untuk menunjukkan asal dari
keputusan tersebut. Namun ada beberapa hal yang perlu diketahui seperti dibawah
ini:
Pertama, umat Islam
menjadi entitas politik independen yang memerlukan aturan dan ketentuan
sehari-hari untuk pemerintahan dan administrasi peradilan sejak tahun 622 M.
Sumbernya adalah al-Qur'an dan hadis Nabi, baik selama beliau masih hidup
maupun setelah beliau wafat.[4] Jelas sekali disini bahwa
pendapat dan tindakan Nabi merupakan prioritas kedua setelah wahyu Allah,
sekaligus sebagai suri tauladan nyata bagi seluruh umat Islam. Setelah Nabi
tiada pun, posisi hadis masih menjadi pertimbangan utama bagi kaum muslim dalam
mengambil contoh tindak-tanduknya.
Kedua, walaupun
terdapat banyak keputusan dan pendapat Nabi yang diteruskan generasi Muslim
pertama dan kedua, namun beberapa dekade setelahnya warisan itu diberikan
berupa tradisi lisan informal yang kemudian dikumpulkan dan dan direkam ulang pada
abad kedua Islam. Hal itu dilakukan dilakukan untuk kepentingan pengkajian dan
pengembangan keilmuan Islam.[5] Kesadaran untuk
mengumpulkan dan mendokumentasikan karya Nabi itu merupakan tanda peningkatan
kebutuhan terhadap figur Nabi.
Ketiga, pengkajian
secara sistematik muncul pada abad kedua Islam sebagai bentuk upaya memilah dan
membuat rangking berbagai pendapat dan keputusan generasi Muslim pertama dan
kedua dari perspektif al-Qur'an dan hadis. Hadis mempunyai posisi signifikan
dan lebih otoritatif dari sumber syari'ah lainnya.[6] Tradisi yang dilestarikan
oleh generasi saat itu berpengaruh pada generasi-generasi selanjutnya dan
mempunyai dampak yang kuat terhadap pembentukan pola pikir generasi seterusnya.
Tradisi Nabi yang
dilanjutkan oleh para sahabat telah menemukan suatu istilah baru yaitu fiqh
sabahat. Fiqh sahabat memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam khazanah
pemikiran Islam. Pertama, sahabat -sebagaimana
didefinisikan ahli hadis- adalah orang yang berjumpa dengan Nabi dan
meninggal dunia sebagai orang Islam. Umat Islam mengenalnya dengan
hadis/sunnah Nabi, oleh karena itu, dari mereka juga kita mewarisi perbedaan
(ikhtilaf) di kalangan kaum Muslim. Kedua, zaman sahabat adalah zaman
setelah berakhirnya masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila
pada zaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri
perbedaan pendapat dengan merujuk pada Nabi, maka pada zaman sahabat
rujukan itu adalah diri sendiri. Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam
dan interaksi antara Islam dengan peradaban-peradaban
lain menimbulkan masalah-masalah baru. Dan para sahabat merespon situasi ini
dengan mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka.
Dalam perkembangan ilmu
fiqh, mazhab sahabat -sebagai ucapan dan perilaku yang keluar dari para
sahabat- akhirnya menjadi salah satu sumber hukum Islam di samping istihsan,
qiyas, mashalih mursalah dan sebagainya. Mazhab sahabat pun
menjadi hujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat, sebagian menganggapnya
sebagai hujjah mutlak; sebagian lagi sebagai hujjah bila bertentangan
dengan qiyas; sebagian lainnya hanya menganggap hujjah menurut pendapat
Abu Bakar dan Umar saja, berdasarkan hadis "berpeganglah pada dua orang
sesudahku, yakni Abu Bakar dan Umar", dan sebagian yang lain
berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatan khulafa'
al-Rasyidin. Yang keempat, ahl al-Sunnah sepakat
menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah baik (al-shahabiy
kulluhum 'udul).[7]
Salah satu penyebab utama
ikhtilaf di antara para sahabat adalah prosedur penetapan hukum untuk
masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Nabi. Sementara itu, setelah
Nabi wafat, masa tasyri' tidak bisa dilanjutkan. Menghadapi masalah-masalah
baru itu, muncul dua pandangan. Kelompok pertama memandang bahwa
otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an
setelah Nabi wafat dipegang oleh ahl al-Bait. Hanya
merekalah, menurut nash dari Nabi, yang harus dirujuk untuk menyelesaikan
masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini tidak
mengalami kesulitan dalam masa berhentinya wahyu, karena mereka memahami betul
tugas mereka adalah mengacu pada Ma'shumun.
Kelompok kedua, memandang tidak ada orang tertentu yang ditunjuk Nabi
untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Al-Qur'an[8] dan al-Sunnah[9] adalah sumber untuk menarik hukum-hukum
berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat.
Kelompok ini -kelak disebut Ahl al-Sunnah-
ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak
hal tidak
terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakan
metode-metode ijtihad seperti qiyas atau istihsan. Semua Khalifah
al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali Ali bin Abi Thalib. Kelompok
kedua lebih banyak menggunakan ra'yu, dan kelompok pertama lebih
banyak merujuk nash. Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly,
kelompok pertama dalil naqli.
Uraian diatas telah menggambarkan tentang sejarah fiqh
dari masa awal Nabi hingga masa generasi selanjutnya. Berkaitan dengan sejarah
fiqh yang menyebar sampai ke negara Indonesia melalui para
"utusan-utusan" yang telah terpilih. Maka sesuai perkembangan yang sampai
ke Indonesia ajaran fiqh hadir di tengah masyarakat kita dengan corak kearaban
yang cukup khas. Perbedaan kultur antara negara asal ajaran fiqh dengan negara
yang menjadi sasaran penyebaran ajaran Islam membuat fiqh "Arab"[10] itu tidak mudah diterima
oleh masyarakat kita dan memerlukan waktu yang cukup lama.
