JADAL DALAM AL-QUR`ÂN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN
JADAL
DALAM AL-QUR`ÂN
DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN
Oleh H. Muhammad Taufik
Tekan ctrl + click salah satu iklan dibawah untuk lanjut membaca
push ctrl + click one of the banners below before continue reading
push ctrl + click one of the banners below before continue reading
Hikmah
Al-Qur`ân
adalah (ibarat) pengantin wanita yang memakai cadar
dan menyembunyikan wajahnya darimu.
Bila engkau membuka cadarnya
dan tidak mendapatkan kebahagiaan, itu
disebabkan caramu
membuka cadar telah menipu dirimu
sendiri.
Ia mampu menunjukkan wajahnya
dalam cara apapun yang disukainya.
Apabila engkau melakukan apa-apa yang
disukainya dan mencari kebaikan darinya,
ia akan menunjukkan wajah yang
sebenarnya, tanpa perlu kau buka cadarnya.[1]
Abstrak
Tulisan ini, melihat persoalan di
sekitar jadal al-Qur`ân. Pengertian, macam dan topiknya,
tujuan dan metodenya, perannya dalam penafsiran al-Qur`ân serta pengaruhnya terhadap pendidikan. Jadal adalah debat untuk
menang melalui argumentasi. Jadal al-Qur`ân ialah
pengungkapan dalil untuk mengalahkan orang kafir dan para penantangnya melalui
pembuktian atas kebenaran yang dapat diterima
nurani manusia.
Jadal, ada yang mamduh dan ada pula
yang mazdmum. Dilihat dari pelaku dan hal yang dipersoalkan, pernah terjadi
antara Allah dengan Malaikat, dengan para Nabi, Nabi dengan kaumnya atau
penentangnya, orang perorang di kalangan Bani Adam, dari dulu sampai dengan
masa al-Qur`ân diturunkan. Bahkan model jadal yang digambarkan al-Qur`ân, di antaranya masihada yang belangsung sampai sekarang. Hal yang
dipersoalkan hampir menyangkut keseluruhan dimensi kehidupan manusia, bahkan
setelah kehidupannya yang sekarang.
Tujuan Jadal al-Qur`ân diantaranya menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi
kalangan yang memang sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Serta untuk
mematahkan pembangkangan para penentang dengan pembuktian yang lebih kuat dan
akurat, dengan berbagai pola pendekatan seperti: al-Ta’rifat, al-Istifham al-Taqriri,
al-Tajzi’at, Qiyas al-Khalf, al-Tamsil dan al-Muqabalat dan lainnya.
Signifikansi jJadal al-Qur`ân dapat membantu menghampiri kebenaran kandungan, khususnya
ayat-ayat yang bermuatan jadal, yang pernah terjadi di antara berbagai kalangan
yang terekam di dalam al-Qur`ân. Akan lebih memudahkan dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi pendidikan, jadal memiliki
pengaruh kuat. Sebab, di samping manusia sebagai makhluk yang thabi’iyah, juga
rational dan emossional sekaligus. Sehingga dengan Jadal manusia akan lebih
mudah dapat memahami dan kemudian diarahkan untuk mencapai tujuan Pendidikan,
mengembangkan manusia menjadi cerdas secara rasio-emosi-spiritual, dan anggun
dalam iman, ilmu dan perilaku.
Kata Kunci: Jadal, al-Qur`ân, metode, penafsiran,
pendidikan
Pendahuluan
Al-Qur`ân adalah
petunjuk bagi manusia, yang sekaligus dengannya manusia dapat membedakan antara
yang haq dengan yang bathil, yang salah dan yang benar. Ia juga dapat sebagai
obat dan rahmat bagi manusia pada umumnya dan khususnya yang beriman.[2]
Dalam waktu yang sama, al-Qur`ân
adalah merupakan Mu’jizat terbesar dan abadi bagi Rasulullah Muhammad Saw. Ia
merupakan mukjizat ruhiyah yang bersifat rasional dan spiritual
sekaligus, sehingga menarik umtuk di diperhatikan oleh orang yang mempunyai
hati dan pikiran.[3]
Al-Qur`ân – kata Syekh Muhammad ‘Abduh – mengandung berita
bangsa-bangsa silam yang dapat dijadikan contoh perbandingan bagi umat sekarang
dan yang akan datang, ia memuat berita pilihan yang dipastikan kebenarannya. al-Qur`ân
menceritakan hikayat para Nabi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi antara
mereka dengan umatnya. Ia juga mensyari’atkan kepada manusia hukum-hukum yang
sangat cocok dengan kemaslahatan kehidupan mereka.[4]
Sejalan
dengan keyakinan ‘Abduh itu, Nashr menegaskan pula bahwa :
Al-Qur`ân berisi petunjuk bagi manusia agar ia mampu memenuhi janjinya[5]
kepada Tuhan. Karenanya al-Qur`ân menjadi pusat
kehidupan Islam. Al-Qur`ân adalah dunia di
mana seorang muslim hidup. Ketika ia dilahirkan, di telinganya dibisikkan
syahadat yang terdapat dalam al-Qur`ân. Ia mempelajari
al-Qur`ân sejak ia mulai bisa
berbicara. Ia mengulangnya setiap hari dalam shalat. Ia dinikahkan melalui
pembacaan al-Qur`ân. Dan ketika ia mati
dibacakan al-Qur`ân kepadanya. Al-Qur`ân adalah serat yang membentuk tenunan kehidupannya, ayat-ayat al-Qur`ân adalah benang yang menjadi rajutan jiwanya.[6]
Dalam
membicarakan al-Qur`ân
sebagai petunjuk, Nasr memahami kandungannya dalam tiga klasifikasi : Pertama
: “doktrin” yang memberi pengetahuan terhadap struktur kenyataan dan posisi
manusia di dalamnya. Doktrin itu berisi petunjuk moral dan hukum yang menjadi
dasar syari’at yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Doktrin itu
juga mengandung metapisika tentang Tuhan, kosmologi atau alam semesta serta
kedudukan berbagai makhluk dan benda di dalamnya, dan pembahasan kehidupan di akhirat.