Pada dasawarsa terakhir ini terdapat gejala yang menarik mengenai
perkembangan wacana fiqh Indonesia. Fenomena ini diwarnai dengan munculnya
wacana fiqh sosial yang diprakarsai oleh M.A. Sahal Mahfudh dan Ali Yafie. Kedua intelektual berbasis
tradisionalis tersebut sangat giat dalam mewacanakan fiqh itu kepada seluruh
lapisan masyarakat, khususnya masyarakat tradisional yang secara politik
tersisihkan. Penjelmaan karakter tersebut cukup kentara berseberangan dengan
kekuasaan yang ada, hingga sering disebut dengan golongan "tradisionalis
radikal" atau kelompok yang sering memiliki pandangan berseberangan dengan
negara.[11] Hal itu tidak lain
terpengaruh oleh kondisi sosial pendiri fiqh kontekstual tersebut.
Awalnya wacana itu sangat populer di kalangan masyarakat kita, namun tidak
lama setelah itu sudah menjadi wacana yang umum dan lumrah. Bagi sebagian
kalangan menganggap wacana itu akan tetap menarik selagi belum lahir fiqh
kontekstual serupa yang lebih aktual. Oleh karena itu, pada bahasan selanjutnya
mengkaji permasalahan fiqh sosial dan seputarnya yang lebih luas dan detail.
C. Karakteristik Pemikiran Hukum Islam M.A. Sahal Mahfudh
Pemikiran fiqh M.A. Sahal Mahfudh cenderung berbeda
dengan yang lainnya. Hal itu banyak dipengaruhi oleh kegelisahan beliau
terhadap budaya pemikiran formalis, dalam artian menerapkan teori-teori fiqh
hanya berdasarkan pada pemahaman tekstual saja tanpa mempertimbangkan kondisi
praksisnya atau kontekstualitasnya. Ternyata, di kalangan masyarakat pun
terdapat kegelisahan semacam itu dan merasa tidak leluasa dengan model berpikir
ala formalis. Dari situ muncul fiqh kontekstual sebagai salah satu alternatif
pilihan atas kegelisahan yang berkembang di masyarakat. Istilah yang digunakan
pun cukup akomodatif yaitu fiqh sosial, yang mengartikan bahwa cara berpikir
dan bertindak sesuai dengan kondisi sosial yang berkembang di masyarakat tanpa
menghilangkan landasan tekstualnya.
Jika kita amati dengan jeli, konsep M.A. Sahal Mahfudh itu merupakan krtik
terhadap dua mainstream pemikiran yang
berkembang saat itu, yakni: pertama, kelompok yang hanya menekuni
wilayah praksis tanpa dibekali dengan kemampuan yang memadai. Kedua,
kelompok yang hanya sibuk berdiskusi atau berretorika tetapi lupa terhadap
kondisi yang berkembang di masyarakat.[12] Pada kelompok pertama
banyak ditemui dalam komunitas masyarakat awam yang nota bene hanya mengikuti
cara bertingkah laku berdasarkan penuturan sesepuh atau pemuka agama.
Keberadaan mereka hanya sebagai folllowers (pengikut) dan bukan sebagai native
reader (pembaca yang langsung merujuk pada landasan-landasan tekstual) atau
pada tingkatan menengah yaitu cara berperilaku mereka yang sebenarnya mempunyai
landasan tekstual namun tidak sepenuhnya menguasai inti-inti dari pemahaman
tekstual seperti penguasaan dalam membaca kitab-kitab klasik dan minimnya
pengetahuan terhadap fiqh. Kenyataan semacam itu tidak ayal lagi memunculkan taqlid
yang menjurus pada taqlid buta, dan menjadi rongrongan terhadap
kemurnian fiqh. Kemudian kelompok kedua biasanya terdapat dalam lingkungan
akademisi dan lembaga sosial “abstrak”, yang hanya menggeluti dunia retorika
tanpa banyak menerapkannya di lapangan. Jadi, teori-teori yang diwacanakan tak
ubahnya sebagai wacana-wacana yang tidak membumi dan selesai pada penyampaian
lisan saja. Kenyataan semacam itu lebih menggerogoti dari kenyataan yang
dilakukan oleh kelompok pertama sebab permasalahan fiqh menjadi utopia,
tanpa mempunyai realitas dan kontribusi yang jelas dalam masyarakat.
Pemikiran beliau
mempunyai kesamaan substansial dengan pemikiran Ali Yafie yaitu dalam menyikapi
kondisi sosial dan normativitas agama. Tindakan sosial yang mempunyai
keterkaitan kuat dengan agama tetap harus berdasarkan norma-norma agama itu,
walaupun dalam realisasinya lebih kondisional. Dia mengemukakan:
"Tajdid merupakan upaya menerapkan
norma-norma agama atas realitas sosial, untuk memahami kebutuhan perkembangan
masyarakat, dengan berpegang pada dasar-dasar (usul) yang sudah diletakkan oleh agama itu, melalui
proses pemurnian yang dinamis. Jadi, tajdid yang kita maksudkan bukan
berarti menggantikan ajaran-ajaran dan hukum-hukumnya yang bersifat mutlak,
fundamental dan universal, yang sudah tertuang dalam ketentuan-ketentuan
otentik (qat‘iyyat). Tapi tajdid itu mempunyai ruang gerak yang
cukup luas dam hal memperbaharui cara memahami, menginterpretasi, mereformulasi
dan melakukan teo-passing atas ajaran agama-agama itu, yang berada di
luar wilayah qat‘iyyat yaitu ketentuan-ketentuan yang sifatnya zanniyat
yang menjadi wilayah kajian ijtihad."[13]
Pemahaman diatas mengerucut pada suatu terminologi yang dikembangkan oleh
M.A. Sahal Mahfudh bahwa ibadah memiliki dua dimensi, yakni dimensi yang
bermanfaat untuk kepentingan pribadi (individual/ syakhshiyyah) dan
dimensi yang bermanfaat untuk orang lain atau masyarakat (sosial/ijtima'iyah).[14] Memang, dalam
kenyataannya tidak semudah apa yang diinginkan oleh syari‘at Islam. Tuntunan
syari‘at Islam untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari kadang menemukan
jalan kebekuan karena nuansa formalistik yang sering membatasi ruang gerak
subyek.