Kedua : al-Qur`ân
berisi petunjuk yang menyerupai ringkasan sejarah manusia, rakyat biasa,
raja-raja, orang-orang suci, dan para Nabi sepanjang zaman dan segala cobaan
yang menimpa mereka. Meskipun petunjuk ini berupa sejarah, sebenarnya ia ditujukan
pada jiwa manusia di sini dan sekarang, meskipun ia mengambil tempat dan waktu
yang telah lalu. Ketiga : al-Qur`ân berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan
dalam bahasa modern. Sesuatu itu dapat disebut “magi” yang agung, bukan dalam
arti harfiah, melainkan dalam arti metafisis. Ayat al-Qur`ân, karena
diturunkan oleh Tuhan, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa yang kita
pelajari dalam al-Qur`ân
secara rasional. Ayat-ayat itu menyerupai ‘azimat yang melindungi
manusia. Itulah sebabnya mengapa kehadiran fisis dari al-Qur`ân sendiri
membawa berkah bagi manusia. Apabila seorang muslim menghadapi kesulitan
ia membaca ayat-ayat al-Qur`ân
tertentu yang menenangkan dan menghibur hatinya.[7]
Baik dalam posisinya sebagai yang
mengandung petunjuk yang bersifat doktrinal, historis dan sublim[8]
di satu sisi, maupun sebagai mukjizat abadi yang bersifat ruhiyah, rasional dan
spiritual sekaligus di sisi lainnya, al-Qur`ân memerlukan prosedur, mekanisme dan kiat tertentu
untuk dapat memahami atau mendekati pemahaman terhadapnya.
Dalam kerangka itu, telah berbilang
jumlah dan berbagai ragam tafsir dan Ulum al-Qur`ân yang
dihasilkan para ulama dan cendekiawan sampai saat ini . Namun, kandungan al-Qur`ân masih
tetap bagai tak terusik, sebab memang kandungannya itu jauh melampaui kemampuan
manusia untuk menyelaminya.[9] Di samping manusia
yang selalu berupaya menghampiri pemahaman terhadap al-Qur`ân itu sejak
awal turunnya, tidak sedikit juga yang sebaliknya, yang berupaya menjauhi
bahkan membantah apa yang dikandung al-Qur`ân. Seperti dijelaskan sendiri dalam Q.,s. al Kahfi/18:
54 yamg terjemahnya “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”.
Mengapa manusia bisa dan suka/banyak
membantah? Menurut analisis Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an
bahwa :
Karena setiap sesuatu di alam
semesta ini bertingkah laku sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditentukan
kepadanya – secara otomatis mentaati perintah Allah – maka keseluruhan
alam semesta ini adalah muslim atau tunduk kepada kehendak Allah. Manusia
adalah satu-satunya ciptaan Allah yang memiliki kebebasan untuk mentaati
atau mengingkari (membantah perintah-Nya). (Q.,s.al Syams/91: 7-10).[10]
Berbagai upaya dalam membantah
kebenaran al-Qur`ân, dilakukan manusia sejak masa turunnya, namun
selalu kandas. Sebab bantahan al-Qur`ân selalu lebih
kuat. Kekuatan bantahan al-Qur`ân
ini, antara lain adalah dalam kedudukan uslub
bahasa nya yang juga bermuatan mu’jizat.
Menurut al Zarqani bahwa di antara kemukjizatan al-Qur`ân terdapat pada “kefasihan lafadznya serta keindahan
uslubnya yang tidak bisa ditandingi.”[11] Pembicaraan di
sekitar bantah membantah dalam al-Qur`ân itulah
yang kemudian dalam disiplin ‘Ulum al-Qur`ân dikenal
dengan istilah Jadal al-Qur`ân.
Tulisan ini, akan mencoba melihat
permasalahan di sekitar Jadal al-Qur`ân tersebut,
meliputi: pengertian Jadal, macam dan topiknya, tujuan dan metodenya,
perannya dalam penafsiran al-Qur`ân
serta pengaruhnya terhadap pendidikan.
Pengertian Jadal Al-Qur`ân
Al-Qur`ân menyebut kata Jadal dalam berbagai bentuknya sebanyak 29 kali.
Lokus pemuatannya tersebar pada 16 Surat
dalam 27 ayat yakni pada surah:
al-Nisaa/4: 109 dan Huud/11: 32
masing-masing dua kali; al-Baqarah/2:
197; kemuadian pada al-Nisaa/4:
107; al-An’aam/6: 121, 125; al-A’raf/7: 71; al-Anfaal/8: 6; Huud/11: 74;
al-Ra’d/13: 13; al-Nahl/16: 111,
125; al-Kahfi/18: 54, 56; al-Hajj/22: 3, 8, 68; al-Anka buut/29: 46;
Luqmaan/31: 20; Ghaafir/40: 5, 4, 25,
56, 69; al-Syuura/42: 35; al-Zukhruf/43: 58; al-Mujaadalah/58: 1 masing-masing satu kali.[12]
Dalam bahasa Indonesia, Jadal dapat
dipadankan dengan debat. Debat adalah pembahasan dan pertukaran
pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan
pendapat masing-masing.[13] Jadal atau Jidal dalam bahasa Arab dapat dipahami sebagai
”perbantahan dalam suatu permusuhan yang sengit dan berusaha memenangkannya.”[14]
Sebagai suatu istilah, Jadal adalah
saling bertukar pikiran atau pendapat dengan jalan masing-masing berusaha
berargumen dalam rangka untuk memenangkan pikiran atau pendapatnya dalam suatu
perdebatan yang sengit.[15] Berbagai batasan
pengertian tentang Jadal dirumuskan para ulama, namun pada dasarnya mengacu
pada perdebatan serta usaha menunjukkan kebenaran atau membela kebenaran yang
ditujunya dengan berbagai macam argumentasi. Dari definisi-definisi yang ada
bila hendak dibuatkan rambu-rambu, maka itu antara lain adalah (1)
Hendaknya dengan jalan yang dapat diterima atau terpuji, (2) Diniati untuk
mendapat dalil/argumen yang lebih kuat, (3) Untuk menunjukkan aliran/mazhab
serta kebenarannya.