Menurut M.A. Sahal Mahfudh, ciri-ciri yang
menonjol dari ”paradigma ber-fiqh” baru itu yaitu: pertama, mengupayakan
interpretasi ulang terhadap teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru. Kedua,
makna bermazhab berubah dari bermazhab tekstual (mazhab qauly) ke bermazhab secara metodologis (mazhab
manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar antara ajaran yang pokok (ushul)
dan yang cabang (furu’). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika
sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan
metodologi[15]
pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.[16] Oleh karena itu kehadiran
fiqh disini juga sebagai perangkap hermeneutika yang berpengaruh pada persoalan
metodologisnya.
Berdasarkan pengembangan
teoritis dalam metode berijtihad,[17] maka muncul penegasan
secara teoritis dalam hal metode dan prosedur penggalian hukum, metode manhajiy
merupakan suatu perkembangan yang ideal karena konsekuensi penggunaan metode
ini adalah harus mengacu pada metode penggalian hukum mazhab empat secara
komprehensif dengan memperhatikan ragam dan hirarkinya.[18] Sebenarnya hal itu saja
tidak cukup, karena baik kaidah fiqh maupun ushul fiqh dalam
batas tertentu akan tidak mampu memecahkan problem hukum kontemporer. Oleh
karenanya agar metode itu compatible dengan dunia modern, maka
perlu ada pengembangan metodologi yang lebih tepat.
Berijtihad dengan model manhajiy
di atas, masih berkutat pada pengambilan dan mengikuti apa yang sudah
dihasilkan oleh ulama mazhab, belum sampai pada pengembangan metodologi yang
mesti menjadi kebutuhan dalam konteks memecahkan problem hukum kontemporer.[19] Pengembangan metodologi
dilatarbelakangi oleh kenyataan ketidakcukupan metode klasik memecahkan
problem-problem kontemporer. Sementara metode-metode pengetahuan modern karena
meninggalkan peran wahyu juga dirasa tidak cukup memberikan jawaban kebutuhan muslim
kontemporer.
Pengembangan yang
dimaksud adalah melakukan upaya rekonstruksi bangunan teori bermazhab secara manhajiy
yang telah didefinisikan di atas, yang dikawinkan dengan motode-metode sains
modern dengan mengambil elemen-elemen baik dari metode-metode Islam klasik
maupun metode-metode Barat modern. Sintesa dari keduanya diharapkan
menghasilkan sebuah metode yang cukup applicable. Usaha itu dilakukan
dalam rangka pengembangan pemikiran metodologis menuju –meminjam istilah Qodri
Azizi- “ijtihad saintifik modern” dengan metode “manhajiy eklektis”[20] atau “manhajiy
plus saintifik”, sebagai implementasi al-Muhafadzoh ‘ala al-Qadim al-Shaleh
wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (melestarikan khazanah lama yang baik
dan mengambil khazanah baru yang lebih baik) .
D. Kerangka Paradigmatik Fiqh Sosial
Dalam melihat permasalahan fiqh sosial sebaiknya kita memahami terlebih
dahulu aspek-aspek yang dikaji oleh fiqh. Fiqh membahas empat aspek kehidupan
umat manusia. Satu diantaranya adalah membahas persoalan ’ubudiyah,
yaitu mengatur hubungan transendental antara manusia dengan Tuhannya, sedangkan
yang lainnya mengkaji tentang aspek kehidupan yang berhubungan langsung dengan
kehidupan materiil dan sosial yang bersifat duniawi, yaitu mu`amalat (hubungan
profesional dan perdata), munahakah (pernikahan), dan jinayah
(pidana).
Dalam hal ini, syari’at Islam mengatur pola hubungan antara manusia dengan
Allah dalam muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) dan muthlaqah (tidak
terikat oleh syarat dan rukun tertentu, khususnya berkaitan dengan tehnik
operasionalnya).[21]
Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya diatur dalam mu’asyarah
(pergaulan), mu`amalah (hubungan transaksi) dan munahakah
(pernikahan).[22]
Komponen-komponen tersebut sekaligus merupakan tehnik operasional dari lima
tujuan syari’at (maqasyid al-syari’ah),[23] yaitu memelihara agama,
akal, jiwa, keturunan, dan harta benda,[24] dalam artian yang lebih
luas.
Kelima tujuan syari’at tersebut mempunyai sasaran inti, yaitu mendapatkan
kesejahteraan lahir dan batin bagi semua umat manusia, artinya bahwa posisi
manusia sangat menentukan prinsip syar’i itu.[25] Hal itu merupakan
kerangka paradigmatik fiqh sosial yang seharusnya dikembangkan. Fiqh sosial
dalam konteks ini diharapkan mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan umum (al-maslahah al-`ammah).
Kemaslahatan umum yang dimaksudkan adalah pemenuhan kebutuhan suatu masyarakat
dalam kawasan tertentu[26]. Baik kebutuhan itu
bersifat dharuriyah (kebutuhan dasar), maupun kebutuhan hajjiyah
(sekunder) dan kebutuhan taklimiyah (pelengkap).[27]
Beberapa permasalahan
sosial yang dikaji oleh M.A. Sahal Mahfudh yaitu; Pertama, tentang
hubungan agama dan negara. Hubungan antara keduanya mengacu pada “simbiosis
mutualisme”. Keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan kemaslahatan bersama.