Dengan
rambu yang demikian itu, para pihak yang terlibat dalam jadal memang tidak
harus saling membenci, walaupun pada dasarnya sulit menghidari suasana saling
bermusuhan. Sebab, sebagian dari watak dasar manusia adalah memang suka
membantah atau berbantah-bantahan, bahkan Tuhannya pun dibantah. (Q.,s. al
Kahfi/18 : 54). Kenapa demikian? Sebab manusia memang memiliki
potensi/kebebasan untuk itu, yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya
(lihat catatan nomor 10). Untungnya kita punya pedoman yaitu al-Qur`ân yang
menganjurkan jika hendak berbantahan, maka berbantahanlah dengan cara
yang terbaik.[16]
Istilah yang dapat dipandang sebagai
padanan daripada istilah Jadal adalah al Munazharah, al
Muhawarah, al Munaqasyah dan al Mubahatsah. Istilah-istilah
tersebut dapat dipandang sepadan, sebab pada dasarnya mengacu pada
tujuan yang sama yakni untuk menjelaskan dan kejelasan sesuatu permasalahan.
Hanya saja Jadal lebih menekankan kemenangan, dan pada saat yang sama
kekalahan bagi pihak lawan debat. Munazharah merupakan kegiatan dimana
dua orang saling mengemukakan pemikiran, masing-masing bertujuan membenarkan
pemikirannya serta menyalahkan pemikiran lawan (debat)nya dengan jalan saling
mencoba menguji pembuktian dalam upaya mencari/menampakkan kebenaran. Adapun muhawarah
mengacu pada pembicaraan dimana di dalamnya ada dialog/tanya jawab dengan sopan
yang bertujuan hampir sama saja dengan Jadal. Tentang munaqasyah
dan mubahatsah hampir sama saja. Khususnya tentang Jadal dan muhawarah,
di dalam al-Qur`ân
terdapat ayat yang di dalamnya digunakan kedua istilah tersebut, yaitu pada
surah Q.,s. al Mujadalah ayat pertama.[17]
Adapun al-Qur`ân secara
etimologis berarti “bacaan”, dan secara terminologis adalah Kalam Allah SWT. Yang merupakan mu’jizat yang
diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhamad SAW. dan diriwayatkan secara
mutawatir serta membacanya adalah ‘ibadah.[18] Sedangkan yang
dimaksud Jadal al-Qur`ân
adalah pembuktian-pembuktian serta pengungkapan dalil-dalil yang terkandung di
dalamnya, untuk dihadapkan pada orang-orang kafir dan mematahkan argumentasi
para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud mereka, sehingga kebenaran
ajaran-Nya dapat diterima dan melekat di hati manusia.[19]
Macam dan Topik Jadal al-Qur`ân
Secara umum, Jadal al-Qur`ân
dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama : Jadal yang terpuji
(al Jadal al Mamduh) adalah suatu debat yang dilandasi niat yang ikhlash
dan murni dengan cara-cara yang damai untuk mencari dan menemukan kebaikan dan
kebenaran. Ulama membolehkan debat dengan maksud untuk menjelaskan syari’at dan
membuktikan kesahalan lawan dengan alasan-alasan dan pembuktian yang benar,
tentunya dengan cara yang baik. Hal tersebut dapat didasarkan pada firman Allah
yang terjemahnya sebagai berikut :
(1) Serulah (manusia)
kejalan Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
(wajaadilhum) dengan cara yang lebih baik (Q.,s. al Nahl/16 : 125).
(2) Dan jangan kamu
berdebat (walaa tujaadil) dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang
paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka (Q.,s. al
‘Ankabuut/29 : 46).
Sebagai contoh dari Jadal
jenis ini dapat dilihat pada ayat yang terjemahnya sebagai berikut :
Maka tatkala datang kepada
mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata “mengapakah tidak diberikan
kepadanya (Muhammad) seperti yang telah diberikan kepada Musa dahulu?” dan
bukanlah mereka itu telah ingkar (juga) kepada apa yang diberikan kepada Musa
dahulu? Mereka dahulu telah berkata : Musa dan Harun adalah dua orang ahli
sihir yang bantu-membantu”. Dan mereka (juga) berkata : “Sesungguhnya kami
tidak mempercayai masing-masing mereka itu”. Katakanlah : “Datangkanlah olehmu
sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk
daripada keduanya (Taurat dan al-Qur`ân) niscaya aku
mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” Maka jika mereka tidak
menjawab (tantanganmu), ketahuilah sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa
nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.”
(Q.,s. al Qashash/28 : 48-50).
Kedua:
Jadal yang tercela (al Jadal al Mazdmum), adalah setiap debat
yang menonjolkan kebathilan atau dukungan atas kebathilan itu. Tentang
tercelanya debat yang bathil ini banyak dasarnya dari Al Kitab maupun al Sunnah
dan pendapat kaum Salaf. Di antara dasarnya dari al Kitab adalah ayat yang
terjemahnya sebagai berikut:
(1) Dan tidaklah Kami
mengutus rosul-rosul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang bathil
agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak dan mereka menganggap
ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olok
(Q.,s. al Kahfi/18 : 56).
(2) Sebenarnya Kami
melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka
dengan serta merta yang batil itu lenyap (Q.,s. al Anbiya’/21 : 18).
Jadal al
Mazdmum itu ada yang dilakukan dalam bentuk debat tanpa
landasan keilmuan seperti disinyalir dalam Q.,s. al Hajj/22: 3, yang terjemahnya “di antara manusia ada
orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap
syaithan yang sangat jahat”, dan ayat 8 yang tertejamhnya “Dan diatnara manusia
ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa
petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya”. Juga dapat dilhat contoh Jadal model
tersebut pada Q.s., al Mu’minun: 71 dan
Q., s. Lukman: 20. Ada pula Jadal al Mazdmum dalam bentuk dukungan atas kebathilan
setelah tampak kebenaran seperti dalam
Q.,s. al Mukmin/40: 5 yang terjemahnya “dan mereka membantah dengan (alasan)
yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu.”[20]
Adapun mengenai terma (maudlu’)
dalam Jadal al-Qur`ân,
cukup banyak tersebar dalam berbagai surah dan ayah al-Qur`ân. Al
Almaa’iy mengkategorikannya ke dalam enam kelompok terma (nama dan nomor surat
dan ayat di dalam kurung adalah di antara contoh jadal dalam terma
bersangkutan), yakni : (1) Jadal dalam penetapan wujud Allah (Q.,s. al
Jaatsiyah/45 : 24-28), (2) Jadal tentang penetapan Keesaan Allah (Q.,s.
al Anbiya’/21 : 22), (3) Jadal tentang Penetapan Risalah (Q.,s. Nuh/71 :
1-3), (4) Jadal tentang Kebangkitan dan Pembalasan (Q.,s. al Mu’minun/23
: 81-83 dan Q.,s. Qaaf/50 : 12-15), (5) Jadal tentang Tasyri’at (Q.,s.
al Nahl/16 : 36 & Q.,s. al Anbiya’/21 : 25), (6) Jadal tentang aneka
tema lainnya, seperti: (a) Jadal Bani Adam (Q.,s. al Maidah/5 : 27-31), (b)
Jadal Ibrahim a.s. tentang kaum Luth (Q.,s. Hud/11 : 74-76), © Jadal antara
Musa dan Hidlir a.s (Q.,s. alKahfi/18 : 60-72), (d) Jadal antar orang shabar
yang miskin dan orang kafir yang kaya (Q.,s. al Kahfi/18 : 32-43), (e) Jadal
Keluarga Fir’aun yang beiman dengan kaumnya (Q.,s. al Mu’minun/23 : 27-40), (f)
Jadal Yahudi dan Nasrani tentang Ibrahim a.s. (Q.,s. Ali Imran/3 : 65-68), (g)
Jadal Munfiqin dengan Mu’minin (Q.,s. al Baqarah/2 : 11-14). Di antara sekian
maudlu’ Jadal dalam al-Qur`ân–
menurut analisis Al Almaa’iy – terma yang pertama dan kedua yakni tentang Wujud
dan Keesaan Allah yang paling banyak mendapat sorotan.[21]
Dengan menggunakan kerangka jenis/macam Jadal yang dikemukakan ter
dahulu, bila dicermati secara baik, tentunya dapat diduga dari contoh-contoh
tersebut di atas, mana yang tergolong Jadal yang mamduh dan mana yang
mazdmum.
Tujuan dan Metode Jadal
Jadal al-Qur`ân memiliki
berbagai tujuan, yang dapat ditangkap dari ayat-ayat al-Qur`ân yang
mengandung atau yang bernuansa Jadal, di antaranya adalah :
(1)
Sebagai jawaban atau untuk
mengungkapkan kehendak Allah dalam rangka penetapan dan pembenaran aqidah dan
qaidah syari’ah dari persoalan-persoalan yang dibawa dan dihadapi para Rasul,
Nabi dan orang-orang shaleh. Sekaligus sebagai bukti-bukti dan dalil-dalil yang
dapat mematahkan dakwaan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kalangan umat manusia, sehingga menjadi jelas jalan
dan petunjuk ke arah yang benar. Jadal dengan tujuan seperti ini dapat
dicermati contohnya mengenai dialog Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun (Q.,s. al-
Syu’araa’/26: 10-51).
(2) Sebagai
layanan dialog bagi kalangan yang memang benar-benar ingin tahu, ingin mengkaji
sesuatu persoalan secara nalar yang rasional , atau melalui ibarat maupun
melalui do’a. Dari dialog-dialog tersebut, kemudian hasilnya dapat dijadikan
pegangan, nasehat dan semacamnya. Untuk tujuan seperti ini dapat dijadikan
contohnya adalah penjelasan Allah SWT. atas persoalan kegelisahan Naabin
Ibrahim a.s. yang ingin menambah keyakinannya dan ketenangannya dengan
mengetahui bagaimana Allah menghidupkan
makhluk-Nya yang telah mati (Q.,s. al Baqarah/2 : 260, juga dapat dilihat pada
ayat 30 surat yang sama sebagai contoh lainnya.
(3)
Untuk menangkis dan melemahkan
argumentasi-argumentasi orang kafir yang sering mengajukan pertanyaan atau
permasalahan dengan jalan menyembunyikan kebenaran yang memang disinyalir dalam
al-Qur`ân
Wajaadiluu bi al Baathil liyudhiduu bihi al haq (Q.,h. al Mukmin/40 :
5). Sebagai contoh Jadal dengan tujuan seperti ini bisa dilihat dalam Q.,s. al
Mukminun/23 : 81-83 dan Q.,s. Qaaf/50 : 12-15 serta Q.,s. Yaasiin/36 : 78-79.[22]
Adapun mengenai metode yang ditempuh
Jadal al-Qur`ân,
para ulama pada dasarnya sama saja, walaupun secara tehnis ada perbedaan dalam
mengelompokkan apakah suatu jadal dalam al-Qur`ân termasuk metode atau macam/jenis dari jadal
tersebut. Yang dimasukkan ke dalam macam-macam Jadal al-Qur`ân
oleh Abu Zahrah dan Al Qaththan umpamanya, oleh Al Almaa’iy sebagiannya
dimasukkan ke dalam metode Jadal al-Qur`ân. Dalam
tulisan ini, kedua kecenderungannya tersebut digabung dalam pembahasan tentang
prosedur yang ditempuh dalam Jadal al-Qur`ân, yakni:[23]
(1) Al
Ta’rifat.
Bahwa Allah SWT secara langsung
memperkenalkan diri-Nya dan ciptaan-Nya sebagai pembuktian akan wujud dan ke
Maha Kuasaan-Nya. Karena Allah tidak terjangkau oleh indera manusia, maka
dengan mengungkapkan hal-hal yang bisa ditangkap indera manusia, manusia akan
mampu memahami akan wujud dan kekuasaan Sang Maha Kuasa. Hal inilah yang antara
lain dapat dipahami dari firman Allah seperti tertera pada Q.,s. al An’am/6:
95-100, tentunya banyak contoh yang lainnya tentang hal ini.
(2) Al
Istifham al-Taqriri
Dalam bentuk ini Allah mengajukan
pertanyaan langsung dengan penetapan jawaban atasnya. Pertanyaan tentang hal
yang memang sudah nyata, diangkat lagi lalu disertai dengan jawaban yang
merupakan penetapan atas kebenaran yang sudah pasti. Prosedur ini dipandang
oleh para ahli Ulum al-Qur`ân
sebagai yang ampuh sekali sebab dapat langsung membatalkan jidal atau argumen
para pembantah. Sebagai contohnya dapat disebut antara lain firman-Nya dalam
Q.,S. Yaasiin/ 36 : 81-82.