Pada gagasan selanjutnya, Kyai Sahal memandang pentingnya “kulturasi politik”
untuk mewujudkan masyarakat sipil (civil society) dalam wacana demokrasi
modern[28]. Civil society dipahami
sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dengan ciri-ciri
kesukarelaan, keswasembadaan (self generating), ketaatan pada hukum,
keswadayaan (self supporting), dan kemandirian (self reliance)
berhadapan dengan negara.[29] Pewacanaan civil
society itu tidak lain bertujuan untuk meng-counter sistem pemerintahan
yang cenderung hegemonik dan tidak melihat kepentingan rakyat, hingga
diperlukan dari masyarakat itu sendiri untuk selalu waspada dan kritis terhadap
seluruh kebijakan dan keputusan pemertintah. Hal itu bukan berarti sengaja
mendirikan oposisi negara yang datang dari masyarakat, namun sekedar untuk
memunculkan kesadaran dan kekritisan masyarakat.
Kedua, tentang krisis ekologi. Kyai Sahal memandang penggunaan alam harus
didasarkan pada aspek manfaat dan mafsadat, untuk menunjang kebutuhan dan kehidupan
yang terdiri dari tiga kategori, yakni kebutuhan mendesak (dharuri),
kebutuhan dasar (hajji) dan kebutuhan sekunder (tahsinni).
Pemenuhan kebutuhan itu harus sesuai dengan skala prioritas dan ditujukan untuk
kepentingan bersama.[30] Kemaslahatan disini tetap
pada pertimbangan pemungsian alam untuk kepentingan masyarakat secara umum,
tidak diperkenankan penggunaan alam hanya untuk kepentingan pribadi, apalagi yang
berakibat pada kerusakan ekosistem alam dan meninggalkan dampak lingkungan yang
berbahaya bagi masyarakat sekitarnya.
Ketiga, tentang prostitusi dan industri sex. Melihat kenyataan yang
terjadi, pelarangan terhadap prostitusi dan bisnis bukan merupakan suatu solusi
karena tidak dapat mencegah berkembangnya perdagangan seksual, maka Kyai Sahal
berpendapat bahwa perlu adanya sentralisasi lokasi pelacuran untuk
meminimalisir sisi madharat-nya. Pendapat itu didasarkan pada kaidah akhafudz
al-dlararain, yang berarti mengambil resiko paling kecil dari dua jenis
bahaya yang mengancam.[31] Terlihat sekali
penggunaan kaidah didasarkan pada suatu kesadaran realitas yang menunjukkan
kemustahilan untuk mencegah pelacuran dengan berbagai cara apapun. Dan memang
benar, yang hanya bisa dilakukan adalah mengurangi aktivitas dan penyebaran
bisnis pelacuran tersebut, salah satunya dengan membuat lokalisasi pelacuran.
Keempat, tentang pendidikan kontekstual. Kyai Sahal memandang sebuah
pendidikan adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara
sistematis, terencana dan terarah. Sedangkan sosial, secara ensiklopedis
berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat atau secara abstraktis
berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut pelbagai fenomena hidup
dan kehidupan orang banyak. Baik dari sisi makro individual maupun makro
kolektif.[32]
Kritik yang
dilakukan Kyai Sahal adalah tentang dunia pendidikan modern yang gagal membawa
misi kemanusiaan, termasuk kritik didalamnya adalah ditujukan kepada lembaga
pendidikan Islam. Kritiknya adalah sebagai berikut:
“Lembaga pendidikan Islam di luar pesantren
yang pada awalnya diharapkan menjadi media alternatif, pada perekembangannya
justru dianggap tidak mampu menjaga harapan itu. Kebijaksanaan pendidikan yang
bersifat kognitif (dengan asumsi, bahwa pemahaman keilmuan yang mendalam akan
melahirkan perilaku agamis yang bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah),
pada akhirnya justru melahirkan produk yang menguasai Islam secara Ilmiah,
tetapi sering dipertanyakan dari segi penghayatan (amaliyah).”[33]
Pendidikan yang
diharapkan Kyai Sahal adalah suatu pendidikan lebih realistis, dalam artian
antara teori-teori yang banyak dikembangkan di lembaga pendidikan seharusnya
bisa diterapkan sebagaimana mestinya. Ranah yang seharusnya dijangkau oleh para
penuntut ilmu juga seharusnya melibatkan keaktifan aspek afektif, kognitif, dan
psikomotorik, hingga wacana pendidikan itu bisa rasakan sepenuhnya sesuai
dengan pikiran dan tindakan mereka. Disamping itu, pendidikan juga seharusnya
melihat sisi-sisi kemanusiaan, dalam artian untuk menumbuhkan suatu pendidikan
yang peduli terhadap nasib rakyat kecil dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan
seutuhnya.
Kelima, tentang ekonomi sosialis. Umat manusia sebagai subyek ekonomi
dibebankan untuk berikhitiar sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Taklif
(pembebanan) ini berimplikasi pada banyak hal. Meskipun ekonomi sendiri
bukan komponen fiqh, ikhtiar dalam arti luas adalah terkait erat dengan
persoalan usaha ekonomis. Dalam ekonomi Islam, diterapkan pokok-pokok ekonomi secara
umum yaitu pertanian, perindustrian, (termasuk juga kerajinan), dan
perdagangan.[34]
Dalam pelaksanaannya, diharuskan mempertimbangkan kepentingan antara penjual
dan pembeli, tidak diperkenankan mengambil keuntungan yang melebihi batas
kewajaran dan hal lainnya yang dapat merugikan salah satu pihak. Jelasnya,
sistem ekonomi Islam –yang lebih sosialis- dihadirkan untuk menghadang sistem
ekonomi global yang kapitalis, dalam artian sistem ekonomi yang lebih melihat
pada kepentingan pemilik modal untuk mengeruk keuntungan sebesar mungkin, dan
merugikan rakyat kecil.