(3) Al
Tajzi’at
Dengan prosedur ini Allah
mengungkapkan bagian-bagian dari suatu totalitas, secara khirarchis atau
kronologis, yang sekaligus menjadi sebagai argumentasi dialektis untuk
melemahkan lawan dan menetapkan suatu kebenaran. Masing-masing dapat berdiri
sendiri sebagai bukti/untuk membuktikan kebenaran yang dimaksudkan. Prosedur
jadal seperti ini nampak antara lain dalam Q.,S. Al Naml/27 : 54-64.
(4) Qiyas
al Khalf
Dalam bahasa Indonesia disebut
“analogi berbalik”. Dengan prosedur ini, kebenaran ditetapkan dengan
membatalkan pendapat lawan yang berbalikan/ berlawanan. Sebab dalam realitas
kehidupan tidak dapat berkumpul dua hal yang berlawanan. Tentang metode Jadal
seperti ini dapat disebut firman Allah dalam Q.,s. al Anbiya’/21 : 21-22.
(5) Al
Tamtsil
Allah mengungkapkan perumpamaan bagi
suatu hal. Dengan perumpamaan dimaksudkan agar suatu kebenaran dapat
dipahami secara lebih cepat dan lebih mudah, lalu lebih melekat di sanubari
“lawan”. Untuk ini antara lain dapat disebut sebagai contoh adalah firman-Nya
pada Q.,s. al Baqarah/2 : 259.
(6) Al
Muqabalat
Al Muqabalat adalah mempertentangkan
dua hal yang salah satunya memiliki efek yang jauh lebih besar dibanding dengan
yang lainnya. Seperti halnya mempertentangkan antara Allah SWT dengan berhala
yang disembah orang-orang musyrik. Contoh Jadal al-Qur`ân dalam prosedur seperti ini dapat dilihat antara lain
pada Q.s. al Waqi’ah/56: 57-59. Demikian itulah antara lain prosedur dan metode
yang ditempuh al-Qur`ân
dalam Jadal atau Metode Jadal al-Qur`ân.
Peranan Jadal dalam Penafsiran al-Qur`ân
dan
Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Al-Qur`ân – seperti pengibaratan pada kata hikmah spiritual Al
Rumi – bagaikan wajah pengantin wanita yang memakai cadar. Rahasia keindahannya tersembunyi di balik
cadarnya. Yang berkehendak menangkap “keindahan” itu, hendaknya “tahu dan
mengerti caranya”. Al-Qur`ân
adalah “kitab petunjuk” untuk keselamatan. Petunjuk Al Qur’an bermuatan
lengkap, namun dalam beraneka nuansa, yang tidak semua orang dapat
menyentuh semuanya, bahkan mungkin tidak banyak, kalau bukan malah tidak ada
yang dapat mejangkau semuanya.[24] Seperti juga dipaparkan dalam pendahuluan, bahwa al-Qur`ân, memuat
di dalamnya petunjuk yang bernuansa doktrinal, historis dan sublim. Di
samping semuanya itu, Al-Qur`ân
adalah mukjizat al Kubra yang abadi bagi Rasul Saw, yang bersifat
ruhiyah, rasional, dan spiritual sekaligus. Untuk dapat masuk ke dalam
“nuansa” al-Qur`ân
dalam kerangka pemahaman atas kandungannya, tentunya bukanlah hal yang mudah.
Harus tahu caranya. Di antara yang dapat dipandang sebagai “cara” masuk
itu, adalah memahami celah dari sisi kemukjizatannya, yaitu keindahan dan
ketinggian gaya bahasa (uslubnya). Di sinilah (boleh jadi) letak signifikansi
pemahaman tentang Jadal al-Qur`ân,
dimana Jadal merupakan satu dari tanda ketinggian uslub al-Qur`ân.
Memahami Jadal al-Qur`ân, dapat
berarti mempermudah jalan dalam menghampiri dan menangkap pemahaman yang benar
atas dialog (jadal, munazharah, muhawarah) yang pernah terjadi dan
tertera dalam Al-Qur`ân,
baik di antara Allah dengan Malaikat atau dengan Nabi, atau di kalangan para
Nabi dengan kaumnya, di kalangan orang-orang shalih yang mulia, atau antar
perorangan di kalangan Bani Adam dalam berbagai suasana dan kondisi. Bila
demikian, maka dapat berarti Jadal al-Qur`ân berperan
kuat dalam penafsiran al-Qur`ân.
Dengan memahami Jadal al-Qur`ân, dapat
juga dipahami bahwa al-Qur`ân
sungguh-sungguh tidak menghendaki adanya “debat kusir”, debat yang kosong dari
nilai manfaat dan kebenaran. Al-Qur`ân
hanya menghendaki Jadal yang “mamduh” (wajaadilhum bi allati hiya ahsan dan
atau wa laa tujadiluu bi al bathil)). Dengan memahami Jadal al-Qur`ân dengan
lebih mudah pula dapat dipahami hakekat kebenaran yang lebih haqiqi dari hal
atau hal-hal yang menjadi objek jadal dalam al-Qur`ân. Lagi pula Jadal al-Qur`ân tidak sama dengan manthiq Yunani (Logica
Hellenica).[25]
Adapun konteks kependidikan,
pengaruh Jadal dapat dipahami dalam kerangka pendidikan sebagai proses pemanusian
manusia. Atau dalam kerangka membuat
manusia menjadi makhluk yang memiliki budaya yang tinggi, yang selaras dengan
citra penciptaannya yang paling bagus (fi ahsani takwim Q.,s. al Tin/95
: 4), dan dalam kapasitas yang multi dimensi, yakni secara thabiiyah merupakan
“psycho and physical entity”, yang punya nurani, ratio, raga dan rasa secara
bersamaan, pendidikan, memerlukan berbagai macam kiat dan metode
untuk dapat mencapai tujuannya.