E. Kontruksi Fiqh Sosial M.A. Sahal Mahfudh
Keberadaan M.A. Sahal
Mahfudh dengan fiqh sosialnya berpengaruh besar terhadap kehidupan umat Islam
yang berada di Indonesia. Tawaran fiqh kontekstual itu sangat dipertimbangkan
dalam lembaga, forum diskusi, instansi keagamaan dan lain sebagainya. Oleh
karena itu tidak sedikit kaum Muslim yang mengikuti pemahaman fiqh itu,
walaupun sebagian dari mereka belum paham betul tentang konsepsi utama dari
fiqh tersebut.
Kelahiran fiqh sosial
itu tidak lepas dari latar belakang Kyai Sahal yang sejak muda bergelut dalam
lembaga swadaya masyarakat, apalagi melihat kondisi sosio-kultural dan ekonomi
masyarakat kajen yang memprihatinkan. Pergulatan Kyai Sahal di tengah
masyarakat kecil telah mempengaruhi konstruksi sosial yang dibangunnya, yakni
fiqh sosial yang tidak hanya idealis-paradigmatik, tetapi juga fiqh sosial yang
sifatnya “praktis” untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.[35] Upaya realisasi
konsep-konsep itu tentunya tidak langsung diterima oleh sebagian masyarakat,
sebab diperlukan pemahaman dan prasangka
positif terlebih dahulu. Dengan adanya pemahaman terhadap konsep itu setidaknya
dapat menghindari kesalahan pemaknaan dan merealisasikannya. Dan prasangka
positif diperlukan juga untuk bisa mencerna konsep baru itu dengan pikiran
terbuka tanpa menghilangkan nalar kritisnya.
Pandangan fiqh sosial
Kyai Sahal bermula dari tesisnya, bahwa sasaran syari’at Islam adalah manusia.
Preposisi tersebut didasarkan kepada sejumlah ajaran dalam syari’at Islam itu
sendiri yang mengatur soal penataan hal ikhwal manusia dalam kehidupan duniawi
dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. Syari’at Islam
mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, yang dalam terminologi fiqh disebut
dengan ibadah.[36]
Ibadah itu berhubungan dengan individu dan sosial, terkait dengan segala aspek
kehidupan umat manusia.
Selain itu juga, tujuan
syari’at (maqasid al-syari’ah) terdiri dari lima bagian yaitu untuk
melindungi agama, jiwa, keturunan, akal pikiran, dan harta benda.[37] Rumusan maqasid ini
memberikan pemahaman bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek
penyembahan Allah dalam arti terbatas pada serangkaian perintah dan larangan,
atau halal haram yang tidak dapat secara langsung dipahami manfaatnya.
Keseimbangan kepedulian dapat dirasakan bila kita memandang pemeliharaan
terhadap agama sebagai unsur maqasid yang bersifat kewajiban bagi umat
manusia, sementara yang lainnya dipahami sebagai wujud perlindungan hak yang
selayaknya diterima oleh manusia.[38]
F. Fiqh Sosial dan Legitimasi Kultural
Legitimasi
kultural bisa didefinisikan sebagai kualitas untuk menyesuaikan diri dengan
perinsip-prinsip atau standar-standar umum budaya yang masih dipersoalkan,
dengan cara mendapatkan otoritas dan relevansi dari prinsip dan standar
budayanya sendiri. Penelitian menunjukkan, terdapat kemampuan hidup sistem
budaya daerah kita di tengah-tengah arus modernisasi yang datang tanpa dapat
dicegah. Oleh karena itu, sikap yang tepat adalah bagaimana kita memanfaatkan
sistem budaya daerah di suatu tempat dalam kurun waktu tertentu.[39] Norma atau nilai-nilai
yang absah secara kultural adalah norma yang dihormati dan dilaksanakan oleh
anggota sebuah komunitas budaya karena norma itu dapat memenuhi beberapa
kebutuhan atau tujuan komunitas dan individu yang ada di dalamnya. Karena itu,
kesuksesan proses legitimasi kultural ini juga ditentukan oleh pengakuan kita
bahwa legitimasi kultural berlaku untuk institusi atau norma yang baru
diperkenalkan atau dimodifikasi. Proses legitimasi kultural sebenarnya tidaklah
sesulit yang dibayangkan karena proses yang sama selalu terjadi di dalam setiap
kebudayaan melalui kontestasi dan transformasi internal.[40] Karena mungkin saja
terjadi konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan di antara berbagai konsepsi
yang berlawanan tentang kebutuhan-kebutuhan atau sasaran-sasaran individu dan
kolektif, maka norma-norma atau nilai-nilai dalam setiap kebudayaan yang
dihormati dan dipatuhi selalu mengalami perubahan dan penyesuaian diri.
Jelas sekali, keberadaan fiqh sosial mempunyai korelasi kuat dengan
sistem kebudayaan lokal yang ada dalam masyarakat tertentu. Tidak jarang dari
perkembangan budaya yang terjadi, akan memunculkan pergeseran nilai-nilai
sosial yang pada ujungnya membentuk suatu pemahaman fiqh sosial yang baru.
Disinilah titik keterbukaan fiqh sosial terhadap fenomena kebudayaan
masyarakat. Fiqh tetap dapat mengiringi dan mengikuti proses yang terjadi dalam
masyarakat tanpa harus kehilangan norma-norma yang inti.