Fungsi dan tujuan Pendidikan
Nasional di Indonesia dirumuskan sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Masa Esa, berkahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.[26]
Dalam pendidikan Islam, pendidikan
akhlak merupakan “Ruh” pendidikan secara keseluruhan. Mencapai akhlak
yang mulia adalah obsesi haqiqiyah dari pada tujuan pendidikan Islam. Untuk
maksud itu, upaya/proses pembinaan akhlak dan pendidikan kejiwaan adalah dasar
yang paling asasi daripada tujuan yang harus dicapai dalam Pendidikan Islam.[27]
Untuk dapat mencapai tujuan seperti itu, tentunya tidak mudah. Diperlukan
berbagai sarana, fasilitas, dukungan kebijakan politik dan dana yang tidak
kecil, waktu yang tidak pendek, dan kualitas SDM yang baik serta metode yang
handal.
Dari sekian banyak metode yang dikenal
selama ini, khususnya dalam melayani sisi manusia yang rational dan
emossional, kiat diskusi, tanya jawab, bantah membantah, dialog,
seminar, polemik dan semacamnya, yang dalam kerangka al-Qur`ân dapat
dipahami sebagai Jadal, masih menempati posisi strategis, dan karenanya
masih tetap relevan dan efektif, khususnya Jadal yang mamduh.
Jadal dalam
al-Qur`ân,
seperti yang terjadi antara Ibrahim dengan Allah (Q.,s. al Baqarah/2: 560 atau
antara Ibrahim dengan kaumnya seperti dalam Q.,s. al Anbiya’/21 : 51-71; Q.,s.
al Syu’ara’/26: 69-82, adalah merupakan contoh yang baik sekali dalam peristiwa
dialogis yang dimaksudkan sebagai metode mencari dan membawa peserta didik
kepada pencapaian kebenaran. Bahkan secara lebih rinci dapat dipahami bahwa dialog-dialog
(jadal) dalam al-Qur`ân
banyak sekali di antaranya yang bersifat dan mengarah pada model dialog deduktif,
di mana deduksi merupakan suatu metoda pemikiran logis yang amat
bermanfaat dalam dunia pendidikan. Demikian pula halnya dengan tamsil
dan ibarat yang banyak digunakan dalam Jadal al-Qur`ân, memberi
peluang bagi pendidik untuk dapat menjelaskan konsep-konsep abstrak dengan
makna-makna kongkrit, yang dapat ditangkap oleh persepsi manusia, yang pada
gilirannya membawanya pada pemahaman tentang sesuatu secara benar dan tentang
kebenaran itu sendiri.[28]
Jadal, munadharah ataupun muhawarah
dapat berfungsi sebagai arena pengujian kemampuan – dalam skalanya yang lebih
tehnis. Di sini keilmiahan dan keilmuan
peserta yang terlibat akan bisa terlihat dan bisa dibandingkan dengan yang
lainnya. Seseorang akan diakui sebagai ilmuwan yang terdidik bila ia mampu
melakukan dialog atau debat (yang mamduh – pen) dalam bidangnya dengan ilmuwan
terdidik yang lainnya.[29]
Ibnu Khaldun memandang munadharah –
sesuai kutipan Al Abrosyi – sebagai sesuatu yang sangat membantu dalam hal
pengajaran dan pendidikan, terutama untuk dapat memahami aspek ilmiah dari
tamsil dan ibarat. Sementara Al Abrosyi juga memandang munadharah, muhawarah
dan sejenisnya dalam mendekati setiap permasalahan, akan dapat mempengaruhi
jiwa pihak si terdidik untuk menjadi lebih matang, dan sangat berpengaruh dalam
membina kebebasan dan kekuatan berfikir.[30]
Hal mana pada gilirannya, secara
akumulatif, akan dapat membawa dan mengantarkan manusia untuk selalu mampu
berproses ke arah peningkatan diri menjadi manusia-manusia yang cerdas,
beriman dan bertaqwa serta berakhlaq dengan akhlaq yang mulia. Insya Allah.
Kesimpulan
1.
Jadal adalah
debat, dialog antar dua pihak dengan kehendak untuk menang melalui alasan dan
argumentasi. Jadal al-Qur`ân
ialah pengungkapan bukti-bukti dan dalil-dalil dengan tujuan untuk mengalahkan
orang kafir dan para penantang sekaligus untuk menegakkan aqidah dan syari’ah,
melalui pembuktian atas kebenaran yang dapat diterima oleh nurani manusia.
2. Jadal, ada
yang mamduh dan ada pula yang mazdmum, dengan landasan dan
contohnya masing-masing di dalam al-Qur`ân. Jadal dalam al-Qur`ân,
dilihat dari pelaku dan hal yang dipersoalkan, menyangkut space and time
yang sangat luas. Pernah terjadi antara Allah dengan Malaikat, dengan para
Nabi, Nabi dengan kaumnya atau penentangnya, orang perorang di kalangan Bani
Adam, dari dulu sampai dengan masa al-Qur`ân diturunkan. Bahkan model-model jadal yang tergambar
dalam al-Qur`ân,
di antaranya masih belangsung sampai sekarang. Demikian pula hal yang
dipersoalkan dalam Jadal hampir menyangkut keseluruhan dimensi kehidupan
manusia, bahkan setelah kehidupan yang sekarang.
3. Tujuan
dari Jadal al-Qur`ân
antara lain untuk menetapkan aqidah tentang wujud dan wahdaniyah
Allah serta petunjuk dan syari’ah bagi
yang membutuhkan. Menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi kalangan
yang memang sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Serta untuk mematahkan
pembangkangan para penentang dengan pembuktian yang lebih kuat dan akurat,
dengan berbagai tehnis pendekatan seperti : al Ta’rifat, al Istifham al
Taqriri, al Tajzi’at, Qiyas al Khalf, al Tamsil dan al Muqabalat.
4. Jadal
al-Qur`ân,
dengan memahaminya dapat membantu menghampiri kebenaran kandungan, khususnya
ayat-ayat yang bermuatan Jadal, yang pernah terjadi di antara berbagai
kalangan yang terekam di dalam al-Qur`ân.
Dengan memahami Jadal al-Qur`ân,
akan lebih memudahkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi
pendidikan, jelas Jadal memiliki pengaruh kuat. Sebab, di samping
manusia sebagai makhluk yang thabi’iyah, juga rational dan emossional
sekaligus. Sehingga dengan Jadal manusia akan lebih mudah dapat
diarahkan untuk mencapai tujuan Pendidikan; mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia seutuhnya, membina
manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia.
Penulis,
H. Muhammad Taufik
Daftar Pustaka
Al-Qur`ân dan Terjemahnya,
Mujamma’ al Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li Thiba’at al
Mushhaf asy Syarif, Medinah al Munawwarah, 1412
Al-Almâ’iy, Zahir ‘Iwad, Manahij al Jadal fi Al-Qur`ân al Karim, t.tp.: tp., t.th.
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah
al-Islâmiyah wa Falâsifatuha, Thab. Tsaniyah, t.tp.: Daar al Fikr, t.th.
Abdullah, Abdurrahman Shaleh, Cet. I; Educational
Theory : a Qur’anic Outlook, terjemahan H. M. Arifin dan Zainuddin dengan
judul “Teori Pendidikan Menurut al Qur’an”, Jakarta : Rineka Cipta, 1990.
Abduh, Syekh Muhammad, Risalatut Tauhid,
terjemahan H. Firdaus A. N. dengan judul “Risalah Tauhid”, Cet. VI; Jakarta :
Bulan Bintang, 1976.
Asari, Hasan, Yang Hilang dari
Pendidikan Islam; Seni Munadharah, Jurnal “Ulumul Qur’an”, Nomor 1 Vol. V
Jakarta, 1994.
Avery, Jon dan Hasan Askari, Towards a
Spiritual Humanism, terjemahan Arif Hutono dengan judul “Menuju Humanisme
Spiritual”, Cet. I; Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
Al-Bâqy, Muhammad Fuad, Abd. Al-Mu’jam al
Mufahras Li Alfâz al-Qur`ân al Karim, t.tp.
Angkasa, t.th.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Dirjen Binbaga Islam, Himpunan Peraturan
Perundangan tentang Pendidikan Tinggi, 1991.
Ibnu Manzur, Lisân
al Arab, Jilid ii, Beirut
: Daar al Ilmiah/Daar Shaadir, t.th.
Al-Isfahany, Al Raghib, Mu’jam Mufradât
al Fâz al-Qur`ân, Beirut: Daa al Fikr, t.tt.
Nasr, S.H., Ideals and Realita of Islam,
terjemahan Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid dengan judul “Islam Dalam Cita
dan Fakta”, Cet. I; Jakarta: LEPPENAS, 1981.
Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabâhits
fi ‘Ulum al-Qur`ân, Beirut : Mansyurat al Ashri, 1977.
Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an,
terjemahan Anas Mahyuddin dengan judul “Tema Pokok al Qur’an”, Cet. I; Bandung:
Pustaka, 1983.
Al-Shabuny, Muhammad ‘Aly, Al Tibyân
Fi ‘Ulum al-Qur`ân, terjamahan H. Moh. Chudlori Umar dan Moh.
Matsna dengan judul “Pengantar Study Al Qur’an”, Bandung : Al Ma’arif, 1987.
Al-Zarqany, Muhammad Abdul Azim, Manâhil al ‘Irfan fi Ulum al-Qur`ân,
Jilid I; Beirut : Dâr al Fikr, t.th.
Jadal
dalam al-Qur`Ân
DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN
Oleh
Muhammad Taufik
Staf Pengajar
pada IAIN Mataram,
Penyunting Jurnal
Tastqif Fak. Tarbiyah dan Ulumuna
IAIN Mataram.
Tulisannya bisa dilihat diantaranya pada Jurnal Warta Alauddin
ISSN:
0216-6054,
Ujung Pandang No. 69/1995 dan No. 75
Tahun 1996;
Jurnal di lingkunmgan IAIN Mataram: Jurnal Fak.
Tarbiyah Tatsqif,
Jurnal Fakultas
Dakwah Tasamuh, dan Jurnal
Institut Ulumuna;
Jurnal Al-Jami’ah: Journal of
Islamic Studies, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 63/VI/1999; Jurnal Edukasi: Jurnal
Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Puslitbang Pendidikan Agama
Balitbang dan Diklat Depag RI. ISSN: 1693-6418
Volume: 3 Nomor:
2 April-Juni 2006;
Jurnal Hermèneia:
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.5 Nomor 1 Januari-Juni 2006;
dalam buku A.Khudori
Sholeh (ed.). Pemikiran
Islam Kontemporer, Yogyakarta:
Jendela, ISBN: 979-95798-152-x, 2003;
dalam buku Ismail Thayib dan Moh. Asyik Amrulloh (ed.) Membangun Anak
Negeri, LPA NTB-UNICEF, 2005; dalam buku H. Fadhal AR Bafadhal, Asep Saefullah,
(ed.),
Naskah Klasik Keagamaan
Nusantara I: Cerminan Budaya Bangsa,
Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang dan Diklat Departemen Agama RI.,
ISBN 979-797-009-4, 2005;
Buku H.M.Taufik, Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman: Modernisasi dan Integritas Intelektualisme
Islam, Jakarta: Kreasi Cerdas
Utama, ISBN: 979-3517-04-2, 2005;
Mantan Pemnbantu
Rektor Bidang Akademik IAIN Mataram ini kini
sedang mondok di Yogyakarta dalam rangka
merampungkan disertasinya tentang
Kreativitas
dalam Pendidikan Islam
pada PPs. UIN Sunan Kalijaga
[1] Kata hikmah tersebut adalah ungkapan spiritual Jalâl al-Din Rumi (Penulis tafsir Mathnawi) dalam Fihi ma Fini,
sesuai kutipan SH.Nasr dalam “Ideals and Realita of Islam”, terj. Abdurrahman
Wahid dan Hasyim Wahid, Islam Dalam Cita dan Fakta, (Jakarta: LEPPENAS,
1981), h. 32-33
[2] Lihat Q.s.,al-Baqarah/2: 2, 185; Q.s.,al-Isrâ`/17: 82. Seluruh terjemahan ayat dalam tulisan ini merujuk pada Al-Qur`ân dan
Terjemahnya, Mujamma’ Khadim al-Haramain asy-Syarifain
Medinah al Munawarah , 1412 H.
[3] Lihat, Ali al-Shabuny, “Al-Tibyân fi
Ulum al-Qur`ân”, terj.
H. Moh. Chudlari Umar, Moh. Matsna H.S. , Pengantar Study al-Qur`ân, (Bandung : al
Ma’arif, 1987) p. 99.
[4] Lihat, Syekh Muhammad ‘Abduh, “Risalatut Tauhid”, terj. H. Firdaus
A.N., Risalah Tauhid, Cet. VI (Jakarta: Bulan Bintang, 1976) h. 185.