Meskipun
pendekatan ini memungkinkan kebudayaan lokal dipakai untuk membenarkan
pelanggaran atau penolakan terhadap eksistensi hak-hak asasi manusia, kita
tidak dapat melihat alternatif lain selain metode legitimasi kultural yang bisa
terus-menerus ditingkatkan melalui praktek yang ajek. Sebagai contoh,
kebudayaan mungkin digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap perempuan
atau digunakan untuk melegitimasi hukuman fisik terhadap anak-anak untuk
‘kebaikan’ mereka sendiri. Menolak argumen kultural yang diajukan untuk
mendukung pandangan seperti itu tampaknya tidak akan berhasil. Para perempuan
sendiri malahan sepertinya menerima represi atas diri mereka jika mereka
meyakini bahwa represi itu adalah ‘kehendak Tuhan’ atau tradisi abadi komunitas
mereka. Sebaliknya, menggunakan pendekatan yang mengakui nilai penting
ketertundukan pada kehendak Tuhan atau tradisi lokal, sembari terus
mempertanyakan makna nilai tersebut dalam kondisi sekarang ini, nampaknya lebih
persuasif. Sebagai seorang Muslim, jika kita dihadapkan pada pilihan antara
Islam dan hak-hak asasi manusia, seharusnya kita memilih Islam. Tapi jika
dihadapkan pada argumen bahwa ternyata ada konsistensi antara agama yang kita
anut dengan hak-hak asasi manusia, kita akan dengan senang hati menerima
hak-hak asasi manusia sebagai ekspresi nilai-nilai agama dan bukan sebagai
penggantinya. Sebagai Muslim pendukung hak-hak asasi manusia, kita mesti terus
mencoba mencari cara untuk menjelaskan dan mendukung klaim bahwa hak-hak asasi
manusia sesuai dengan Islam, benar-benar diperlukan dari perspektif Islam,[41] meskipun tidak sesuai dengan beberapa
interpretasi manusia atas syariah.
Otoritas
dan relevansi perubahan yang diperoleh dari validitas internal adalah penting
karena beberapa alasan yang inheren dalam dinamika-dinamika hubungan-hubungan
sosial dan interaksi sosial. Pertama, masyarakat mungkin menganggap
perubahan sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat, tapi perubahan-perubahan
demikian mungkin pada awalnya ditolak sebagai sesuatu yang negatif dan merusak
oleh para penjaga tradisi tatanan sebelumnya. Dengan menerima kenyataan
ini, setiap pihak yang berdebat mampu menyoal bagaimana cara memahami dan
menghadapi sudut pandang pihak lain. Para pendukung dan penentang perubahan
sosial tidak perlu dendam. Tentu saja para pendukung perubahan bisa menyediakan
kebutuhan-kebutuhan yang absah bagi masyarakat yang sedang tumbuh, sementara
para penentang bisa menyediakan kebutuhan masyarakat yang sama dengan menolak
perubahan, hingga kasus perubahan ini diangkat ke permukaan. Bagaimanapun,
menegakkan hak-hak asasi manusia berarti juga menegakkan hak-hak orang-orang
yang menentang kita atau orang yang tidak kita sukai. Bahkan kita mungkin perlu
lebih memperhatikan hak-hak mereka dibanding hak-hak orang yang setuju dengan
kita, karena kita lebih mungkin melanggar hak-hak musuh kita di banding hak-hak
teman-teman kita. Konsistensi seperti ini penting untuk kredibilitas
prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia itu sendiri.
Kedua, karena seorang individu tergantung pada masyarakatnya yang mampu
untuk menanamkan atau memaksakan keselarasan pada anggota-anggotanya, kebijakan
dan tindakan publik lebih mungkin berjalan seiring dengan norma-norma dan
pola-pola perilaku kultural yang ideal dibanding tindakan-tindakan pribadi.
Perubahan perilaku publik mungkin membutuhkan waktu yang lama karena individu
cenderung menyesuaikan diri setelah norma baru diterima secara luas.[42] Dengan kata lain,
perlawanan yang terbuka dan sistematis terhadap norma-norma tradisional sangat
mengancam orang-orang yang berkuasa, yakni kaum elit yang memiliki kepentingan
tertanam (vested interest) terhadap status quo. Untuk menekan
perilaku orang yang tidak selaras, elit-elit itu akan mengeluarkan perintah
untuk menjaga stabilitas dan kepentingan vital masyarakat luas, dibanding
mengakui kenyataan bahwa kepentingan-kepentingan mereka sendiri yang coba
mereka lindungi. Pertanyaannya kemudian, siapa yang memiliki kekuasaan untuk
menentukan apa yang baik untuk publik, dan substansi masalah yang diperdebatkan
menjadi pengganti (proxy) perjuangan yang tak ada habisnya untuk
mendapatkan kekuasaan itu. Faktor-faktor ini menekankan hasrat untuk mencari
dukungan ideal budaya bagi setiap proposisi kebijakan dan tindakan publik,
karena hal itu tidak akan dengan mudah ditolak oleh para penjaga kemapanan dan
kebaikan masyarakat, yang menunjuk dirinya sendiri.
G. Penutup
Pada
pembahasan-pembahasan diatas, maka terdapat suatu kesimpulan bahwa fiqh sosial
M.A. Sahal Mahfudh dibuat untuk mendapatkan suatu solusi atas problem-problem
fiqh yang sering menemukan kejumudan dan deadlock (jalan buntu) karena
nuansa fiqh klasik yang cenderung formalistik. Dalam konteks kenegaraan,
kehadiran fiqh sosial bukan diartikan untuk menandingi hukum positif yang ada,
namun merupakan tawaran solusi yang ditujukan kepada umat Islam, dan tidak ada
keinginan untuk mem-positifkan fiqh sosial itu. Keberadaan fiqh sosial itu juga
dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang berkembang dalam masyarakat. Bukan
hal yang tidak mungkin akan terjadi pergeseran nilai-nilai sosial yang memuncak
pada pembenahan fiqh sosial yang baru karena pengaruh dari kebudayaan
masyarakat yang terus berubah.
[1] Pemikiran fiqh sosial Sahal Mahfudh tidak sebatas
itu saja, masih banyak contoh-contoh lain yang berdasarkan pada paradigma fiqh
kontekstual-historis, seperti transplantasi organ tubuh. Lihat: M.A. Sahal
Mahfudh, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat),
Cet. I (Surabaya: Ampel Suci Bekerjasama dengan LTN NU Wilayah Jawa Timur,
2003), hlm. 316-317.
[2] Secara qauli, pengembangan fiqh bisa dilakukan dengan
kontekstualisasi kitab kuning atau melalui pengembangan contoh-contoh penerapan
kaidah usul fiqh maupun Qawa’id al-fiqhiyah. Sedangkan secara manhaji,
pengembangan fiqh bisa dilakukan dengan mengembangkan teori masalik
al-’illat, supaya sesuai dengan maslahat al-`ammah. Lihat: M.A.
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Cet. IV (Yogyakarta: LkiS), hlm.
xxvi; dan Sahal Mahfudh, Wajah Baru Fiqh Pesantren (Jakarta: Citra
Pustaka Bekerjasama dengan Keluarga
Mathali’ul Falah (KMF) Jakarta, 2004), hlm. 295-296.
[3]
Sebelum membahas secara keseluruhan, ada baiknya memahami pengertian antara
fiqh, syari’at, dan tasyri’. Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang
bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili.
Syari’at adalah seluruh kitab Allah yang berhubungan dengan tindak-tanduk
manusia di luar permasalahan akhlak atau nama bagi hukum-hukum yang bersifat
amaliyah. Dan Tasyri’ adalah penetapan hukum dan tata aturan Allah yang
menyangkut tingkah laku manusia. Lihat, Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum
Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm.11-13.
[4]
Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari'ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, alih bahasa Ahmad
Suaedy dan Amirudin ar-Rany, Cet. III (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 34.
[5] Ibid, hlm. 34-35.
[6] Ibid,
hlm. 35.
[7] Armansyah, "Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh
1," http://armansyah.swaramuslim. netiv.22/, akses 6 Juni 2007.
[8]
Al-Qur'an adalah kitab yang terjaga dan tidak ada pergantian dalam
kata-katanya, tidak ada yang me-nasakh hukum-hukumnya atau pun
merusaknya. Namun, pada saat yang bersamaan harus disadari, bahwa makna
kandungan al-Qur'an tidak mampu dijangkau secara keseluruhan oleh akal manusia.
Al-Qur'an selalu relevan untuk setiap umat, memberikan jaminan kebahagiaan
setiap zaman dan tempat. Langgam bahasanya sangat syahdu, jalinan ayat-ayatnya
saling terkait dengan indah, fasilah (akhir ayat) dari masing-masing
ayat terasa sangat menakjubkan. Lihat, Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam; Pergumulan Teks dan
Realitas (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 4-5.
Lihat juga, Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke
Fikih Otoritatif, alih bahasa R. Cecep Lukman Hakim (Jakarta: Serambi,
2004), hlm. 146.
[9]
Fungsi al-Sunnah terhadap hukum-hukum yang masih global dan belum terperinci
dalam al-Qur'an antara lain: pertama; sebagai ta'kid (penguat
atau penegasan terhadap ketentuan-ketentuan atau hukum yang datang dari Qur'an.
Kedua; sebagai penjelasan (bayan) terhadap apa yang dimaksudkan
al-Qur'an. Ketiga; menjadi dalil atas hukum yang didiamkan oleh al-Qur'an. Keempat; Me-Nasakh
(menghapus) hukum yang disebutkan di dalam al-Qur'an, terutama bagi orang yang
berpendapat al-Sunnah boleh me-nasakh al-Qur'an. Lihat, Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at
Islam…., hlm. 37-39. Lihat juga, Yassin Dutton, Asal Mula Hukum
Islam; Al-Qur’an, Muwatta, dan Praktek Madinah, alih bahasa M. Maufur
(Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 342.
[10]
Pada zaman sebelum masuknya Islam, terdapat kredo-kredo keagamaan (diniyah)
atau keubudiyahan (ta‘aubudiyah) yang berasal dari suku-suku Arab yaitu:
mengagungkan ka’bah dan tanah Haram, haji dan umrah, mensucikan bulan ramadan,
mengagungkan bulan-bulan mulia, dan mengagungkan Nabi Ibrahim dan Ismail.
Lihat, Khalil Abdul Karim, Historisitas Syari’at Islam, alih bahasa M.
Faisol Fatawi (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003), hlm. 19-24.
[11]
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 107-108.
[12]
Sumanto al-Qurtuby, KH. M.A. Sahal Mahfudh: Era Baru Fiqh Indonesia (Yogyakarta: Cermin, 1999), hlm. 80.
[13]
Ali Yafie, “Tajdid; Adakah Suatu Kemestian?” dalam Pesantren, No.
1/Vol.V/1988 (Jakarta: P3M, 1988), hlm. 6.
[15]
Metodologi merupakan wilayah yang juga terkena imbas persoalan studi dan
praktek hukum Islam. Hal ini terlihat terutama pada adanya tarik menarik antara
model teologis-normatif-deduktif dan empiris-deduktif. Pendekatan Teologis-normatif-deduktif
cenderung didominasi oleh Aristotalian logic yang bercirikan dichotomous
logic atau dalam bahasa John Dewey in pairs of dichotomies, yang
lebih bercirikan eternalistic-spiritualistic-logic. Akhmad Minhaji,
“Hukum Islam antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial)”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam pada fakultas
Syari’ah di Hadapan Senat Terbatas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 25
September 2004.
[16] Ibid,
hlm. vii-viii.
[17]
Kesimpulan awal dari metode ijtihad itu adalah hukum Islam mampu merespon
perubahan sosial yang terjadi. Responsibilitas hukum Islam di atas tidak identik
dengan aliran historis yang melihat hukum semata-mata hasil proses perubahan
sosial suatu masyarakat. Kaidah yang sering digunakan para pakar hukum Islam
adalah la yunkar taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkan wa al-azlam,
yang mengartikan bahwa tidak dipungkiri adanya perubahan hukum akibat perubahan
tempat dan waktu. Lihat, Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta:
Gama Media, 2001), hlm. 47.