[5] Q.,s. al-A’râf/7 : 172
terjemahnya “…Bukankah Aku ini Tuhanmu”? mereka manusia menjawab “Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi …” .
[6] SH.Nasr, “Ideals and Realita of Islam”, h. 21
[7] Lihat, SH.Nasr, “Ideals and Realita of Islam”, h. 27-28.
[8] Sublim adalah menampakkan dalam bentuknya yang tertinggi; teramat
indah; teramat mulia; teramat utama. Lihat, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, edisi kedua, Cet. III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) h. 967. Hudan
al-Qur`ân, juga
mengandung “nilai” yang sulit dijelaskan dengan wacana bahasa modern, tapi bisa
dijangkau oleh dan dalam “kapasita” tertentu, di situlah antara lain
terdapatnya apa yang secara tradisional dikenal dengan barakah.
[9] Q.s., Lukmân/31 : 27 terjemahnya “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi
pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepada tujuh laut (lagi) sesudah
(kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”, Juga bisa dilihat Q.s.,. al-Kahfi/18: 109
[10] Fazlur Rahman, “Major Themes of the Qur’an”, terj. Anas
Mahyuddin, Tema Pokok al-Qur`ân, Cet. I
(Bandung: Pustaa, 1983) h. 36. Terjemah Q.s.,al-Syams/91: 7 “Demi jiwa dan
penyempurnaan (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya”.
[11] Lihat, Muhammad Abdul ‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi Ulum al-Qur`ân,
Jilid I (Beirut: Dâr al Fikr, t.th) h. 309
[12] Lihat, Muhammad Fu’âd Abd. Al Bâqy, Al-Mu’jam
al-Mufahrâs Li al-Fâz al-Qur`ân al-Karîm, (t.tp.: Angkasa, t.th.), h. 165
[13] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Cet.
III, h. 214
[14] Lihat, Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Mufradât al-Fâz al-Qur`ân,
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 87; Juga Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, Jilid XI dari XV Jilid
(Beirut: Dâr Shâdir, t.th.) h. 105
[15] Lihat, Zahir ‘Awad al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm,,
(t.tp.,t.th.), h. 20; Juga Manna’
Khalil al-Qaththân, Mabâhits fî Ulum al-Qur`ân
(Beirut: Mansyurat al-Ashr, 1977) h. 29
[16] Q.s.,al-Nahl/16: 125 terjemahnya “Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang lebih baik.”
[17] Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, h. 25. Terjemahan Q.s. al
Mujadalah/58 : 1. “Dan sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
menujukan gugatan kepada kamu (tujaadiluka) tentang suaminya, dan
mengajukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu
berdua (tahaawurakuma). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” Secara tehnis ada yang memandang bahwa dalam Jadal selalu ada
rasa saling bermusuhan di antara yang
terlibat, sedangkan dalam munazharah tidak.
[18] Lihat, bagian Pendahuluan Al
Qur’an dan Terjemahnaya, Departemen Agama, h.16
[20] Untuk memahami rincian tentang ragam Jadal al-Qur`ân dapat
dilihat pada al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, h. 44-60
[21] Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, h. 125, 461-2. Tentang hal ini, dalam
kaitannya dengan kondisi para penentang kebenaran, hingga masa modern
ini, mungkin dapat direnungkan apa yang
diungkapkan Hasan Askari mengenai apa
yang dianggapnya sebagai model Jadal di masa modern. Katanya, “Ketika
Muhammad (SAW -pen) memulai dakwahnya di
Mekkah, penduduak Mekkah sungguh terkejut bahwa ternyata ia lebih menekankan
masalah eskatologi dan kebangkitan daripada ‘Keesaan’ Tuhan. Tentu saja penduduk
Mekkah bagaimanapun primitif dan bodohnya mereka, tetap memberikan argumentasi,
dan al Qur’an mendokumentasikannya sebagaimana dilakukan oleh orang-orang
humanis maupun materialis modern. Hal itu hampir merupakan situasi yang asli,
bahawa argumentasi yang menolak kebangkitan selalu di ulang sepanjang sejarah,
berbagai daerah dan, di masa kita sekarang, terbungkus dalam format yang
canggih. Dan bagaimana contoh-contoh argumentasi orang-orang Humanis
sekarang yang menolak kebangkitan , dapat dilihat pada Jon Avery dan Hasan
Askari, “Towards a Spiritual Humanism: A Muslim-Humanis Dialogue”, (Leeds:
Seven Mirrors, 1991), terj. Arif Hutoro, Menuju Humanisme Spiritual:
Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis, Cet. I; (Surabaya: Risalah Gusti,
1995) h. 43, 41-48
[23] Lihat, Abu Zahrah, Al-Mu’jizat al Kubra, (Beirut: Dâr al Fikr, 1970), h. 371-87; dan Al al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, h. 63-75; juga Al-Qaththân, Mabâhits fi Ulum al-Qur`ân,
(Beirut: Mansyurat al Ashri, 1977) h. 299-300
[24]Hal tersebut diisyaratkan dalam Q.s.,Luqmân/31:
27 yang terjemahannya “ Dan seandainya
pohon-pohon dibumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta) ditambahkan kepadanya
tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-ahabisnya kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha
perkasa lagi Maha Bijaksana”. Juga pada
Q.s., al-Kahfi/18: 109
[26] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), h. 7
[27] Lihat, Muhammad Athiyah al-Abrâsyi, Al-Tarbiyah
al-Islâmiyah wa Falâsifatuha, Cet. II (Beirut : Dâ al Fikr, t.th.) h. 22.
[28] Lihat, Abdurrahman Shaleh Abdullah, “Educational Theory a Qur’anic
Outlook”, terj. H.M. Arifin MEd. & Zainuddin, Teori-teori Pendidikan
Berdasarkan al-Qur`ân,
(Jakarta : Rineka Cipta, 1990), h. 212-219
[29] Lihat, Hasan Asari, “Yang Hilang dari Pendidikan Islam; Seni
Munadharah”, dalam Jurnal ‘Ulum al Qur’an, No: I Vol. V, 1994, Jakarta
0 komentar:
coment after read! and comment with ethic!
habis baca jangan lupa comment! comment dengan etika