[18]
Metode dan hirarki penggunaan sumber hukum Islam menurut mazhab Hanafi adalah: al-Qur’an,
al-Hadis ash-Shahihah, Aqwal ash-Shahabah, Qiyas, al-Istihsan, Ijma’ Mazhab
Maliki: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahih, Ijma’ ash-Shahabah, ‘Amal Ahl
Madinah, Fatwa ash-Shahabah, Qiyas, Istihsan, al-Mashalih al-Mursalah, dan
az-Zara’i. Mazhab Syafi’i: al-Qur’an,
al-Hadis ash-Shahih, Ijma’, Aqwal ash-Shahabah, dan Qiyas. Mazhab Hanbali: Nash,
Ijma’, Qiyas, al-Mashalih al-Mursalah, al-Istihsan, az-Zara’i, Fatwa
ash-Shahabah, dan al-Istishab. Lihat
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999
(Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 130-131.
[19]
A. Qodri Azizi, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik
Modern (Jakarta: Penerbit Teraju, 2003),
hlm. 54.
[20]
Eklektis diambil dari sebuah pemahaman yang sering disebut Eclecticism
yaitu the methode system af an eclectic (metode atau sistem untuk
pilihan dari beberapa sumber). Eklektisime disini bermaksud hanya sebagai
sebuah pendekatan akademik, bukan sebuah paham, dan bukan pula sebagai proses
untuk membangun sebuah aliran. Lihat, A.
Qodi Azizy, Hukum Nasional; Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum (Jakarta:
Teraju, 2004), hlm.12.
[21] Mutlaq dan muqayyad, bersamaan dengan
kaidah-kaidah qiyas dan kehujjahannya, batasan-batasan umum, perintah (amr)
dan indikatornya, kaidah-kaidah larangan (nahy) termasuk al-adillah
al-syar’iyyah al-kulliyyah (dalil-dalil syara’ yang umum). Lihat, Muhammad
Roy, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas
Ushul Fiqh (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 22-23. Lihat
juga, Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan teori Hukum Islam (Usul al-Fiqh), alih
bahasa Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.184-186. Teori-teori
tentang hukuman dengan pembalasan dendam pribadi, hukuman hadd, hukuman ta’zir,
dan tindakan koersif dan preventif menunjukkan gagasan yang bervariasi. Lihat,
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa Joko Supomo
(Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 279.
[22] M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa…., hlm. xxxi.
[23] Maqasyid al-syari’ah
sebagai sebuah doktrin, maksudnya bertujuan untuk mencapai, menjamin dan
melestarikan kemaslahatan bagi umat manusia, khususnya umat Islam. Sedangkan
sebagai sebuah metode, merupakan pisau analisa atau kacamata untuk membaca
kenyataan yang ada disekeliling kita. Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh versus
Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Pesantren
Nawesea Press, 2006), hlm. 45 & 48.
[24] Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam;
Pergumulan Teks dan Realitas, alih bahasa Abdul Mustaqim (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2003), hlm. xiii.
[25]
Sebagaimana umat Islam meyakini bahwa hukum Islam adalah hukum Tuhan yang
dipersiapkan untuk kepentingan manusia di bumi. Oleh karena itu “bahasa” hukum
yang digunakan harus berupa “bahasa” yang dapat dipahami manusia dan logika
hukum yang dipakai harus dapat dijangkau oleh logika manusia. Lihat, Marzuki
Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara; Kritik atas Politik Hukum Islam di
Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 172.
[26]
Selain itu juga, kemaslahatan harus bersifat dinamis dan fleksibel, artinya
kemaslahatan sesuai dengan perkembangan zaman. Lihat, Amir Mu’allim dan
Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Cet. 2 (Yogyakarta: UII
Press, 2001), hlm. 37.
[28]
Di samping itu ada konsep masyarakat madani, yang berarti pola kehidupan sosial
yang sopan yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh
pada peraturan atau hukum. Lihat, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam
Historis; Dinamika Studi Islam di Indonesia (Yogyakarta: Galang Press,
2002), hlm. 87.
[30]
M.A. Sahal Mahfudh, “Pendekatan Kaum Dakwah untuk Kaum Dhuafa”, dalam Mimbar
Ulama, hlm. 44.
[31]
M.A. Sahal Mahfudz, “Aids dan Prostitusi dai Dimensi Agama Islam”, makalah
disampaikan pada seminar Aids dan Prostitusi
oleh YASKI, Yogyakarta, 21 Juni 1987.
[33] M.A. Sahal Mahfudh, ”Pendidikan Islam
dalam Era Industrialisasi”, makalah disampaikan pada Kuliah Umum INISNU,
Jepara, 21 Oktober 1995.
[36] Ibid,
hlm. 156.
[37]
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Cet. V (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), hlm. 188.
[39]
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita; Agama Masyarakat Negara
Demokrasi, Cet. II (Jakarta: The Wahid Institue, 2006), hlm. 257-258.
[40]
Pada Zaman Nabi yang sering menjadi masalah adalah persoalan dimensi, etika,
dan kebudayaan yang telah menjadi bagian dari agama, dan perlu adanya pemisahan
agama dan budaya. Lihat Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam
Kontemporer, alih bahasa Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2004), hlm. 252-253.
[41]
Islam adalah agama yang membawa misi pembebasan dan keselamatan. Islam hadir di
muka bumidalam rangka memberikan moralitas baru bagi transformasi sosial. Islam
sebagai sumber moral dikarenakan karakter Islam yang metafisik dan humanis.
Lihat, Nurcholis Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 176.
[42]
Dalam wacana yang lebih ideologis akan terjadi suatu relasi antara
rasionalitas, interest, dan power sebagai suatu ruang ekspresi
diri yang bersifat simbolik dan kolektif (a kind of collective symbolic
self-expression) untuk mengangkat dan melegitimasi kepentingan-kepentingan
suatu kelompok (to inspire commitment) dalam berhadapan dengan
kepentingan kelompok lainnya. Lihat, Ahmad Baso, NU Studies; Pergolakan
Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal
(Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 268.
0 komentar:
coment after read! and comment with ethic!
habis baca jangan lupa comment! comment dengan etika